Kampus ternama di kota pendidikan itu tampak lengang. Sore itu tidak begitu ramai. Tamannya luas, juga berbagai sarana lain. Terasa sejuk dengan pepohonan yang rindang. Hanya ada beberapa mahasiswa di taman. Ada yang belajar, ada yang diskusi. Atau sekedar ngenet, dan menunggu senja.
Sepasang mahasiswa ada di sudut taman kampus. Kimpul, mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan, berduaan dengan gadis pujaannya: Paijem. Wajah Kimpul tidak begitu ngganteng. Namun, dia punya senyum dan kumis tipis yang memesona. Ditambah dengan otaknya yang encer: klop, jadi sebab mahasiswi teriak histeris. Tidak kalah histeris dengan teriakan ABG saat nonton KPop.
Sepasang mahasiswa ada di sudut taman kampus. Kimpul, mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan, berduaan dengan gadis pujaannya: Paijem. Wajah Kimpul tidak begitu ngganteng. Namun, dia punya senyum dan kumis tipis yang memesona. Ditambah dengan otaknya yang encer: klop, jadi sebab mahasiswi teriak histeris. Tidak kalah histeris dengan teriakan ABG saat nonton KPop.
Berbeda dengan Kimpul, Paijem kuliah di jurusan ekonomi. Wajahnya bersih meski agak ndeso, meluluhkan hati Kimpul. Klepek-klepek.
Dengan tanpa modal, pada semester dua, Kimpul nembak Paijem di bangku taman, persis yang sekarang sedang dipakai berduaan. Keputusan nembak itu muncul, setelah sekian waktu memata-matai Paijem. Ilmu penelusuran informasi, literasi informasi, digunakan Paijo untuk menelisik latar belakang, dan diri Paijem. Akhirnya ndesonya Paijem membuat Kimpul tertarik. Tidak neko-neko, dan bisa diajak berjuang bersama mbangun bale griyo bebrayan.
Tidak dengan kata-kata romantis, saat Kimpul nembak Paijem. Paijem pun juga tanpa kata romantis ketika menerima cinta Kimpul. "Aku seneng kowe, Jem", kemudian Paijem menjawab "Iyo, Jo. Podo". Selesai sudah dar-der-dor itu, sah. Resmilah mereka pacaran.
Dengan tanpa modal, pada semester dua, Kimpul nembak Paijem di bangku taman, persis yang sekarang sedang dipakai berduaan. Keputusan nembak itu muncul, setelah sekian waktu memata-matai Paijem. Ilmu penelusuran informasi, literasi informasi, digunakan Paijo untuk menelisik latar belakang, dan diri Paijem. Akhirnya ndesonya Paijem membuat Kimpul tertarik. Tidak neko-neko, dan bisa diajak berjuang bersama mbangun bale griyo bebrayan.
Tidak dengan kata-kata romantis, saat Kimpul nembak Paijem. Paijem pun juga tanpa kata romantis ketika menerima cinta Kimpul. "Aku seneng kowe, Jem", kemudian Paijem menjawab "Iyo, Jo. Podo". Selesai sudah dar-der-dor itu, sah. Resmilah mereka pacaran.
Sore itu, pada semester 7, pada detik-detik akhir perkuliahan mereka akan selesai, mereka kembali nostalgia di tempat saling menembak, 6 semester lalu.
***
***
Disaat mereka yang-yangan, seorang penjual cilok mendekat. Wajahnya setengah tua, memakai topi lusuh bergambar logo kampus ternama. Mungkin pemberian mahasiswa, yang empati. Tidak mentolo melihat orang tua berjuang kepanasan jualan cilok. Masih ada sepuluhan butir cilok di gerobaknya. “Cilok mas”, sapa si penjual. Tentu saja, penjual itu berharap Kimpul akan mborong ciloknya, untuk nraktir Paijem, sebagaimana umumnya orang yang-yangan.
Jantung Kimpul berdegup cepat, deg-degan tidak karuan. Bukan karena ada Paijem di sampingnya, tapi karena saat bakul cilok itu mendekat, dia sedang tak pegang uang sepeserpun. Bokek, demikian kata orang. Namun bokeknya Kimpul merupakan bokek berkelas. Dia bokek karena uang kiriman bulanan sudah habis untuk mencetak e-book dan artikel terkini bidang ilmu perpustakaan. Memang, pengorbanan tersebut berbanding lurus, Kimpul dikenal mahasiswa pinter yang banyak baca. Dia tahu banyak hal sebelum yang lain tahu. Terkait kepustakawanan, dari artikel pelitian terkini: makerspace, big-data, learning common, embedded librarian, dan sebangsanya dia ketahui sebelum yang lai tahu. Namun sial, dia jadi cupet uang jajannya. Bahkan untuk nraktir cilok buat Paijem saja, dia tidak mampu. Duh. Nasib.
Beruntung, Paijem pengertian. Dia segera menghampiri tukang cilok, memesan dua porsi sekaligus membayarnya. Kimpul tersenyum. Senyum bangga, karena Paijem-nya sangat pengertian. Terbayang jika sudah menikah, pasti hidupnya bahagia dunia akherat. Namun juga senyum sedih, malu, jika ketahuan teman-temannya bahwa sore itu dia ditraktir Paijem. Bukan sebaliknya sebagaimana mestinya orang pacaran.
Sore itu, mereka berduaan makan cilok, melanjutkan ngobrol ngalor-ngidul tentang masa depan mereka setelah lulus. Kimpul lulus dan melamar kerja sebagai pustakawan, bekerja, menabung. Kemudian menikahi Paijem.
###
Kimpul berjalan mendorong gerobak. Rambutnya hitam tersisir rapi, tangannya kuat memegang dua gagang gerobak, terkadang sambil bersiul dan memukul bende kecil. "Tong-tong-tong...." Bende itu sebagai tanda bagi siapapun, bahwa dia hadir. Bajunya rapi disetrika, ujungnya dimasukkan ke dalam celana panjang hitam bermerk lokal. Sandal selop menutup rapi kaki dan jari-jari kakinya. Necis. Jalannya pasti, dan tentu saja berwibawa.
Kimpul, Sarjana Ilmu Perpustakaan itu keliling keluar masuk kampung menjajakan ciloknya.
Dandanan Kimpul rapi, tidak seperti penjual cilok pada umumnya. Hal itu dipelajarinya dari mata kuliah promosi perpustakaan yang pernah dia ambil, dengan nilai A di bawah pengampu dosen killer bergelar Ph.D. di kampusnya. Dia harus berdandan rapi, meski hanya berjualan cilok. Diapun harus menarik pembeli dari berbagai segmen. Bukan hanya anak-anak generasi milenial. Namun juga generasi X, atau Y yang lahir tahun 80-an, anak-anak maupun dewasa. Berbagai artikel jurnal yang membahas pembagian generasi serta karakternya, sangat berpegaruh dalam strategi jualan ciloknya Kimpul.
Dia juga tahu hukum perpustakaan Ranganathan, seorang matematikawan India yang kemudian menjadi pustakawan, “every book, it's reader”. Dia gubah menjadi "setiap cilok, pasti ada penggemarnya"; atau "setiap usia, pasti ada jenis ciloknya". Dengan keyakinan itu, dia anggap setiap orang yang berpapasan dengannya merupakan calon konsumen potensial. Dia harus rayu mereka agar membeli ciloknya. Tentu metode rayuannya beda beda: untuk anak-anak, yang sedang pacaran, atau bapak-bapak yang sedang boncengan sama istrinya. Beda.
Dia juga menerapkan formula Mbah Otlet, lulusan bidang hukum yang kemudian punya ketertarikan di bidang kepustakawanan. Konsep formula UDC Mbah Otlet diterapkan pada cilok dagangannya, tentunya dengan gubahan, disesuaikan dengan kebutuhan. Kimpul yakin, Mbah Otlet tidak keberatan pada gubahannya tersebut. Dia klasifikasikan cilok untuk anak-anak dengan rasa kekinian, serta rasa berbeda untuk orang dewasa yang ingin nostalgia cilok tahun 90-an, jaman ketika Dilan dan Milea masih remaja. Atau cilok universal, kelas umum untuk semua usia. Ada juga cilok dengan klasifikasi menurut fisiknya: ukuran sedang, atau besar agar Kimpul mudah menemukannya. Cilok-cilok tersebut disusun rapi dalam wadah di gerobak dorongnya. Berlapis kaca, mudah dilihat calon pembelinya. Tinggal tunjuk, Kimpul pun akan mengambil dan memasakknya.
Dalam berjualan, Kimpul tidak asal dalam mendorong gerobaknya. Dia tidak hanya memanfaatkan intuisi seperti umumnya penjual cilok keliling. Dia tahu betul manfaat kuliah big data, dari dosen pengampunya, yang lagi-lagi bergelar Ph.D. dari universitas luar negeri yang tersohor. Mulai dari memanfaatkan google map, dia bisa tahu tempat-tempat ramai yang berpotensi untuk jualan. Kimpul juga mendapat suplai informasi kawan lamanya, yang kini kerja di bidang big data. Dia kerap diberi info tempat-tempat ramai pada jam tertentu yang paling dekat dengan tempatnya berada. Itulah sebabnya, dagangan Kimpul cepat habis.
###
Setelah lulus, Kimpul pernah kerja di sekolah swasta, sebagai honorer pengelola perpustakaan. Dia mendaftar dengan jaminan selembar ijazah, serta selembar transkrip nilai kuliahnya dengan IPK nyaris sempurna. Tanpa banyak pertimbangan, diapun lolos diterima bekerja. Mengelola perpustakaan SD yang ruangnya terletak di ujung gedung. Pada hari pertama bekerja, ruang perpustakaannya lebih layak disebut gudang. Buku tergeletak tidak beraturan. Ada yang di dalam almari, ada yang di lantai, atau di atas meja. Bercampur. Debu tipis menyelimuti buku dalam almari dan rak. Pertanda jarang disentuh. Namun, dengan semangat membara, Kimpul rombak perpustakaan tersebut. Hingga pernah mendapatkan penghargaan sebagai perpustakaan terbaik se kecamatan.
Kimpul tidak minta banyak anggaran untuk menyulap perpustakaannya. Dia tahu, sekolah SD swasta yang tak bergitu favorit, memiliki keterbatasan dana. Dia tak ingin membebani anggaran sekolah. Diterima bekerja saja dia anggap berkah luar biasa. Dia hanya cukup menyusun koleksi agar rapih, mengondisikan perpustakaannya bersih, sehingga nyaman dikunjungi. Laptop tua yang pernah menjadi saksi menyelesaikan tugas akhirnya, dia bawa ke perpustakaan. Dia ajari anak SD dengan desain grafis, menulis, mengolah angka dan lainnya. Dengan modal kuota data pas-pasan, dia koneksikan laptopnya dengan internet untuk ngajari siswa melek informasi. Kimpul tahu, pustakawan sedang gandrung dengan tuah literasi informasi. Dia tangkap peluang ini di tempat dia kerja. Pengetahuan, keterampilan dan kreatifitas Kimpul menjadikannya populer di mata siswa.
Dia bangun komunikasi dengan siswa-siswa sekolah. Kimpul ingat buku "The Atlas of new librarianship"nya Lankes, bahwa new librarian itu "participatory librarianship" yang dibangun melalui komunikasi dengan pemustaka.
Kepopuleran Kimpul sampai ke almamaternya. Mantan dosennya, Dr. Tumini, tahu pretasi Kimpul hingga kemudian mendatanginya di perpustakaan. Mereka berdiskusi tentang kiat-kiat dalam mengelola perpusakaan. Akhirnya Kimpul pun ditawari untuk didaulat sebagai brand ambassador jurusan. Fotonya menghiasi leaflet promosi jurusan ilmu perpustakaan di almamaternya. “Pustakawan berprestasi”, demikian judulnya. Deretan testimoni Kimpul tertulis pada leaflet tersebut. Tentunya, kampus berharap akan banyak pendaftar di jurusan ilmu perpustakaan, dan membuat alumni lainnya turut bangga dengan profesi pustakawan. Semakin banyak yang mendaftar, semakin banyak yang diterima, semakin panjang nafas jurusan ilmu perpustakaan.
