Sunday, 14 October 2018

[[ pekerjaan abadi pustakawan ]]

Pada suatu pagi kami bersama seorang dosen baru. Umurnya kurang lebih 32 tahun, hampir lulus doktor dari sebuah universitas di Jepang. 

Pagi itu, ke perpustakaan terkait keingintahuannya tentang sumber informasi jurnal, dan pelatihan software manajemen referensi yang kami tawarkan. Di Jepang, tentunya beliau sudah banyak tahu tentang berbagai database untuk referensi. Namun, mestinya ada mekanisme beda di UGM. Mulai dari alamat url, apa saja yang dilanggan, dan lainnya, yang beliau perlu tahu. Serta sebelumnya beliau menggunakan EndNote, beliau ingin belajar Mendeley.

Setelah sesi pengenalan, saya bertanya balik, "Saya ingin tahu dunia perpustakaan di Jepang sesuai pengalaman Bapak", kurang lebih demikianlah.

Beliau menggaris bawahi bahwa di kampusnya mahasiswa begitu mandiri. Mereka mencari sendiri apa yang dibutuhkan. Hal ini sudah berlangsung dalam kehidupan sehari-hari,  sejak di jalanan, di bus, di kereta.  Di lab mahasiswa mendapatkan banyak hal. "Pendidikan di sana berbasis lab" demikian katanya. Kakak angkatan akan memandu penghuni lab yang baru untuk berbagai hal. Ya, termasuk cara mencari informasi, mengelola dengan software manajemen referensi dll. 

"Beberapa pustakawan hanya melayani jika diminta. Perpustakaan tidak dijaga atau diganti dengan robot pun tidak mengapa", demikian sambungnya.

Saya coba klopkan cerita di atas dengan cerita salah seorang mahasiswa FT yang dual degree di Jepang. Dia pernah berkata, "lebih humanis di Indonesia (FT UGM), Mas". Di perpustakaan perguruan tinggi Jepang yang dia kunjungi, semua mekanis. Meminta bantuan lewat mesin, atau menulis pada form yang disediakan. Nyaris tak ada hubungan interaksi dengan pustakawan. 

Bapak dosen tadi pun mengamini. Hubungan antara pustakawan dan pemustaka di Indonesia menjadi ciri tersendiri yang justru menjadi nilai lebih. 

### 

Seseorang yang menyebut dirinya ilmuwan (ilmu) perpustakaan mengatakan bahwa dengan keadaan seperti di Jepang itu, maka pekerjaan pustakawan berganti mejadi meneliti. Meneliti perilaku informasi, arus informasi, efek informasi, analisis bibliometrik, dan lainnya. Namun saya fikir, berapa yang meneliti? Jika ada 30 pustakawan, dan perpustakaan menjadi sangat mekanis seperti itu, apakah semuanya akan bedhol desa menjadi peneliti? tentunya tidak semudah membalik tangan,  sulit saat ini jika diberlakukan di Indonesia.

Saya berfikir, jika kita mau mengejar teknologi, tak akan mampu. Teknologi itu hanya lipstik saja untuk perpustakaan. Bukan teknologi yang harus di kejar. Negara berkembang, apalagi perpustakaannya selalu akan tertinggal (secara umum) terkait penerapan teknologi di perpustakaan. Melihat negara maju yang sedemikian canggih, hanya akan mengundang sikap kemecer saja. Ngoweh, kata orang desa.

Yang membuat miris saat ini, perkembangan perpustakaan, penilaian perpustakaan dikaitkan (setidaknya terlihat dikaitkan) dengan tersedianya berbagai fasilitas yang memakan banyak biaya. Fasilitas itu terlihat dari mewahnya tampilan perpustakaan. Mulai dari sofa, tata ruang yang kekinian, jaringan internet cepat, kopi, teh, dan semacamnya. Perpustakaan yang menang lomba, yang diangkat tidak jauh dari hal tersebut di atas. Maka anggaran menjadi koenci kemenangan

Semestinya ada konsep tunggal dalam ber-kepustakawanan, yang semuanya bisa dilakukan oleh semua perpustakaan dan pustakawan. Konsep inilah yang menaungi kegiatan kepustakawanan. Konsep netral. Tidak dibatasi oleh dikotomi negara maju dan berkembang, atau si pustakawan bergelar sarjana tidak sarjana ilmu perpustakaan. Bahkan tidak dibatasi oleh anggaran, kecuali untuk koleksi perpustakaan. 

Konsep tunggal tersebut adalah kualitas interaksi segitiga "koleksi-pustakwan-pemustaka". Dari sisi pustakawan, maka proses interaksi antara pemustaka-pustakawan dan  pustakawan-buku adalah koenci, yang dapat dipoles, agar lebih berkualitas.  Inilah pekerjaan abadi orang yang masih setia dengan profesi pustakawan. Pekerjaan atau aktifitas lainnya merupan turunan dari dua hal di atas. Aktifitas turunan itulah yang dapat menjadi penciri bobot kerja masing-masing pustakawan, dan dijadikan pertimbangan dalam menilai seberapa maju aktifitas kepustakawanan sebuah perpustakaan. 

Membeli sofa itu hanya bagian kecil dari proses hubungan dengan pemustaka. Pekerjaan abadi perpusakaan, bukan menyediakan sofa. Jangan tergiur pada sofa di sebuah perpustakaan.

### 

Kembali pada kasus perpustakaan di Jepang seperti tertulis pada bagian awal tulisan ini. Keadaan tersebut ada, terjadi. Bukan tidak mungkin, ketika semuanya diserahkan pada teknologi, maka demikianlah bentuk perpustakaan masa depan. Semua dilaksanakan mandiri oleh pemustaka, mahasiswa, siswa, dan siapapun yang menggunakan perpustakaan.

Perpustakaan merupakan institusi mati, pasif. Teknologilah yang membuatnya hidup, mekanis, dan tanpa ruh. Jika semua diambil teknologi, dan kita berikan semuanya, maka memang tidak mungkin pustakawan akan hilang.

Foto:
Dr Muhammad Isa Waley, Curator of Persian and Turkish Collections of the British Library, is a specialist in Islamic manuscripts. 


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi