Friday, 28 December 2018

,

Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?

Saya punya kawan. Lulusan sekolah perkebunan, yang  dulu belajar tanam-tanaman. Tinggalnya di kawasan, tepat di dekat daerah yang jadi pusat persatean. Tak  heran, hobinya pun sesatean. Tidak sembarangan,  sate kambing yang dia pesan. Entah berapa porsi sekali pesan. Saya tak tahu, hobi ini murni dari dirinya sendiri, atau pesanan.

Kabar terakhir, hobi ini sudah berkurang. "Wis jarang banget, ngelingi awake...", katanya.

Syukurlah...

***
Kami  tidak sengaja kenalan. Ya, memang  tidak disengaja, wong tidak ada janjian. Waktu itu pasca terjadi gempa besar yang tanpa dugaan. Bisa teman-teman tebak kisaran tahunnya, kan?. Di sebuah ruangan 8x10 meter, dia jadi peserta, sementara saya ikut jadi narasumber pendampingan perpustakaan.

Dia salah satu peserta yang sampai sekarang menjadi kawan. Entah, kenapa cuma dia yang nyantol. Padahal dia itu lelaki, sudah beristri pula. Tapi percayalah, kami sebatas kawan. Tidak lebih.

Kawan saya ini mengelola perpustakaan sekolah, yang kemudian terdampak gempa. Terbayang keadaannya berantakan. Beruntung ada bantuan untuk pembangunan, kemudian perpustakaan dikembangkan. Akhirnya perpustakaan itu bisa nembus kompetisi tingkat nasional. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Keren, kan? Padahal pengelolanya, ya kawan saya ini, bukan alumni ilmu perpustakaan. Bagaimana ceritanya? 
Masih mau kuliah ilmu perpustakan?
Kawan saya memang pejuang tangguh. Semenjak  pendampingan itu, dia semakin rajin mengelola perpustakaannya. Kami komunikasi via email atau sms-an. Inovasi dia lakukan. "Anak masuk perpus selain baca buku, saya suruh nyatet apa yg dibaca", katanya meyakinkan. Dia pasang otomasi untuk perpustakaan, tampilannya disesuaikan dengan anak SD pengunjung perpustakaan. "Biar anak-anak senang", demikian dia mengatakan. Kawan saya memang suka coding, dan berkali-kali ngisi pelatihan pustakawan. Padahal, dia bukan alumni ilmu perpustakaan. Ilmu codingnya juga bukan ilmu sekolahan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakan?".
Ketika kerja di SD,  statusnya honorer.  Gajinya minim, sehingga harus usaha sambilan kiri kanan.  Ingat: minim. Ini sih sebenarnya sudah rahasia para honorer perpustakaan (sekolah), apalagi swasta "perjuangan". Sampai kemudian nasibnya berubah karena lolos PNS hasil seleksi pungkasan. Gajinya pun ada peningkatan, hidupnya juga ada perbaikan. Ssst, sekarang kabarnya PNS dimoratoriumkan. Jadi tidak bisa berharap banyak untuk jadi PNS, sebagaian tujuan status pekerjaan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?"
Kawan saya pernah kepincut kuliah UT ilmu perpustakaan. Sudah ndaftar, tapi tak dilanjutkan. Kabarnya karena tak ada dana, pemasukan pas-pasan. "Ra duwe ragad", katanya, mohon dimaklumkan. Honor tak cukup untuk membayar biaya pendidikan. Akhirnya dia otodidak dalam belajar pengelolaan perpustakaan.  Bisa kok. Tanya kiri kanan, dan baca buku di perpustakaan. Jangan lupakan juga nonton panduan sambil yutuban.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?" _
Tapi,  saya akui, dia memang sungguh bersungguh-sungguh dalam belajar, khususnya IT dengan kemandirian, seperti saya sampaikan di depan. Mulai dari oprek joomla, oprek SLiMS (software perpustakaan), sampai belajar coding pemrograman. Menggunakan framework, atau coding dari 0 (nol) sebagai awalan.  "Modalnya cuma http://stackoverflow.com", katanya memastikan.  Intinya dia belajar coding, bersungguh-sungguh, serta memanjatkan doa pada Tuhan. Ingat! dia tidak jadi kuliah ilmu perpustakaan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?"
***
Jadi pustakawan itu tak perlu kuliah ilmu perpustakaan. Wong pada dasarnya semua manusia itu pustakawan. Ini juga sudah ditekankan oleh pemilik kebijakan. Siapapun bisa. Intinya mau belajar, penuh kesungguhan. Pendidikan tidak hanya di sekolah atau kuliahan. Formal, informal, non formal mestinya juga ada pengakuan. Kawan saya itu sudah membuktikan.

***
Namun, akhirnya....

Kawan saya sekarang tak lagi kerja di perpustakaan. Kemampuannya cocok di tempat lain yang lebih membutuhkan. Keterampilan otodidaknya sangat bermanfaat. Otodidak. Ingat ya, otodidak. Baru setelah PNS dia disekolahkan coding, kursus atau pendidikan/latihan.

###

Kawan...

Harap diingat: sulit mencari yang seperti itu. Gigih, dan tak kenal lelah dalam perjuangan. Tidak bisa dirampatkan. Tentu saja, faktor nasib dan takdir juga ikut berperan. Kita tidak tahu, takdir apa yang akan diberikan. Jalani saja, jika ilmu perpustakaan sudah jadi pilihan, terpaksa atau penuh kesadaran. 
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?

Pendidikan, tak hanya terkait pekerjaan. Tapi lebih ke adab dan kemanusiaan. Serta perintah Tuhan. Percayalah pada Tuhan, rejeki tak akan ada pertukaran, tinggal diusahakan. 


Jangan ragu. Kalau ragu, lebih baik mundur saja.

Friday, 21 December 2018

Strategi mencintai tempat kerja (perpustakaan)

Deg-deg-ser. Itulah kemungkinan pertama yang dirasakan ketika masuk tempat kerja baru tanpa tahu kondisi sebelumnya. Pertanyaan betah atau tidak, nyaman atau tidak, dibully atau disayang, kemungkinan besar masuk dalam pikiran.

Ketika kuliah diploma, beberapa teman berkesempatan menjadi tenaga partime di perpustakaan. Saya gagal. Tentunya bagi teman-teman partime, mendapatkan pengalaman menarik dan berharga, karena ketika masuk kerja sudah bisa membaca kondisi. Apalagi jika bekerja di tempat partime yang sama. Sama saja dengan libur trus masuk kuliah lagi. Kepenak, meski juga ada kekurangannya. Kurang berwarna.

###

Setelah lulus, saya pernah magang di Perpustakaan Fisipol UGM, 3 bulan lamanya. Blank. Mirip sama suasana nembak gebetan kemudian ditolak. Buyar.  Bingung pekerjaannya apa ya? Mau ngapain?

Beruntung saya punya kenalan yang sudah kerja di perpustakaan tersebut. Cukup membantu.

***

Kemudian, saya memasuki tempat kerja sesungguhnya, pertama kali di Perpustakaan Teknik Geologi UGM. Seperti yang saya sampaikan di atas, awal masuk berbagai pertanyaan juga mampir di pikiran saya. Kalau pas masuk terus dikerjain, bagaimana yak? Atau jika saya bikin kesalahan, waduh bisa kacau.

Saya mulai kerja di Teknik Geologi. Perpustakaannya penuh buku tentang minyak bumi, batu, fosil dan semacamnya. Beda dengan perpustakaan Fisipol, yang (meski saya tak suka baca, waktu itu :) ), masih bisalah saya paksakan membaca buku-bukunya. Mahasiswanya juga berimbang antara i dan a. Lah di Geologi, kebanyakan a, jarang i-nya. Tentu ini masalah tersendiri, dan cukup mengganggu. #halah

Harus ada cara supaya saya senang di perpustakaan ini.

Hingga, saya diberi anak kunci untuk membuka ruang tesis lapangan dan menata koleksi di dalamnya. Di ruang ini tersimpan tesis lapangan dari awal berdirinya teknik Geologi sampai sekarang. Isi tesis lapangan itu pemetaan daerah sekian km x sekian km.  Pembahasan tentang bentang alam, dan lainnya. Terdapat peta geologi dan jenis peta lainnya. Intinya ruang tersebut bisa disebut miniatur keadaan alam Indonesia.

Tesis lapangan ini membahas daerah di Indonesia dari ujung barat sampai timur. Lengkap.

Waktu berjalan. Saya nemukajian tentang pertambangan, perusahaan tambang, politik sumberdaya alam. Kenal website jatam (https://www.jatam.org/), dan semacamnya. Pada titik inilah saya mulai tertarik dengan geologi, tidak hanya tentang ilmunya, namun justru selipan tema sosial/politik terkait geologi. Membangkitkan adrenalin. Tema-tema ini yang terkadang saya obrolkan ringan dengan mahasiswa.

Dari obrolan itu saya mulai dekat dan bisa membangun komunikasi dengan mahasiswa. Kesempatan tersebut cukup membantu pula dalam mengenal ilmu geologi itu sendiri. Kemudian saya tahu ada beberapa alumni yang pernah ada di pemerintahan, mahasiswa yang ternyata anak pergerakan + tulisannya. Informasi ini cukup membantu saya menyenangi perpustakaan geologi.

***

Tahun 2012, saya pindah ke Fakultas Teknik. Perpustakaannya, tentu saja, memiliki koleksi lintas departemen. Hubungan dengan mahasiswa juga tidak sedekat di departemen. Ini masalah.

Setahun pertama, ada penyesuaian yang cukup berat. Melebihi beratnya Dilan menahan rindu pada Milea. Hingga pernah ingin mundur saja. Berat. Asli. "Milea, saya mundur saja, ya. Aku ikhlaskan dirimu untuk Kang Adi".

Tapi ternyata tidak. Dilan tetap berjuang untuk mendapatkan Milea. #halah.

Akhirnya saya menemukan beberapa titik yang mencerahkan. Apa itu ilmu teknik? siapa saja tokoh ilmu teknik? apa yang bisa saya dapat dari ilmu teknik? kenapa ini lebih baik dari pada saya kerja di ilmu sosial? dan lainnya.

Sukarno itu orang teknik. Dia juga proklamator, politisi, bahkan juga nyantri di rumahnya Pak Tjokro. Ini menarik. FT memiliki nuansa ilmiah, riset, yang kental. Tidak berarti saya beranggapan fakultas lain tidak sebaik FT. Tidak, tidak begitu. Namun apa yang ada di hadapan saya, seperti itulah adanya. Di FT, 8 departemen memiliki keahlian riil yang beragam. Saya bebas belajar pada siapa saja. Ini menarik. Perpustakaan FT ini semi otonom, letaknya yang terpisah, kerumahtanggaannya yang 90% mandiri, berpotensi menjadikan pustakawannya merdeka. Merdeka dalam arti positif tentunya.

Pertanyaannya, bagaimana saya memanfaatkan fasilitas di atas? Inilah yang menjadi tantangannya.

***

Memasuki tempat kerja yang baru, bagi saya, perlu mencari titik-titik menarik yang bisa menantang. Hal menantang dan menarik ini, akan membuat kita betah bekerja. Atau paling tidak membawa aura positif bagi proses kita mencari rejeki. Beda orang, beda strategi, beda pula pointnya. Ada yang bagi orang lain menarik, namun bagi yang lainnya kurang, atau bahkan dihindari.

Hal menarik itu bisa tentang koleksinya, manajemennya, efek dari ilmu yang ada di perpustakaan. Atau mungkin pemustakanya. Atau lainnya. Anda, saya, kita semua merdeka mendefinisikannya.


Thursday, 20 December 2018

, ,

“Pustakawan cuma dikasih sisa, dong!?"

Angkringan kang Kuat Gelanggang
Seorang cerdik cendikia bidang perpustakaan dan informasi mengatakan bahwa pustakawan itu perlu sekolah hingga bergelar doktor. Perlu, penting, agar kajian kepustakawanan lebih oke, tokcer, dan joss. Mungkin memang demikian alasannya. Beberapa hitungan pustakawan  kemudian kuliah sampai jenjang doktor. Di luar negeri, atau di dalam negeri. Mbayar sendiri, atau beasiswa.

###

Seperti adat saben, Paijo dan Karyo, dua sahabat karib beda usia jagongan nguda rasa. Tukar kawruh, saling berbagi. 

“Kalau sudah kuliah, lalu lulus, kemudian ngopo, Kang?”. Paijo membuka obrolan dengan Karyo. Obrolan itu terjadi di jalan depan rumah. Tempat biasanya orang lalu-lalang dari kebon. Ngebrok. “Mbok di sini saja jagongannya, Kang Karyo!”, istri Paijo setengah teriak menawari tempat obrolan di teras rumah. Tampak sambil membawa nampan berisi teko dan cangkir, serta sebuah piring. “Di sini saja, Yu. Silir. Sambil nunggu Kang Gimin dari kebon”, jawab Karyo. Mbok Paijo pun menghampiri suaminya dan sahabat karib suaminya itu.

Sejurus kemudian di depan Paijo dan Karyo tersuguh teh tubruk nasgitel  model campuran, racikan istrinya Paijo. Teh model ini dibuat dari beberapa merek teh. Konon kabarnya, lebih nikmat, sepet, tur gerrr. Di samping teko wadah teh, ada piring putih bermotif kembang. Pinggiran piring porselen itu sudah cuwil beberapa bagian. Tandanya piring itu sudah berumur. Lungsuran dari simbah-simbah-simbah dahulu. Namun, piring itu masih bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Dia masih bisa jadi wadah yang sempurna. Bahkan terkesan antik dan berkelas. Kemampuan mbok Paijo merawat perabot memang luar biasa.

Di atas piring tampak camilan ungkrung goreng, serta sebuah sendok dari daun pisang yang dilipat. Sendok itu dipakai untuk njumput ungkrung, diletakkan di telapan tangan, lalu dicamili satu persatu. “Ini ungkrung buruan tadi pagi sampai siang, Kang. Lumayan, dapat 6 ons”, terang Paijo. Ungkrung memang sedang naik daun. Bisa ratusan ribu sekilo. Melebihi harga daging ayam, lele, bawal, dan semacamnya.

Ungkrunge ndang dimakan, Jo. Jangan dinggorke saja”, basa-basi Karyo tidak langsung menjawab pertanyaan Paijo. Dia malah ambil ungkrung goreng lalu njumputi satu satu ke mulutnya. Mrus-mrus.  Tangan kanannya meraih gagang cangkir, lalu nyeruput teh nasgitel. “Ger…”, Karyo bergumam setelah kerongkongannya basah oleh teh manis racikan mbok Paijo.

“Jo. Pertanyaannya tidak langsung ‘kemudian ngapain setelah lulus?’!, Karyo mulai berkomentar.
“Lalu, apa, Kang?”.

Proses menjadi doktor bidang perpustakaan, tidak serta merta, tidak mak bedunduk. Ada kepentingan-kepentingan, atau gegayuhan hingga seorang pustakawan mau mendaftar program doktor. Kemudian, doktor itu idealnya kerja riset. Kalau sudah doktor maka tidak boleh lepas dari yang namanya riset. Dia punya tanggungjawab pengembangan. Kecuali menyatakan selesai. Karyo melanjutkan penjelasannya.

“Sik, maksudmu apa, Kang?. Mumet saya”.

“Yang harus ditanyakan pada pustakawan yang sudah bergelar doktor itu, pertama kali adalah “apakah mereka masih mau jadi pustakawan? atau jika sebelumnya belum pustakawan, apakah mereka mau mendaftar jadi pustakawan?’. Itu dulu yang harus ditanyakan”.

Pertanyaan dan pernyataan itu bagi Karyo agaknya dirasa penting, sehingga dijadikan awalan menjawab pertanyaan Paijo. Untuk memastikan dahulu, apakah konsistensi si pustakawan ketika sudah jadi doktor masih sama. Atau ndleyo, mengkeret, munter, balik arah, kemudian mengatakan,  “baju pustakawan sudah tidak muat untuk saya yang sudah doktor”.

“Kenyataan alias kasunyatan. Menjadi pustakawan dengan title akademik tertinggi: doktor, itu berat. Dia harus mau dan mampu memberi contoh sesama pustakawan. Dalam hal apapun. Dia harus bisa dicontoh dalam kesehariannya sebagai pustakawan”. Karyo melanjutkan penjelasannya.

“Bukahkah semuanya harus memberi contoh, Kang?. Tidak hanya doktor, yang sarjana, atau diploma sekalipun harus. Bahkan pustakawan hasil diklat”, Paijo setengah membantah.

“Benar, Jo. Pada dasarnya semuanya. Namun jika ada yang menyandang titel tetinggi, maka bebannya lebih banyak. Dia akan jadi sasaran pandangan pertama oleh orang di luar pustakawan. Citra pustakawan akan bergantung lebih padanya”, Karyo menambahkan.

“Kalau sampai setelah jadi doktor kok pindah profesi, atau tidak ambil profesi pustakawan, maka kamu itu Jo, kamu itu”, tangan Karyo sambil menunjuk muka Paijo.  “Harus ikhlas! Ikhlas jika memang pustakawan itu kelas kedua dalam pilihan profesi. Cuma dapat residu, sisanya saja”. Karyo nerocos melanjutkan penjelasannya.

"Itu belum apa-apa, Jo. Jika setelah jadi dosen, mereka mengatakan "pustakawan harus ini itu", kamu harus siap lahir bathin", Karyo menambahi lagi.

"Tapi, jika setelah jadi doktor tetap konsisten jadi pustakawan, maka kamu harus mengangkatnya menjadi manusia setengah dewa",  Karyo menutup kuliahnya pada Paijo.

Paijo diam. Batinnya bergemuruh. Dia ingat bagaimana dosen ilmu perpustakaan begiti entengnya mengatakan "Pustakawan itu hari begini dan begitu". Tanpa beban. Mereka tak tahu bagaimana kondisi sosial politik perpustakaan yang di hadapi. Sak enak'e dhewe, mentang-mentang dosen njuk kemlinthi. Paijo mbathin.

Wajahnya lesu. “Aku berarti cuma residu, sisa-sisa, Kang?”.

Karyo tidak menjawab. Tangannya justru meraih teko wadah air teh, kemudian menuangnya ke cangkir yang hampir habis isinya. Kemudian dia jumput lagi ungkrung goreng di piring, lalu satu persatu di masukkan ke mulut.

Suasana hening….

###

Hening itu berlangsung beberapa saat. Karyo tetap diam. Menunggu reaksi Paijo. Paijo justru melamun. Mata Paijo menerawang, tampaknya sedang mengingat sesuatu. Sepintas kemudian dia mulai bicara.

“Kang, saya pernah dengar. Seorang cerdik cendikia mengatakan bahwa dia mengambili pustakawan terbaik di kampusnya, untuk diproyeksikan menjadi dosen ilmu perpustakaan”, Paijo berbagi informasi.

“Nah, itu Jo. Kamu dengar sendiri. Yang terbaik diambil, dinaikkan “derajat”nya. Di selamatkan dari goncangan profesi pustakawan. Dijadikan dosen (ilmu) perpustakaan. Logikanya, kalau yang pinter diambil jadi dosen, lalu pustakawan tinggal sisanya. Padahal pustakawan perlu orang pintar yang bisa memberi contoh jadi pustakawan yang baik dan benar. Menjadi praktisi itu lebih berat dari akademisi (ilmu) perpustakaan. Kalau yang lebih berat saja dikasih sisa, lalu?”, Karyo ngegongi Paijo.

Embuh, Kang!”. Paijo menyerah.

“Kang Paijo, wis meh magrib. Sapine dimasukkan kandang. Ndang siram. Nanti ada kondangan di tempatnya Lek Gimin, tho”, teriak Mbok Paijo sebagai wujud perhatian dan tresno pada suaminya.

Wis, tak bali dulu, Jo. Nanti ketemu di tempatnya Kang Gimin. Satu hal yang tetap harus kamu ingat: jika setelah jadi doktor tetap konsisten jadi pustakawan, maka kamu harus mengangkatnya menjadi manusia setengah dewa", Karyo tahu diri dan pulang.

Kang Gimin, tetangga mereka, malam ini ada kondangan nyewu (seribu hari) kematian keluarganya. Kondangan terakhir, setelahnya tak ada lagi tersisa. Namun doa-doa tetaplah dipanjatkan, sepanjang masa. 


Sambisari,
Kamis Wage, 11 Bakdomulud 1952 Be
04.54 pagi

Thursday, 29 November 2018

Zotero di Google Docs

Horee....
Kaget ketika membuka Google Docs, dan menemukan menu Zotero di barisan sejajar dengan File, Tools, Help dan lainnya. Ya, Zotero ada di Google Docs. Munculnya Zotero ini disebabkan oleh pemasangan Zotero Conector di browser yang digunakan.

Tidak semua menu Zotero ada di Zotero for Google Docs, melainkan hanya Add/Edit Citation, Add/Edit Bibliography, Preferences, Refresh, serta satu lagi Unlink Citations.

Selain muncul di Menu, Zotero juga muncul sebagai tombol di Google Docs. 

Untuk menggunakan fitur ini, tentu saja pengguna harus memasang Zotero di komputernya. Google Docs akan meminta otentifikasi menggunakan akun Google anda. Setelah itu, kita bisa menggunakan selayaknya menggunakan Zotero pada Ms. Word atau Libreoffice.

Zotero merekomendasikan, sebelum mengirim dokumen pada orang lain untuk melakukan penyalinan dokumen, kemudian seting "Unlink". Penyalinan dilakukan melalui File --> Buat Salinan.

Fitur Zotero dalam Google Docs memungkinkan kolaborasi penulisan dokumen. Namun demikian, Zotero merekomendasikan untuk tidak melakukan editing/insert bibliografi dalam waktu yang sama.



Info lengkap:


Wednesday, 31 October 2018

, , ,

Gitu aja kok repot, Jo....

Banjir. Bikin repot, tapi membawa rejeki.
"Gitu aja kok repot". Mendadak seloroh yang pernah dipopulerkan Gus Dur itu muncul lagi. 
------

Suatu siang, seorang dosen ilmu perpustakaan berkomentar pada curhatan Paijo. Paijo curhat tentang beban berat pustakawan sekolah yang pernah dihadapi Kimpul. Pak Dosen berkata, "lulusan ilmu perpustakaan jangan mau kerja di perpus yang gajinya kecil". Tidak berhenti di situ,  Pak Dosen melanjutkan: "masih ada lembaga lain yang bisa beri gaji besar. Lulusan (ilmu) perpustakaan tak harus kerja di perpustakaan". 

Sekali lagi, demikianlah dulu alasan Kimpul hingga akhirnya keluar dari pekerjaannya sebagai pustakawan sekolah. Gajinya kecil, hingga membuat Kimpul ragu ketika dihadapkan pada biaya nikah dan setelah nikah. Persoalan gaji merupakan persoalan klasik di perpustakaan sekolah.

Saran Pak Dosen di atas logis, solutif, informatif. Maklum, beliau dosen yang ilmunya setinggi langit dan sedalam sumur minyak. Berbeda dengan pustakawan. Dari ajarannyalah pustakawan menjadi ada. Jika ada yang mengaku pustakawan, namun tidak lahir dari ajarannya, maka perlu dipertanyakan kepustakawanannya. Demikian katanya.

Namun, keluar dari perpustakaan sekolah, sebagaimana disarankan Pak Dosen tadi, ada konsekuensinya. Sekolah yang benar-benar minim anggaran akan benar-benar ditinggalkan oleh para alumni ilmu perpustakaan, semacam Kimpul, Yem, juga Paijo atau Karyo. "Gajinya kecil, ngapain kerja di situ", demikian kurlebnya. Ketika ditinggalkan, maka harapannya kemudian ada pada guru atau staf non guru lainnya. Hal ini pun akan meninggalkan permasalahan. "Harusnya dikelola oleh alumni ilmu perpustakaan. Harusnya ada lowongan pustakawan. Inpassing lagi, lagi-lagi inpassing", demikian teriak-teriak yang akan didengar kemudian.

"Gitu aja kok repot", kata yang mulia dosen ilmu perpustakaan itu menutup komentarnya.

###

Ya, memang, kami, para pustakawan sekolah repot. Harus kami akui sejak awal. Atau, jika tidak boleh kami atas namakan pustakawan, sebut saja sebagian pustakawan sekolah. Kami repot, kok. Ketika kerja di perpustakaan sekolah, di antara kami hanya lulusan SMA. Namun karena kecintaan kami pada perpustakaan sekolah, kami juga rela nyapu, ngepel, nyulakki sawang di langit-langit. Tidak hanya itu, Pak. Sabtu  dan Minggu, yang biasanya kami gunakan untuk kumpul dengan keluarga, kami korbankan.  Kami kuliah lagi, meski hanya 2 hari sepekan. Repot memang. Namun kami ingin ketemu dengan bapak/ibu tentor yang pintar-pintar. Kami ingin ketularan pintarnya mereka. Maka kami kuliah. Sekali lagi, kuliah kami ini memang repot, tapi tetap kami lakukan.

Apa yang terjadi? Setelah lulus tidak serta merta mengubah nasib kami. Kami memang repot. Sebagian kami ini masih honorer, mau sekolah tinggi, sarjana ilmu perpustakaan, atau "dan informasi", pangkat mana yang mau menerima kami?. Kami memang repot, Pak. Apalagi kalau kami keluar dari perpustakaan sekolah itu. Lontang-lantung lagi.

Sebenarnya kami ingin bertahan, Pak. Karena kami berfikir tentang anak-anak di sekolah itu. Ya, tak banyak yang bisa kami lakukan untuk masa depan mereka. Hanya sebatas melayani mereka di perpustakaan. Namun, mereka sudah jadi bagian dari hidup kami. Kami ini sering ketemu dengan orang tuanya. Maklum, di kampung, sudah seperti saudara. Ketika kami ketemu dengan orang tuanya, mereka mengatakan, "nitip Thole ya, Bu". Berat, repot, Pak. Kata-kata, pengharapan simboknya Thole itu sampai ke ulu hati kami, Pak.  Nyesek. Mereka berharap dengan sekolah, Thole bisa memperbaiki hidupnya. Perpustakaan itu juga bagian dari sekolahnya Thole, Pak. Juga dengan  buku-buku itu, yang setiap hari kami sentuh dan sodorkan pada anak-anak. Tapi kami juga harus realistis. Hidup perlu biaya. Kalau kami tak punya usaha sampingan, maka keluar adalah jalan satu-satunya.

Repot, Pak. Terkadang dari kami masih sering  ketemu Ibunya Thole, yang satu grup arisan. Kadang merasa malu. "Kok keluar, Bu. Lalu siapa yang membimbing Thole?". Seolah-olah, kami tak mampu memberikan harapan pada Thole.

Tapi semua itu kami singkirkan. Sebabnya satu, karena suntikan semangat dari bapak.  Ya, melalui komentar "gitu aja kok repot", yang pernah bapak sampaikan. Sungguh kalimat pendek itu menjadi pemompa semangat kami.

Apalagi ada teman kami yang sudah duluan pindah profesi lain atau institusi lain seperti saran Bapak. Struktural kalau ada yang menerima, yang jelas-jelas jenjangnya.

Sebenarnya kami masih ingin bertahan, Pak. Namun, sekali lagi setelah bapak sampaikan "gitu saja kok repot", semangat kami jadi melecu, membara dan berkobar-kobar. Pernyataan bapak menambah semangat kami, semangat untuk resign. Kami jadi tidak lagi berat meninggalkan perpustakaan yang tak memberi kami gaji yang layak. Kami tak lagi berat dengan anak-anak itu, buku-buku itu. Kami akan pikirkan diri kami sendiri. Mencari pekerjaan yang lebih banyak gajinya.  Karena Bapak seorang dosen, maka kalimat itu menjadi dasar hukum keputusan kami, legal secara akademis.

Doakan kami kuat, pintar, terampil, dan bisa sehebat Bapak. Ah, jangan sehebat Bapak, nanti ndak dikira nyaingi Pak Dosen. Biarlah kami, kualitasnya tetap di bawah Bapak saja. Namun harapan kami semoga bisa ayem tentrem. Mendapatkan pangupo jiwo yang jadi lumantar rejeki. Meski mungkin tetap harus repot.

Hidup memang repot, Pak. Tidak bisa tidak repot. Hidup dan repot itu sudah saling mengisi. Hidup tanpa repot, kurang menarik.

"Pak Dosen, biarlah kerepotan itu untuk kami saja. Kerepotan itu berat, engkau tak akan kuat".

Tolong bekali adik-adik kami dengan kemampuan yang linuwih,  agar tidak serepot kami. Agar mereka bisa masuk lembaga yang bisa menggaji dengan layak. Satu lagi pesan kami, jika memang di perpustakaan sekolah itu kami tidak bisa mendapat gaji layak, atau tak bisa disebut pustakawan, tolong hapus saja jenis perpustakaan sekolah, Pak. Atau jangan jadikan lowongan perpustakaan sekolah sebagai bahan proposal pendirikan atau promosi jurusan ilmu perpustakaan.

Jangan menambah orang yang repot, Pak.

####

Suatu waktu, Paijo sampaikan pengalamannya ini pada Karyo.

"Lulusan ilmu perpustakaan kok jangan bekerja di perpustakaan. Aneh ndak, Kang?", kata Paijo.

Kalimat ini bagi Paijo sebenarnya agak masih agak aneh. Lulusan ilmu perpustakaan - jangan kerja - perpustakaan - gajinya kecil. Empat kata kunci, dengan dua kata "perpustakaan" yang rasa-rasanya  bertolak belakang. 

"Yo tidak, tho. Itu kan yang ngomong dosen ilmu perpustakaan. Pasti benar, valid, dan bernilai tinggi". Sahut Karyo.

"Bernilai tinggi bagaimana, Kang?"

"Pernyataan bernilai tinggi dan sudah membuktikan sendiri, bahwa ilmu perpustakaan itu tidak percaya diri. Bukan ilmu", Karyo menjawab.

"Gandrik...". Paijo kaget. 


[[ selesai ]]

Tuesday, 30 October 2018

, , , , ,

Pre librarian - librarian - post librarian

Menjadi pustakawan itu berkah. Demikian seharusnya memaknai. Meskipun memang benar, ada yang kemudian berpindah atau keluar dari profesi tersebut. Semua punya sejarah, alasan, dan dasar yang pada dasarnya harus dihormati. 

Paijo, pustakawan dari pelosok kampung itu masih mencari pemaknaan dirinya terhadap profesinya. Dia ingin menempatkan pustakawan secara tepat pada dirinya. Penempatan yang pas, ora komplang. Manjing. Tidak menyakralkan, namun juga tidak meremehkan. Pemaknaan ini penting, agar selanjutnya dia bisa merdeka berjalan di jalan yang tepat, dan diyakini. Serta tentunya tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai isu dan dinamika dari luar. 

Dia tidak memungkiri, bahwa sesamanya ada yang telah selesai dengan pemaknaan pada profesi ini. Dia anggap begitu beruntungnya mereka. Namun, kadang dia juga berprasangka lain. Mungkin juga mereka tidak begitu memikirkan apa yang sedang difikirkan Paijo. Entahlah.

Paijo yakin bahwa semua pustakawan berhak memaknai perjalanan berpustakawannya. Bahkan pemaknaan itu boleh berbeda dengan orang lainnya. Tidak harus sama. Tidak ada yang mewajibkan harus sama. Tidak ada dosa jika berbeda. Paijo ingat ketika masih sekolah, diskusi bersama teman-temannya tentang tafsir pada ayat suci. Ayat suci yang turun dari Tuhan, ketika sampai pada mufasir akan menghasilkan tafsir yang berbeda. Jika semua orang yang tidak masuk pada level mufasir ikut menafsirkan, pasti akan lebih beragam. Tafsir pada hal yang sakral pun bisa berbeda, apalagi hanya pada sebuah profesi ciptaan manusia. Demikian yakin Paijo.

Imaji Paijo pun meliar. Ketika di perpustakaan, sambil bekerja, sambil melamun, mencoba menggali makna pekerjaannya.  Berharap menemukan titik-titik pemberhentian dan berjumpa dengan  makna kepustakawanannya. Untuk mengejar makna ini, buku para begawan juga pernah dibaca, meski tidak semuanya selesai. Apa sebab? Entah. Dia sendiri juga bingung. 

###

Paijo melanjutkan perenungan perjalanan kepustakawannya. Kali ini sendirian, tidak ditemani Karyo, yang sedang pergi entah kemana. Juga tanpa sego thiwul kesukaannya. Dia ingin sendiri, kontemplasi. Agar fokus, kontemplasi Paijo dibatasi dahulu sesuai apa yang dia alami: pustakawan formal yang lahir dari pendidikan (ilmu) perpustakaan. 

Dalam perjalanan kontemplasi itu, Paijo memilah 3 fase keberpustakawanan yang dia lalui: pre librarian, librarian, dan post librarian. Paijo mencoba menelisik dirinya pada tiga fase ini.

Pre librarian merupakan waktu ketika masih berjuang agar nantinya dapat disebut pustakawan. Berbagai hal dilakukan dalam fase ini. Salah satunya dengan menempuh pendidikan. Pada masa ini idealisme dibangun. Berbagai artikel dan buku dilahap. Berbagai keterampilan diasah. Diskusi didatangi, serta cerdik cendikia didaulat untuk duduk (kadang juga berdiri) berbicara. Tujuannya satu: agar ketika sudah menjadi pustakawan, diperoleh predikat ideal.

Namun, pada masa ini Paijo juga merasa pernah jatuh. Linglung. Dirinya merasa aneh dengan pendidikan perpustakaan yang dia tempuh. ”Iki sekolah opo?”.  Kegamangan ini tidak hanya dialami  Paijo. Namun juga beberapa  temannya. Dibuktikan dengan kenyataan beberapa temannya berguguran, berpindah jurusan sebelum lulus. Bahkan, saat ini pun dia masih menemui mahasiswa yang sekolah perpustakaan merasa gamang. Sialnya, mahasiswa ini pernah bertanya, atau ngudo roso tentang kegamangan ini pada Paijo. Tak banyak yang bisa disampaikan Paijo, “lakukan yang terbaik pada apa yang ada di depanmu saat ini. Kamu boleh tidak suka dengan jurusan yang kamu ambil, tapi jangan remehkan (ilmu) ini”.

Kegamangan itu memang wajar. Seorang yang sudah masuk jurusan favorit macam kedokteran juga bisa gamang. Mungkin ndak sesuai minat, masuk karena ikut-ikutan, disuruh orang lain, atau sebab lainnya. Tapi begitulah, masa pre librarian memang kompleks. 

Pada masa ini, Paijo mencoba mengingat, meski ada yang gamang, ada pula yang berfikir idealis penuh percaya diri. Kompilasi bacaan tentang perpustakaan, yang ditulis dari berbagai sumber, mengantarkan mereka untuk presentasi pada pertemuan ilmiah. Atau paling tidak tulisannya menghiasi berbagai media massa.  Proses belajarnya harus dibenturkan pada berbagai bentuk pemikiran lainnya. Di pertemuan ilmiah tersebut, pandangan pro kontra akan mematangkan pemikirannya. Pada media massa, orang akan dapat membaca siapa dan bagaimana arah pemikirannya.  Ini hal yang positif pada masa pre librarian.

