Banjir. Bikin repot, tapi membawa rejeki. |
------
Suatu siang, seorang dosen ilmu perpustakaan berkomentar pada curhatan Paijo. Paijo curhat tentang beban berat pustakawan sekolah yang pernah dihadapi Kimpul. Pak Dosen berkata, "lulusan ilmu perpustakaan jangan mau kerja di perpus yang gajinya kecil". Tidak berhenti di situ, Pak Dosen melanjutkan: "masih ada lembaga lain yang bisa beri gaji besar. Lulusan (ilmu) perpustakaan tak harus kerja di perpustakaan".
Sekali lagi, demikianlah dulu alasan Kimpul hingga akhirnya keluar dari pekerjaannya sebagai pustakawan sekolah. Gajinya kecil, hingga membuat Kimpul ragu ketika dihadapkan pada biaya nikah dan setelah nikah. Persoalan gaji merupakan persoalan klasik di perpustakaan sekolah.
Saran Pak Dosen di atas logis, solutif, informatif. Maklum, beliau dosen yang ilmunya setinggi langit dan sedalam sumur minyak. Berbeda dengan pustakawan. Dari ajarannyalah pustakawan menjadi ada. Jika ada yang mengaku pustakawan, namun tidak lahir dari ajarannya, maka perlu dipertanyakan kepustakawanannya. Demikian katanya.
Namun, keluar dari perpustakaan sekolah, sebagaimana disarankan Pak Dosen tadi, ada konsekuensinya. Sekolah yang benar-benar minim anggaran akan benar-benar ditinggalkan oleh para alumni ilmu perpustakaan, semacam Kimpul, Yem, juga Paijo atau Karyo. "Gajinya kecil, ngapain kerja di situ", demikian kurlebnya. Ketika ditinggalkan, maka harapannya kemudian ada pada guru atau staf non guru lainnya. Hal ini pun akan meninggalkan permasalahan. "Harusnya dikelola oleh alumni ilmu perpustakaan. Harusnya ada lowongan pustakawan. Inpassing lagi, lagi-lagi inpassing", demikian teriak-teriak yang akan didengar kemudian.
"Gitu aja kok repot", kata yang mulia dosen ilmu perpustakaan itu menutup komentarnya.
###
Ya, memang, kami, para pustakawan sekolah repot. Harus kami akui sejak awal. Atau, jika tidak boleh kami atas namakan pustakawan, sebut saja sebagian pustakawan sekolah. Kami repot, kok. Ketika kerja di perpustakaan sekolah, di antara kami hanya lulusan SMA. Namun karena kecintaan kami pada perpustakaan sekolah, kami juga rela nyapu, ngepel, nyulakki sawang di langit-langit. Tidak hanya itu, Pak. Sabtu dan Minggu, yang biasanya kami gunakan untuk kumpul dengan keluarga, kami korbankan. Kami kuliah lagi, meski hanya 2 hari sepekan. Repot memang. Namun kami ingin ketemu dengan bapak/ibu tentor yang pintar-pintar. Kami ingin ketularan pintarnya mereka. Maka kami kuliah. Sekali lagi, kuliah kami ini memang repot, tapi tetap kami lakukan.
Apa yang terjadi? Setelah lulus tidak serta merta mengubah nasib kami. Kami memang repot. Sebagian kami ini masih honorer, mau sekolah tinggi, sarjana ilmu perpustakaan, atau "dan informasi", pangkat mana yang mau menerima kami?. Kami memang repot, Pak. Apalagi kalau kami keluar dari perpustakaan sekolah itu. Lontang-lantung lagi.
Sebenarnya kami ingin bertahan, Pak. Karena kami berfikir tentang anak-anak di sekolah itu. Ya, tak banyak yang bisa kami lakukan untuk masa depan mereka. Hanya sebatas melayani mereka di perpustakaan. Namun, mereka sudah jadi bagian dari hidup kami. Kami ini sering ketemu dengan orang tuanya. Maklum, di kampung, sudah seperti saudara. Ketika kami ketemu dengan orang tuanya, mereka mengatakan, "nitip Thole ya, Bu". Berat, repot, Pak. Kata-kata, pengharapan simboknya Thole itu sampai ke ulu hati kami, Pak. Nyesek. Mereka berharap dengan sekolah, Thole bisa memperbaiki hidupnya. Perpustakaan itu juga bagian dari sekolahnya Thole, Pak. Juga dengan buku-buku itu, yang setiap hari kami sentuh dan sodorkan pada anak-anak. Tapi kami juga harus realistis. Hidup perlu biaya. Kalau kami tak punya usaha sampingan, maka keluar adalah jalan satu-satunya.
Repot, Pak. Terkadang dari kami masih sering ketemu Ibunya Thole, yang satu grup arisan. Kadang merasa malu. "Kok keluar, Bu. Lalu siapa yang membimbing Thole?". Seolah-olah, kami tak mampu memberikan harapan pada Thole.
Tapi semua itu kami singkirkan. Sebabnya satu, karena suntikan semangat dari bapak. Ya, melalui komentar "gitu aja kok repot", yang pernah bapak sampaikan. Sungguh kalimat pendek itu menjadi pemompa semangat kami.
Apalagi ada teman kami yang sudah duluan pindah profesi lain atau institusi lain seperti saran Bapak. Struktural kalau ada yang menerima, yang jelas-jelas jenjangnya.
Sebenarnya kami masih ingin bertahan, Pak. Namun, sekali lagi setelah bapak sampaikan "gitu saja kok repot", semangat kami jadi melecu, membara dan berkobar-kobar. Pernyataan bapak menambah semangat kami, semangat untuk resign. Kami jadi tidak lagi berat meninggalkan perpustakaan yang tak memberi kami gaji yang layak. Kami tak lagi berat dengan anak-anak itu, buku-buku itu. Kami akan pikirkan diri kami sendiri. Mencari pekerjaan yang lebih banyak gajinya. Karena Bapak seorang dosen, maka kalimat itu menjadi dasar hukum keputusan kami, legal secara akademis.
Doakan kami kuat, pintar, terampil, dan bisa sehebat Bapak. Ah, jangan sehebat Bapak, nanti ndak dikira nyaingi Pak Dosen. Biarlah kami, kualitasnya tetap di bawah Bapak saja. Namun harapan kami semoga bisa ayem tentrem. Mendapatkan pangupo jiwo yang jadi lumantar rejeki. Meski mungkin tetap harus repot.
Hidup memang repot, Pak. Tidak bisa tidak repot. Hidup dan repot itu sudah saling mengisi. Hidup tanpa repot, kurang menarik.
"Pak Dosen, biarlah kerepotan itu untuk kami saja. Kerepotan itu berat, engkau tak akan kuat".
Tolong bekali adik-adik kami dengan kemampuan yang linuwih, agar tidak serepot kami. Agar mereka bisa masuk lembaga yang bisa menggaji dengan layak. Satu lagi pesan kami, jika memang di perpustakaan sekolah itu kami tidak bisa mendapat gaji layak, atau tak bisa disebut pustakawan, tolong hapus saja jenis perpustakaan sekolah, Pak. Atau jangan jadikan lowongan perpustakaan sekolah sebagai bahan proposal pendirikan atau promosi jurusan ilmu perpustakaan.
Jangan menambah orang yang repot, Pak.
####
Suatu waktu, Paijo sampaikan pengalamannya ini pada Karyo.
"Lulusan ilmu perpustakaan kok jangan bekerja di perpustakaan. Aneh ndak, Kang?", kata Paijo.
Kalimat ini bagi Paijo sebenarnya agak masih agak aneh. Lulusan ilmu perpustakaan - jangan kerja - perpustakaan - gajinya kecil. Empat kata kunci, dengan dua kata "perpustakaan" yang rasa-rasanya bertolak belakang.
"Yo tidak, tho. Itu kan yang ngomong dosen ilmu perpustakaan. Pasti benar, valid, dan bernilai tinggi". Sahut Karyo.
"Bernilai tinggi bagaimana, Kang?"
"Pernyataan bernilai tinggi dan sudah membuktikan sendiri, bahwa ilmu perpustakaan itu tidak percaya diri. Bukan ilmu", Karyo menjawab.
"Gandrik...". Paijo kaget.
[[ selesai ]]
siph lah...aku suka cerpennya
ReplyDelete