Saya punya kawan. Lulusan sekolah perkebunan, yang dulu belajar tanam-tanaman. Tinggalnya di kawasan, tepat di dekat daerah yang jadi pusat persatean. Tak heran, hobinya pun sesatean. Tidak sembarangan, sate kambing yang dia pesan. Entah berapa porsi sekali pesan. Saya tak tahu, hobi ini murni dari dirinya sendiri, atau pesanan.
Kabar terakhir, hobi ini sudah berkurang. "Wis jarang banget, ngelingi awake...", katanya.
Syukurlah...
***
Kami tidak sengaja kenalan. Ya, memang tidak disengaja, wong tidak ada janjian. Waktu itu pasca terjadi gempa besar yang tanpa dugaan. Bisa teman-teman tebak kisaran tahunnya, kan?. Di sebuah ruangan 8x10 meter, dia jadi peserta, sementara saya ikut jadi narasumber pendampingan perpustakaan.
Dia salah satu peserta yang sampai sekarang menjadi kawan. Entah, kenapa cuma dia yang nyantol. Padahal dia itu lelaki, sudah beristri pula. Tapi percayalah, kami sebatas kawan. Tidak lebih.
Kawan saya ini mengelola perpustakaan sekolah, yang kemudian terdampak gempa. Terbayang keadaannya berantakan. Beruntung ada bantuan untuk pembangunan, kemudian perpustakaan dikembangkan. Akhirnya perpustakaan itu bisa nembus kompetisi tingkat nasional. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Keren, kan? Padahal pengelolanya, ya kawan saya ini, bukan alumni ilmu perpustakaan. Bagaimana ceritanya?
Jadi pustakawan itu tak perlu kuliah ilmu perpustakaan. Wong pada dasarnya semua manusia itu pustakawan. Ini juga sudah ditekankan oleh pemilik kebijakan. Siapapun bisa. Intinya mau belajar, penuh kesungguhan. Pendidikan tidak hanya di sekolah atau kuliahan. Formal, informal, non formal mestinya juga ada pengakuan. Kawan saya itu sudah membuktikan.
***
Namun, akhirnya....
Kawan saya sekarang tak lagi kerja di perpustakaan. Kemampuannya cocok di tempat lain yang lebih membutuhkan. Keterampilan otodidaknya sangat bermanfaat. Otodidak. Ingat ya, otodidak. Baru setelah PNS dia disekolahkan coding, kursus atau pendidikan/latihan.
###
Kawan...
Harap diingat: sulit mencari yang seperti itu. Gigih, dan tak kenal lelah dalam perjuangan. Tidak bisa dirampatkan. Tentu saja, faktor nasib dan takdir juga ikut berperan. Kita tidak tahu, takdir apa yang akan diberikan. Jalani saja, jika ilmu perpustakaan sudah jadi pilihan, terpaksa atau penuh kesadaran.
Pendidikan, tak hanya terkait pekerjaan. Tapi lebih ke adab dan kemanusiaan. Serta perintah Tuhan. Percayalah pada Tuhan, rejeki tak akan ada pertukaran, tinggal diusahakan.
Kabar terakhir, hobi ini sudah berkurang. "Wis jarang banget, ngelingi awake...", katanya.
Syukurlah...
***
Kami tidak sengaja kenalan. Ya, memang tidak disengaja, wong tidak ada janjian. Waktu itu pasca terjadi gempa besar yang tanpa dugaan. Bisa teman-teman tebak kisaran tahunnya, kan?. Di sebuah ruangan 8x10 meter, dia jadi peserta, sementara saya ikut jadi narasumber pendampingan perpustakaan.
Dia salah satu peserta yang sampai sekarang menjadi kawan. Entah, kenapa cuma dia yang nyantol. Padahal dia itu lelaki, sudah beristri pula. Tapi percayalah, kami sebatas kawan. Tidak lebih.
Kawan saya ini mengelola perpustakaan sekolah, yang kemudian terdampak gempa. Terbayang keadaannya berantakan. Beruntung ada bantuan untuk pembangunan, kemudian perpustakaan dikembangkan. Akhirnya perpustakaan itu bisa nembus kompetisi tingkat nasional. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Keren, kan? Padahal pengelolanya, ya kawan saya ini, bukan alumni ilmu perpustakaan. Bagaimana ceritanya?