Berikutnya yaitu masa librarian, ketika sudah menjadi pustakawan. Inilah masa seseorang yang sudah menempuh pre librarian, kemudian  disebut sebagai pustakawan. Formal. Sesuai undang-undang,  atau sesuai ketentuan dan kebutuhan di institusi induknya.  Atau mungkin penyebutan itu berasal dari masyarakat sebagai sebuah penghargaan pada peran yang dilakukannya. Pada masa inilah idealisme bertemu dengan realita. 

Akan ada kompromi, penyesuaian, pertentangan, dan mungkin penguatan. Kompromi dilakukan ketika menemukan kenyataan yang ternyata tidak serta-merta sesuai dengan jabaran teks yang pernah dibaca sebelumnya, ataupun dengan teks dan interpretasi mutakhir yang juga terus diikuti. Akhirnya ada yang harus ditahan, dikalahkan, diprioritaskan dan lainnya. Hal itu dapat ditelisik dari pilihan bentuk kerja-kerja pustakawan.  Inilah masa-masa sulit. 

Pada masa ini pustakawan mulai menghadapi konsekuensi yang bukan hanya konsekuensi sebagai pustakawan. Namun juga konsekuensi sebagai manusia. Pustakawan harus mampu membaca dirinya sebagai manusia, bukan sekedar sebagai pustakawan semata. Sebagai pustakawan, diajarkan hal yang ideal: lowongan pustakawan yang menjadi haknya, bisa bekerja, sesuai pendidikan, digaji ideal. Tapi konsekuensi sebagai manusia lebih luas. Manusia itu harus mau diuji, berjalan di jalan yang berliku, penuh perjuangan, dan lainnya. Gajinya sedikit, diberi pekerjaan berlebih, dan lainnya. Ndak enak. Nah, pada masa itulah dia harus memutuskan: lanjut, atau cabut. 

Paijo ingat pernah pula dicurhati orang yang ada di level pustakawan. Pelik masalahnya. Bingung pula Paijo dalam menanggapi. Ketika itu, kawan Paijo diminta untuk pindah ke bagian lain. Dia dihadapkan pada pilihan idealisme, atau mengikuti perintah atasan. Paijo memberikan saran yang menurutnya paling barokah: ikuti perintah atasan, selama itu bukan perintah keburukan. Saran ini disampaikan, karena Paijo melihat di unit tersebut kurang orang, dan pada saat yang sama, bagian lain sangat membutuhkan. Kawan tersebutlah satu-satunya pilihan pimpinan. Bagaimana dengan perpustakaan yang ditinggalkan? Dengan pengondisian, dapat berjalan hingga sekarang. Mungkin saran tersebut tidak akan disampaikan, jika ternyata di unit masih ada banyak pilihan orang.

Orang yang (entah) kebetulan atau ditakdirkan jadi pustakawan, harus memandang dirinya sebagai manusia, dan siap dengan segala konsekuensinya sebagai manusia.

Paijo ingat, pada sebuah buku disampaikan bahwa hidup itu ujian, baru kemudian ada pelajaran dari ujian itu. Demikian pula ketika pustakawan masih kuliah, porsi belajarnya baru 20%. Yang 80% main-main. Sementara ketika jadi pustakawan, 100% kesehariannya adalah belajar, praktik, dan ujian. Dia dihadapkan para kenyataan dan ujian. Barulah dari dua hal ini dicari nilai pelajarannya, begitu seterusnya. Itupun jika mampu mencerna ujian yang dihadapi. Jika tidak, maka yang muncul hanya keluhan, umpatan, dan semacamnya. 

Sekolah itu pelajaran dulu, baru ujian. Sementara kehidupan alam, ujian dulu baru diberi pelajaran. (sumbernya lupa)

Perjalanan kepustakawanan tidak hanya selesai di sini. Keberpustakawan tidak hanya selesai ketika seseorang menjadi atau mendapat predikat pustakawan dengan berbagai tantangannya. Namun secara substansi, masih bisa naik pada level post-librarian. Beyond librarian.

Post librarian, merupakan masa ketika seorang pustakawan sudah melewati masa “librarian”. Ini posisi terakhir, pungkasan. Pergulatan, kompromi, pertentangan, sudah dilewatinya. Meskipun secara nyata saat itu dia masih menyandang predikat pustakawan, masih melakukan kerja-kerja seorang pustakawan, namun pemaknaannya bisa dinaikkan pada level post-librarian.

Seseorang yang sudah post, berarti sudah selesai dengan berbagai dinamika yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Manjing ajur-ajer. Penempatan arti “pustakawan” pada dirinya sendiri sudah selesai. Konflik, kekecewaan, dan semacamnya yang muncul sewaktu-waktu sudah dapat dia kendalikan di internal dirinya sendiri. Bahkan ketika konflik, kekecewaan, dan semacamnya itu hadir pada ruang dan waktu yang berbeda. Sudah selesai. Dia fokus pada inti profesinya sebagai pustakawan dalam berhubungan dengan orang lain. Inti! bukan atribut. 

Menempati posisi post, berarti sudah mapan. Bukan mapan secara finansial, namun mapan secara pemikiran dan pemaknaan. Dia sudah tidak lagi terikat pada dikotomi “saya pustakawan” dan “engkau pemustaka”.  Pada taraf inilah, ketentuan pustakawan formal yang terikat undang-undang atau peraturan, sudah tidak berlaku bagi dirinya. Semua manusia itu pustakawan, dan semua manusia sekaligus juga pemustaka. 

Inilah masa ketika pustakawan tidak lagi terikat pada batasan: siapa yang berhak menjadi pustakawan, dan siapa itu pemustaka. Baginya, semuanya sudah melebur. 

Paijo mengambil nafas panjang. Tatapannya dialihkan ke jalan di depan rumahnya. Jalan yang cukup ramai lalu lalang orang ke tegalan. Kiri kanan jalanan itu tumbuh pohon jati yang rindang. Angin semilir melewati batang pohon, terus dan terus berhembus. Akhirnya sampailah hembusan itu di emperan tempat Paijo duduk. Wajahnya diterpa angin. Wusss. Sejuk. Dia bergumam, “lalu, aku ada pada posisi mana?”. Paijo bertanya pada dirinya sendiri.


Prestasi terbesar pustakawan
Prestasi. Satu kata, namun menjadi tuah sakti untuk banyak orang, berbagai profesi, bahkan berbagai kepentingan. Bermacam kalimat penambah samangat dibuat menggunakan kata “prestasi”: gapailan prestasimu, kejar prestasi, belajar untuk meraih prestasi. Prestasi, secara alami akan dikejar. Bentuknya bisa bermacam, terpaut pada kepentingan si pengejar prestasi itu.

Ada yang menganggap pencapaian pendidikan tertinggi, atau mampu membeli mobil (mewah) sebagai sebuah prestasi. Atau, bagi sebuah partai politik: mempertahankan kekuasaan merupakan prestasi puncak, yang mengikuti prestasi lainnya: merebut kekuasaan.

Demikian pula pustakawan. Ada prestasi yang tertanam pada masing-masing mereka, sebagai angan untuk diwujudkan. Bisa berupa prestasi individu maupun kelompok. Menjadi pustakawan terbaik pada berbagai jenjang, jamak menjadi prestasi yang sering dimunculkan. Baik di level institusi, kabupaten, propinsi, atau nasional. Ya, syukur regional atau internasional. Memperoleh akreditasi ISO, salah satu contoh prestasi institusi yang sungguh merangsang. Menyertainya pula berbagai bentuk prestasi lainnya: mendapat bonus, mendapat beasiswa, presentasi di konferensi, artikel masuk jurnal. Atau mungkin berfoto dengan tokoh penting kepustakawanan idolah dengan berbagai pose aduhai dan gokil, kemudian mengunggahnya ke media sosialnya. Berharap tuah dan berkah melalui tombol like and share. Itu sah dianggap sebuah prestasi yang luar biasa.

Ada juga prestasi harian: mampu menemukan informasi yang dibutuhkan orang lain. Tepat, cepat, dan akurat. Prestasi harian ini mampu meningkatkan hormon kebahagiaan pustakawan di setiap hari. Tentunya prestasi harian ada berbagai macam bentuknya. Semakin sering prestasi ini dicapai, akan berpengaruh pada tingkat kebahagiaan pustakawan. Dia akan merasa dianggap ada dan dibutuhkan. Pihak yang membutuhkan pun merasa terpuaskan. 

###

Namun, apa sesungguhnya prestasi terbesar pustakawan?

Sebelum membahas prestasi terbesar pustakawan, ada baiknya kita telaah cara pandang pada profesi pustakawan oleh si pustakawan itu sendiri. Fokus pandangan pustakawan yang mengagungkan pernyataan  “pustakawan itu penting”, harus digeser kepada  “hal penting apa yang bisa dilakukan pustakawan”. Jika demikian, maka fokus pustakawan akan ada pada perannya, bukan dirinya. Cara pandang ini penting, karena akan mengantarkan pustakawan pada pemaknaan profesi yang luas dan tidak terkungkung pada batasan-batasan tradisional. Meskipun demikian, tetap terkait ruh dasar kepustakawanan.

Prestasi besar pustakawan akan terwujud ketika dikotomi pustakawan-pemustaka sudah tidak ada, sudah hilang. Masa ketika seorang pustakawan akan menganggap orang lain juga merupakan pustakawan. Hal ini bisa dijelaskan dengan filosofi jawa “nguwongke uwong”, menjadi “nguwongke pemustaka”. Pemustaka tidak lagi  dianggap sebagai pemustaka saja. Di sisi lain, si pustakawan juga  menganggap dirinya sendiri seorang pemustaka, yang memerlukan sebagian kerja kepustakawannya, untuk dirinya sendiri.  

Ketika substansi ber-pustakawan telah menempel pada diri setiap pemustaka, maka pada masa inilah, prestasi terbesar seorang pustakawan terwujud. Semua telah pustakawan.

Proses menghilangkan perbedaan pustakawan dan pemustaka ini disebut sebagai proses memustakawankan pemustaka. Hal inilah yang merupakan “hal penting yang bisa dilakukan pustakawan”. Thetek bengek pekerjaan rutin yang selama ini dilakukan pustakawan, merupakan  turunan dari hal dasar ini. Proses inilah inti utama kerja pustakawan. Menjadikan pemustaka mampu secara mandiri menemukan informasi yang diperlukan, memfilter kualitasnya, dan menggunakan untuk dirinya sendiri, serta disebarkan kepada orang lain. Atau pemustaka menjadi mampu menemukan komunitasnya sendiri, untuk berkumpul dan bertukar pengetahuan. 

Proses di atas, sangat mungkin berakibat pemustaka akan menjadi lebih “pustakawan” daripada si pustakawan. Ini tidak mengapa, justru bernilai positif. Ibarat seorang guru, pustakawan akan merasa bangga jika muridnya telah mampu mengalahkan dirinya. Demikian sabda Begawan Parasurama. 

Pada saat inilah, tidak akan ada lagi kekhawatiran hilangnya profesi pustakawan, karena semua orang telah pustakawan. Peran pustakawan menempel pada diri masing-masing manusia (pemustaka), pada semua profesi. Keberpustakawanan merupakan kerja semua orang, bukan monopoli pustakawan formal semata. 

Pustakawan hanyalah perantara, lantaran yang hanya opsional agar semua manusia bisa mencapai tingkat berpustakawan untuk dirinya masing-masing. 


###

Mendung bergulung tipis. Menurunkan air yang juga tipis-tipis, alias gerimis. Mata Paijo berbinar, senyumnya merekah. Dia merasa  memperolah pencerahan. “Kang, ini ada telo godog”, suara lembut istrinya terdengar dari dalam rumah. Keluar sambil nyangking nampan berisi piring berisi ketela mateng yang masih anget, dua cangkir berisi gula batu. Serta teko bercat hijau berisi air teh tubruk, yang tentunya saja masih panas. 

Lelaki setengah tua berjalan di bawah gerimis, membawa kail, lewat jalan di depan rumah Paijo. “Mau kemana, Kang?”, sapa Paijo. “Mancing, Kang. Gerimis begini, air agak keruh, ikan mudah untuk dipancing”, jawab Kromo dengan yakin.

Paijo bergumam, "Kang Kromo telah menjadi pustakawan, minimal untuk dirinya sendiri"



Monday, 29 October 2018

,

Pustakawan sekolah: dua beban beratnya

Sore itu, Kamis, pekan terakhir di bulan Oktober, Paijo leyeh-leyeh di bawah pohok talok depan rumah. Pohon talok itu sangat bersejarah. Kala kecil, Paijo sering memanjat memburu buahnya. Di sampingnya berdiri pacul dan sebilah sabit. Namun, dua gaman itu tidak digunakan. Paijo justru tetap duduk di bawah pohon. Melamun. Dalam lamunannya, Paijo teringat Kimpul, teman lamanya. Paijo pun tahu, dari kabar yang beredar, bahwa Kimpul mengundurkan diri dari profesi pustakawan. Diapun tahu alasannya. (cerita tentang Kimpul ada di http://www.purwo.co/2018/10/ciloknya-pustakawan.html)

###

Kenyataan yang dihadapi Kimpul, membawa Paijo pada lamunan panjang di sore itu. Betapa beban berat yang harus dipikul Kimpul, dan kemudian memaksannya mengambil keputusan yang kurang populis: mundur. Namun Paijo juga mafhum bahwa menghalalkan Paijem serta menghidupinya perlu uang, pendapatan, atau pangupo jiwo. Memang tidak harus banyak, tapi cukup. Itung-itungan lah tentang pangupo jiwo itulah yang membawa Kimpul harus mundur.

Awalnya Paijo kecewa, namun akhirnya Paijo justru salut pada keputusan Kimpul. Keputusan mundur itu membuktikan Kimpul punya sikap. Dia tidak fanatik pada pekerjaan, dan juga tidak fanatik bahwa sekolah perpustakaan itu harus jadi pustakawan. Atau minimal Kimpul berfikir bahwa alumni ilmu perpustakaan itu tidak harus ngantor, entah di negeri atau swasta. Sekolah itu untuk membentuk watak, pola pikir, dan semacamnya termasuk menempa diri agar tahan banting. Bersekolah harusnya tidaklah menyempitkan lahan pekerjaan, tapi justru sebaliknya. Sekolah itu memperluas kemungkinan pekerjaan.

Jika seseorang sekolah ilmu perpustakaan kok hasil akhirnya selalu harus “pustakawan”, itu berarti kurang memahami arti sekolah itu sendiri. Jelas itu menyempitkan ilmu perpustakaan. Sekolah ilmu perpustakaan juga bisa jadi bakul bakso, atau bakul cilok seperti Kimpul. Itu baru benar. Sekolah itu memperluas, bukan mempersempit. 

###

Kejadian Kimpul membawa Paijo merenung, terkait kondisi yang dialami pustakawan, khususnya pustakawan sekolah. Setidaknya ada dua beban berat yang pernah dipikul Kimpul ketika kerja di perpustakaan sekolah. Paijo ingat pernyataan Kang Tomo, “350 ewu” atau 350.000. Angka itu merupakan angka gaji pustakawan di sebuah sekolah dasar. Ada juga, Yu Painuk yang menginformasikan bahwa di daerahnya seorang pegawai tidak tetap perpustakaan mendapat gaji hampir sejuta, tapi itu karena dia sudah mengabdi puluhan tahun. Di tempat yang sama, pegawai baru kategori tak tetap mendapat 600 ribu sebulan. Keduanya memperoleh bayaran itu dengan pekerjaan tambahan: kebersihan. 

Pekerjaan tambahan sebagai tenaga kebersihan memang sudah umum. Memang hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Tambahan pekerjaan itu sebagai wujud budi baik pimpinan, agar ada alasan untuk menambah insentif pegawai. Atau si pustakawan bisa memaknainya sebagai  wujud tempaan alam, ujian, laku prihatin. Namun di sisi lain, ya tetap itu tidak pada tempatnya.

Kang Bendol dan temannya, keduanya pustakawan sekolah, mengamini ini. Ketika menanggapi tentang usulan dicantumkannya angka-angka gaji pustakawan sekolah pada promosi ilmu perpustakaan, dia komentar: “Biar gak kaget kalau harus pegang sapu dan pel”, katanya.  “Ngenes, Lur”. Gumam Paijo mengingat angka dan pekerjaan tambahan yang disebut Kang Tomo, Kang Bendol dan kawannya. Paijo ingat, pernah ngundang tukang bangunan yang kemudian nawar, nganyang minta 100.000 sehari. Itupun dengan sekali makan siang, dan uang rokok. Jika dibandingkan, kerja tukang bangunan sepekan, bisa sama dengan pegawai tidak tetap selama sebulan.

Itulah beban pertama yang harus dipikul pustakawan sekolah, “krisis ekonomi” kata Kang Tomo. Ya, memang tidak semuanya. Di perpustakaan negeri, dan jika si pustakawan sudah berstatus PNS, tentunya beda keadaannya. Di situ gajinya sudah standard. Atau di sekolah swasta terkenal, larang, pasti gajinya lebih besar. 

Kemungkinan masih ada yang bergaji lebih kecil dari yang diketahui Paijo. Gaji yang hanya seper sekian dari tunjangan sertifikasi guru. Ironisnya, konon kabarnya guru yang sertifikasinya sekian kali lipat gaji pustakawan itu, dapat sertifikasi karena diberi “jam” di perpustakaan.

###

Pekerjaan tambahan, mulai dari kebersihan sampai membantu administrasi merupakan efek dari risiko beban kedua. Beban ini tidak kalah berat, bahkan lebih berat. Beban menanggung anggapan bahwa beban pekerjaannya dianggap tidak berisiko. Bingung, tho?. Jangan bingung. Risiko jenis ini jamak dialami oleh si pustakawan.  Padahal pustakawan sekolah itu menjaga aset negara juga. Banyaknya buku paket, yang jika sudah tak terpakai pun tetap harus disimpan, sampai gudang penuh tak muat lagi. Setidaknya ini curhatan Yu Giyem, pustakawan juga.

Mungkin anggapan inilah yang menjadi salah satu alasan gaji pustakawan sekolah ada yang cuma seiprit. Ya, tentu saja juga karena alasan tidak adanya anggaran yang cukup. Seperti sekolah Kimpul dulu, sebuah sekolah swasta yang tak begitu populer di kampung pinggiran.

Setiap pekerjaan itu berisiko, apapun risikonya. Tentunya termasuk pustakawan sekolah. Ekspektasi pimpinan sekolah pada perpustakaanlah yang turut menentukan ringan tidaknya risiko yang diemban pustakawan. 

###

Kondisi ini sangat menyakitkan, ketika  selamanya dijadikan bahan promosi. Masih kurangnya sekolah yang memiliki pustakawan dijadikan bahan promosi sekolah ilmu perpustakaan untuk menggaet lulusan sekolah atas untuk mendaftar jadi mahasiswa. Harusnya sekolah ilmu perpustakaan itu fair. Ketika mencantumkan angka jumlah sekolah yang tidak memiliki pustakawan, harus sekaligus mencantumkan berapa gaji pustakawan sekolah. Bahkan sekalian dengan apa saja pekerjaan tambahannya. Ngepel, nyapu, dan lainnya.

Banyak yang komentar setuju dengan pencantuman gaji pustakawan sekolah pada promosi sekolah perpustakaan. Bukan hanya pustakawan sekolah, namun juga Pak Ruri, salah satu dosen ilmu perpustakaan. Bagi pustakawan, ini wajar. Harapannya agar para calon adik mereka tahu betul yang terjadi di lapangan sebelum memutuskan pilihan. Namun, bagi Pak Dosen, kesetujuan ini luar biasa. 

"Semoga saja ditindak lanjuti. Kurang pas jika gaji besar dijadikan promosi, tetapi kalau gaji kecil tidak dicantumkan. Perguruan tinggi, khususnya prodi ilmu perpustakaan harus memulai kejujuran dan memberikan informasi yang utuh ini", demikian harapan Paijo.

###

Apakah ada yang sudah ideal?. Demikian lanjutan lamunan Paijo. Jika melihat beberapa informasi, ada pustakawan sekolah yang sudah mapan. Bahkan senang dan menikmati profesinya. Perannya juga bagus, gajinya juga baik, cukup. Kalau melihat ini, berarti ada yang sudah ideal. Meskipun, kata wong jawa  tetap harus “wang sinawang”.

Lamunan Paijo ini mengantarkan pada kesimpulan yang menguatkan kesimpulannya sebelumnya, “memang wajar apa yang dilakukan Kimpul”. Keluar dari profesi pustakawan itu wajar, manusiawi, jentelmen, dan justru bagus dalam kasus tertentu. Namun, hati-hati, karena juga bisa dianggap pengecut atau pecundang, bahkan pengkhianatan pada profesi.

Kisah Kimpul, bukan yang pertama didengar Paijo. Sebelumnya ada informasi yang diterimanya tentang pustakawan yang kemudian mengundurkan diri. Alasannya bermacam. Lingkungan kerja, tak cocok dengan pimpinan, juga terkait gaji. Terakhir Kang Dodo, yang memilih mundur setelah belasan tahun jadi pustakawan, pindah jabatan. Ada juga Kang Seno yang berwiraswasta, atau Lek Takin yang jadi juragan lele.

###

Beberapa hari kemudian, di tegalan, Paijo istirahat dari ngorek'i tanah. Dia hentikan pekerjaannya itu ketika Karyo datang menghampirinya. Seperti biasa, dua konco kenthel itu jagongan.

“Kang, pas nglamun kemarin malah keterusan sampai sore. Tadinya mau ngorek’i tanah pekarangan, malah ndak jadi. Akhirnya saya diomeli wong wedhok”, Paijo laporan pada sahabat karibnya, Karyo. 

Cen, kowe kui ra nonton wektu, kok. Padahal itu pas Kamis sore, tho. Kudune ya ndang adus, reresik awak,  persiapan ngaji di masjid. Malah nglamun!”. 

Paijo, melanjutkan ceritanya. Dia sampaikan lamunannya dari A sampai Z  pada Karyo.

“………………….”

Loh, piye maksudmu Jo? Kok bisa bagus, wajar, jentelmen, manusiawi, tapi di sisi lain juga bisa berbeda 180 derajat: pengecut, pecundang, bahkan pengkhianatan profesi”. Sekonyong-konyong Karyo bertanya atas penjelasan Paijo.

“Lah, sampeyan penasaran, tho?”. Paijo cengengesan melihat wajah Karyo.

“Kang. Sebenarnya saya ini juga wedi komentar. Pustakawan, khususnya di sekolah itu bebannya berat. Ya seperti yang saya critakan tadi. Maka, keputusan mereka adalah yang terbaik untuk mereka. Mereka perlu menentukan sikap, untuk masa sepannya. Saya juga merasa, bahwa bukan tidak mungkin saya akan mengalaminya sendiri. Dihadapkan pada kondisi yang, meski tidak persis, tapi minimal mirip. Namun kang, satu hal yang saya tidak harapkan, jangan sampai keputusan saya nanti, masuk kategori mengkhianati profesi”. Paijo meneruskan penjelasannya.

Paijo tidak menjelaskan, tentang kapan mengundurkan diri dari pustakawan itu dianggap manusiawi, wajar, dan kapan dianggap pengkhianatan profesi.

Karyo semakin penasaran.

[[ bersambung ]]

Wednesday, 24 October 2018

, ,

ZBib: mengelola beberapa referensi mudah sekali

Kalau kita punya referensi banyak, biasanya dikelola menggunakan software manajemen referensi. Semacam Zotero atau Mendeley. Namun, untuk kepentingan kecil, kita bisa gunakan software online macam ZoteroBIB.

Alamatnya ada di https://zbib.org. 


Pencarian referensi berdasar URL
Pada tampilan di atas, kita bisa mencari metadata daftar pustaka berdasar DOI, URL, PMID, Arciv, atau title. ZBib akan mencarikan data lengkapnya, dan menampilkan style daftar pustakanya.


Pencarian referensi berdasar judul


Daftar referensi yang ditemukan

Di atas contoh daftar referensi yang sudah ditemukan, dan disusun berdasar style yang dipilih. Style ini bisa diganti sesuai style yang tersedia. Ada 9000 lebih style yang tersedia. Daftar referensi yang sudah tersusun, bisa disalin ke aplikasi pengolah kata yang kita gunakan. Atau bisa juga secara online dikirimkan pada orang lain untuk diedit atau digunakan.

salin daftar pustaka
Untuk menyalin daftar pustaka yang tersusun, klik copy to clipboard, dan tempel di aplikasi pengolah kata yang digunakan.
membuat URL untuk dikirim pada orang lain

Kita juga bisa membuat URL untuk dikirim pada orang lain. URL ini memuat informasi daftar pustaka yang kita buat. Orang yang memperoleh URL tersebut bisa mengedit dan menggunakannya.




Tuesday, 23 October 2018

, , ,

Ketua IPI memang harus Pustakawan Utama. Harus!!

Paijo bersama Karyo, seperti biasanya di depan rumah, jagongan tentang berbagai hal. Kali ini mereka grenengan tentang kongres IPI yang baru saja selesai. Konon kabarnya, telah terpilih ketua yang baru. Obrolan itu kemudian berlangsung, mengalir seperti biasanya. Ada segelas kopi di depan mereka. Plus jadah goreng yang masih anget di atas daun jati. Warna kemerahan daun jati akibat panasnya jadah membuat si jadah tampak lebih gurih ketika digigit. 
###

Kongres IPI, milik para pustaka(m)wan, di tahun 2018 telah berakhir. Hiruk pikuk pelaksanaannya juga sudah selesai. Mulai dari seminar, diskusi, grenengan, glenak-glenik. Bahkan mungkin sampai pada cinta lokasi para pegiatnya, lirak-lirik cari jodoh, atau nostalgia masa muda mereka. Seangkatan ketika diklat alih jenjang, ujian sertifikasi, satu kampus, atau dulu pernah menjalin asmara ketika kuliah. Atau mungkin ngobrol tentang jumlah remunerasi yang diterima, dan dibelanjakan untuk apa.


Atau bertukar pengalaman benchmarking, publikasi, atau tampil presentasi di mana saja.


Semua agenda, selesai.


Kongres tersebut merupakan wahana terhormat. Tempat berkumpulnya para pustakawan kualitas pertama, yang sangat dihargai di kancah kepustakawanan Indonesia, telah berhasil memilih ketua yang baru. Ketua untuk periode sekian tahun ke depan.