Setiap bulan, Kimpul mendapat gaji tetap. Masuk dari pagi sampai sore hari selama 5 hari kerja. Namun, ya begitulah, gajinya tak seberapa. “Gajimu dibanding tunjangan sertifikasi dosen ilmu perpustakaan, ndak ada apa-apanya, Pul”, demikian informasi yang dia peroleh dari kawannya, sesama alumni ilmu perpustakaan. Tersebar kabar, bahwa dosen yang sudah serfifikasi akan mendapat tambahan gaji. Tidak hanya itu, dosen yang berhasil menulis di jurnal internasional, juga akan mendapatkan insentif. Besar. Lebih besar dari gaji bulanan Kimpul. Padahal, Kimpul harus segera menyiapkan ubo rampe untuk meminang gadis pujaannya, Paijem, yang sudah menunggunya untuk diboyong. Kimpul ingin segera menikah, membina rumah tangga bersama Peijem. Wajah ndeso Paijem yang membuat adem dan tentrem selalu terbayang.
Kimpul mikir. Akhirnya, gaji kecil yang masih menjadi ganjalan itu ternyata justru membuat ide kreatifnya muncul. Ketika istirahat sekolah, dia nyambi jualan cilok di sekolahan. Ini juga dilakukannya dengan berkeliling pada sabtu dan minggu, ketika dia tidak “ngantor” di perpusakaan sekolah. Tanpa rasa malu atau minder. Demi Paijem, akan dilakukannya.
###
Kimpul berjalan mendorong gerobak. Rambutnya hitam tersisir rapi, tangannya kuat memegang dua gagang gerobak, terkadang sambil bersiul dan memukul bende kecil. "Tong-tong-tong...." Bende itu sebagai tanda bagi siapapun, bahwa dia hadir. Bajunya rapi disetrika, ujungnya dimasukkan ke dalam celana panjang hitam bermerk lokal. Sandal selop menutup rapi kaki dan jari-jari kakinya. Necis. Jalannya pasti, dan tentu saja berwibawa.
Kimpul, Sarjana Ilmu Perpustakaan itu keliling keluar masuk kampung menjajakan ciloknya.
Dandanan Kimpul rapi, tidak seperti penjual cilok pada umumnya. Hal itu dipelajarinya dari mata kuliah promosi perpustakaan yang pernah dia ambil, dengan nilai A di bawah pengampu dosen killer bergelar Ph.D. di kampusnya. Dia harus berdandan rapi, meski hanya berjualan cilok. Diapun harus menarik pembeli dari berbagai segmen. Bukan hanya anak-anak generasi milenial. Namun juga generasi X, atau Y yang lahir tahun 80-an, anak-anak maupun dewasa. Berbagai artikel jurnal yang membahas pembagian generasi serta karakternya, sangat berpegaruh dalam strategi jualan ciloknya Kimpul.
Dia juga tahu hukum perpustakaan Ranganathan, seorang matematikawan India yang kemudian menjadi pustakawan, “every book, it's reader”. Dia gubah menjadi "setiap cilok, pasti ada penggemarnya"; atau "setiap usia, pasti ada jenis ciloknya". Dengan keyakinan itu, dia anggap setiap orang yang berpapasan dengannya merupakan calon konsumen potensial. Dia harus rayu mereka agar membeli ciloknya. Tentu metode rayuannya beda beda: untuk anak-anak, yang sedang pacaran, atau bapak-bapak yang sedang boncengan sama istrinya. Beda.
Dia juga menerapkan formula Mbah Otlet, lulusan bidang hukum yang kemudian punya ketertarikan di bidang kepustakawanan. Konsep formula UDC Mbah Otlet diterapkan pada cilok dagangannya, tentunya dengan gubahan, disesuaikan dengan kebutuhan. Kimpul yakin, Mbah Otlet tidak keberatan pada gubahannya tersebut. Dia klasifikasikan cilok untuk anak-anak dengan rasa kekinian, serta rasa berbeda untuk orang dewasa yang ingin nostalgia cilok tahun 90-an, jaman ketika Dilan dan Milea masih remaja. Atau cilok universal, kelas umum untuk semua usia. Ada juga cilok dengan klasifikasi menurut fisiknya: ukuran sedang, atau besar agar Kimpul mudah menemukannya. Cilok-cilok tersebut disusun rapi dalam wadah di gerobak dorongnya. Berlapis kaca, mudah dilihat calon pembelinya. Tinggal tunjuk, Kimpul pun akan mengambil dan memasakknya.