Masih mau kuliah ilmu perpustakan?Kawan saya memang pejuang tangguh. Semenjak pendampingan itu, dia semakin rajin mengelola perpustakaannya. Kami komunikasi via email atau sms-an. Inovasi dia lakukan. "Anak masuk perpus selain baca buku, saya suruh nyatet apa yg dibaca", katanya meyakinkan. Dia pasang otomasi untuk perpustakaan, tampilannya disesuaikan dengan anak SD pengunjung perpustakaan. "Biar anak-anak senang", demikian dia mengatakan. Kawan saya memang suka coding, dan berkali-kali ngisi pelatihan pustakawan. Padahal, dia bukan alumni ilmu perpustakaan. Ilmu codingnya juga bukan ilmu sekolahan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakan?".
Ketika kerja di SD, statusnya honorer. Gajinya minim, sehingga harus usaha sambilan kiri kanan. Ingat: minim. Ini sih sebenarnya sudah rahasia para honorer perpustakaan (sekolah), apalagi swasta "perjuangan". Sampai kemudian nasibnya berubah karena lolos PNS hasil seleksi pungkasan. Gajinya pun ada peningkatan, hidupnya juga ada perbaikan. Ssst, sekarang kabarnya PNS dimoratoriumkan. Jadi tidak bisa berharap banyak untuk jadi PNS, sebagaian tujuan status pekerjaan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?"
Kawan saya pernah kepincut kuliah UT ilmu perpustakaan. Sudah ndaftar, tapi tak dilanjutkan. Kabarnya karena tak ada dana, pemasukan pas-pasan. "Ra duwe ragad", katanya, mohon dimaklumkan. Honor tak cukup untuk membayar biaya pendidikan. Akhirnya dia otodidak dalam belajar pengelolaan perpustakaan. Bisa kok. Tanya kiri kanan, dan baca buku di perpustakaan. Jangan lupakan juga nonton panduan sambil yutuban.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?" _
Tapi, saya akui, dia memang sungguh bersungguh-sungguh dalam belajar, khususnya IT dengan kemandirian, seperti saya sampaikan di depan. Mulai dari oprek joomla, oprek SLiMS (software perpustakaan), sampai belajar coding pemrograman. Menggunakan framework, atau coding dari 0 (nol) sebagai awalan. "Modalnya cuma http://stackoverflow.com", katanya memastikan. Intinya dia belajar coding, bersungguh-sungguh, serta memanjatkan doa pada Tuhan. Ingat! dia tidak jadi kuliah ilmu perpustakaan.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?"***
Jadi pustakawan itu tak perlu kuliah ilmu perpustakaan. Wong pada dasarnya semua manusia itu pustakawan. Ini juga sudah ditekankan oleh pemilik kebijakan. Siapapun bisa. Intinya mau belajar, penuh kesungguhan. Pendidikan tidak hanya di sekolah atau kuliahan. Formal, informal, non formal mestinya juga ada pengakuan. Kawan saya itu sudah membuktikan.
***
Namun, akhirnya....
Kawan saya sekarang tak lagi kerja di perpustakaan. Kemampuannya cocok di tempat lain yang lebih membutuhkan. Keterampilan otodidaknya sangat bermanfaat. Otodidak. Ingat ya, otodidak. Baru setelah PNS dia disekolahkan coding, kursus atau pendidikan/latihan.
###
Kawan...
Harap diingat: sulit mencari yang seperti itu. Gigih, dan tak kenal lelah dalam perjuangan. Tidak bisa dirampatkan. Tentu saja, faktor nasib dan takdir juga ikut berperan. Kita tidak tahu, takdir apa yang akan diberikan. Jalani saja, jika ilmu perpustakaan sudah jadi pilihan, terpaksa atau penuh kesadaran.
Masih mau kuliah ilmu perpustakaan?
Pendidikan, tak hanya terkait pekerjaan. Tapi lebih ke adab dan kemanusiaan. Serta perintah Tuhan. Percayalah pada Tuhan, rejeki tak akan ada pertukaran, tinggal diusahakan.
Jangan ragu. Kalau ragu, lebih baik mundur saja.