Kabarnya selama ini, ketua selalu dijabat oleh golonga tua, sekaligus yang kesehariannya di perpustakaan nasional. Melihat hal ini, tentu jika golongan muda berharap ketua IPI bergulir dijabat oleh mereka yang masih muda. Entah, muda itu ukurannya apa. Mungkin usia 50,40, 30 tahun atau di bawahnya. Muda berarti enerjik, mampu mengikuti perkembangan jaman dengan lebih baik, leluasa bergerak, dan tentunya, jejaring kekiniannya kuat. Harapan ini agaknya ada sejak lama.

Namun, ternyata kenyataan berkata lain. Ketua terpilih merupakan pustakawan yang (katanya) tak lagi muda, dan (lagi-lagi) bekerja di Perpustakaan Nasional. Database pustakawan menunjukkan bahwa awalan NIPnya 1954, maka bisa dihitung berapa usianya sekarang. Ketua terpilih berpangkat Pembina Utama Madya (IV/d), dengan jabatan Pustakawan Ahli Utama. Informasi ini menunjukkan bahwa sang ketua ada di usia matang bahkan usia mbegawan. Serta tentunya ada pada posisi jenjang kepustakawan puncak, paripurna, tuntas. Masa abdinya pun tentu sudah lama. Sudah paham, mana yang pahit, manis, asam, dan kecutnya dunia kepustakawanan.


Jenjang tersebut menunjukkan pada para pustakawan muda yang sekarang masih meniti karir, bahwa sang ketua baru adalah orang yang pinilih. Sebagai pemegang predikat Pustakawan Utama, maka sekaligus juga langka. Sulit dicari, dan pilih tanding. Hanya beberapa orang yang sanggup sampai jenjang ini. Seorang dengan predikat ini, telah wareg pahit getirnya kepustakawanan. Mulai dari indil-indil, sampai ondol-ondol. Mulai dari hal remeh, sampai hal penting tingkat tinggi, dan berhubungan dengan para pemangku kekuasaan. Mulai dari shelving buku, sampai menjelaskan isi buku. Pustakawan Utama mampu untuk itu. Jejak jenjang karir kepustakawannya dipersembahkan untuk buku, pustaka. Hidupnya sudah ibarat buku yang berjalan.


Sehingga wajarlah jika terpilih.

###

"Seorang presiden harusnya berumur di bawah 60 tahun", demikian seorang pakar berkata. Tapi pendapat ini hanya untuk presiden, buka untuk ketua IPI. Artinya ketua IPI berusia lebih dari 60 tahun itu boleh, wajar dan sebuah kehormatan. Ini adalah bentuk bakti dan penghormatan para muda pada yang lebih sepuh. Memberikan ruang bagi golongan tua yang terpilih untuk tetap bisa berkarya bagi bangsa dan negaranya, bahkan di masa penghujung pengabdiannya.  Lebih-lebih, ketika tak ada pustakawan muda yang  mau tampil. Maka, demikianlah adatnya. Golongan tua dan dari perpusnas selalu mengambil risiko, menempati tempat yang golongan muda tak mau menempati.


Tentang tak adanya golongan muda yang mau tampil, ini wajar. Ketua IPI itu berat. Memikirkan kepentingan pustakawan se Indonesia, baik plat merah, kuning, hijau, maupun yang tak punya plat sekalipun. Semua harus difikirkan dan dicari jalan keluar masalahnya. Siapa yang memikirkan? ya ketua IPI. 

Pernah membayangkan ketua IPI bukan pustakawan utama dan bukan dari perpusnas?


Tak terbayangkan. Saya tak sanggup membayangkan sulit dan beratnya. Maka tampilnya golongan tua dan dari perpusnas ini, memang benar-benar berkah. Tua dan perpusnas, merupakah gabungan dua status sakti yang tak akan tertandingi. Penolong bagi berlangsungnya roda organisasi sakral pustakawan ini.


"Kalau ketuanya macam saya, yang di perpustakaan kecil, kalau mau tugas luar menjalankan tugas kedinasan ketua IPI, mosok harus ijin atasan. Lah kalau tidak diijinkan? lak ya lucu, tha?", sambung Paijo.


"Lah iya, Jo. Apalagi kamu masih ingusan. Teori dan praktikmu belum sejauh para pustakawan utama.", Karyo menjawab grenengane Paijo.
"Itulah, Jo. Dengan dijabat orang perpusnas, maka geraknya jadi lincah. Mau ke sini ke sana, mudah. Dan dengan jabatan pustakawan utama, klop. Ilmunya sempurna", lanjut Karyo.
###

Namun, dengan menyingkir dan memberikan ruang, jangan dikira para muda ini tidak punya semangat. Jangan salah. Anda keliru. Justru dengan memberi ruang pada yang tua, itu sebuah bukti bahwa yang muda ini semangatnya sangat membara. Membara sepanas api kawah candradimuka, atau sekeras besi baja bahan membuat pedang naga puspa kresna. Semangat para muda ini adalah semangat memberi, bukan meminta. Bahkan diberikan saat sebelum diminta. Sebuah sikap tawadhu' yang luar biasa. Mereka, para muda ini menunjukkan ilmu ikhlas. Mengikhlaskan jabatan ketua IPI dipegang (kembali) oleh golongan tua. Sementara para muda, kembali pada habitatnya: berkecimpung berbagai organisasi kepustakawan baru, atau membentuk simpul-simpul kepustakawanan yang baru. Sungguh, ini merupakah akhlak terpuji, yang harus disyukuri telah ada semenjak muda.

Bukankah dulu, ketika jaman perjuangan juga demikian. Golongan muda memberikan ruang pada golongan tua untuk menduduki posisi puncak. Ini adalah contoh yang harus selalu diikuti. Termasuk pada hajat pemilihan ketua IPI.


###


Akhirnya, saya ucapkan selamat menjalankan ibadah sebagai Ketua IPI, Pak. Di usia yang ke 64, semoga bapak selalu diberikan kesehatan, menahkodai IPI, melaut, menjangkar, menebar jaring, menangkap ikan, dan menghadapi terjangan ombak. Kebersediaan bapak merupakan anugerah untuk kepustakawanan Indonesia.


Jangan lupa, jika ada karang menghadang, panggil para cucu yang muda untuk maju. Mereka, punya banyak senjata. Mereka paham dunia kekinian dalam kepustakawanan. Dari literasi sampai liberalisasi, dari angkringan sampai makerspace. Biarkan yang muda merasakan pahit dan beratnya menerjang karang, sebagaimana bapak dulu rasakan. Kemudian menggenapi masa keanggotaanya genap 10 tahun, dan menabung untuk beli rumah di wilayah Jabodetabek. Supaya nanti, saat yang muda itu tua, ya...di usia 64 seperti halnya bapak saat ini, mereka siap, dan punya nyali untuk menjadi ketua IPI.


Ya,  jika masih ada pustakawan utama, maka ketua IPI itu untuk mereka, bukan untuk yang lain. Yang lain harus sopan mempersilakan. Apalagi yang baru saja jadi pustakawan, meskipun doktor, dari luar negeri sekalipun. Kecuali jika, dan hanya jika, tidak ada lagi pustakawan utama yang mau dan rela mengemban beratnya ketua IPI. Maka, barulah para muda itu dianggap sopan untuk maju mengambilnya.


Ketua IPI haruslah seorang pustakawan utama. Ini wajib, tidak boleh tidak. Jika toh sekaligus tua dan dari perpustakaan nasional, itu kebetulan saja. Ingat, hanya kebetulan saja.
O, maaf. Bukan tua, lebih tepatnya sepuh. Sepuh itu matang, tua itu usia.

###



"O, jadi begitu ya. Aku berharap, Kang. Semoga sepuh, bukan tua. Semua orang yang sepuh, atau disepuhkan, dialah yang layak memimpih. Kasepuhan-nya akan mampu membawa sawab atau daya, energi kepemimpinan pada arah yang lebih baik. Tapi kemudian, sebagai pustakawan saya harus ngapain, Kang?"
"Loh, ya sudah jelas tho. Kerja. Kamu mau dipotong gaji?", jawab Karyo sekenanya.
Paijo mbesengut, ketika Karyo menjawab sekenanya. Tapi tidak mengapa, Paijo melanjutkan lagi kesendiriannya. Menjadi pustakawan memang ada risikonya. Termasuk risiko dianggap bahwa pekerjaannya tidak berisiko.
"Ora popo", gumamnya, sambil nyeruput kopi Bali yang tempo hari dibelinya. "Bueh, pahit".
"Kopi itu aslinya pahit, Jo. Kalau manis, itu gula. Kamu minum kopi atau minum air gula?", Karyo komentar sambil setengah ngakak.
Paijo melirik Karyo, kembali dengan muka mbesengut. Namun kemudian tersenyum. Entah apa arti senyumnya. 
Karyo, meninggalkan emperan rumah Paijo, pulang. Dari kejauhan dia teriak, "Jo, kamu itu jadi anggota IPI ndak?". Paijo, yang masih jelas mendengar pertanyaan Karyo menjawab, "Tidak, Kang. Tapi jangan ngomong-ngomong, ya".

[[ selesai ]]