Dalam berjualan, Kimpul tidak asal dalam mendorong gerobaknya. Dia tidak hanya memanfaatkan intuisi seperti umumnya penjual cilok keliling. Dia tahu betul manfaat kuliah big data, dari dosen pengampunya, yang lagi-lagi bergelar Ph.D. dari universitas luar negeri yang tersohor. Mulai dari memanfaatkan google map, dia bisa tahu tempat-tempat ramai yang berpotensi untuk jualan. Kimpul juga mendapat suplai informasi kawan lamanya, yang kini kerja di bidang big data. Dia kerap diberi info tempat-tempat ramai pada jam tertentu yang paling dekat dengan tempatnya berada. Itulah sebabnya, dagangan Kimpul cepat habis.
###
Setelah lulus, Kimpul pernah kerja di sekolah swasta, sebagai honorer pengelola perpustakaan. Dia mendaftar dengan jaminan selembar ijazah, serta selembar transkrip nilai kuliahnya dengan IPK nyaris sempurna. Tanpa banyak pertimbangan, diapun lolos diterima bekerja. Mengelola perpustakaan SD yang ruangnya terletak di ujung gedung. Pada hari pertama bekerja, ruang perpustakaannya lebih layak disebut gudang. Buku tergeletak tidak beraturan. Ada yang di dalam almari, ada yang di lantai, atau di atas meja. Bercampur. Debu tipis menyelimuti buku dalam almari dan rak. Pertanda jarang disentuh. Namun, dengan semangat membara, Kimpul rombak perpustakaan tersebut. Hingga pernah mendapatkan penghargaan sebagai perpustakaan terbaik se kecamatan.
Kimpul tidak minta banyak anggaran untuk menyulap perpustakaannya. Dia tahu, sekolah SD swasta yang tak bergitu favorit, memiliki keterbatasan dana. Dia tak ingin membebani anggaran sekolah. Diterima bekerja saja dia anggap berkah luar biasa. Dia hanya cukup menyusun koleksi agar rapih, mengondisikan perpustakaannya bersih, sehingga nyaman dikunjungi. Laptop tua yang pernah menjadi saksi menyelesaikan tugas akhirnya, dia bawa ke perpustakaan. Dia ajari anak SD dengan desain grafis, menulis, mengolah angka dan lainnya. Dengan modal kuota data pas-pasan, dia koneksikan laptopnya dengan internet untuk ngajari siswa melek informasi. Kimpul tahu, pustakawan sedang gandrung dengan tuah literasi informasi. Dia tangkap peluang ini di tempat dia kerja. Pengetahuan, keterampilan dan kreatifitas Kimpul menjadikannya populer di mata siswa.
Dia bangun komunikasi dengan siswa-siswa sekolah. Kimpul ingat buku "The Atlas of new librarianship"nya Lankes, bahwa new librarian itu "participatory librarianship" yang dibangun melalui komunikasi dengan pemustaka.
Kepopuleran Kimpul sampai ke almamaternya. Mantan dosennya, Dr. Tumini, tahu pretasi Kimpul hingga kemudian mendatanginya di perpustakaan. Mereka berdiskusi tentang kiat-kiat dalam mengelola perpusakaan. Akhirnya Kimpul pun ditawari untuk didaulat sebagai brand ambassador jurusan. Fotonya menghiasi leaflet promosi jurusan ilmu perpustakaan di almamaternya. “Pustakawan berprestasi”, demikian judulnya. Deretan testimoni Kimpul tertulis pada leaflet tersebut. Tentunya, kampus berharap akan banyak pendaftar di jurusan ilmu perpustakaan, dan membuat alumni lainnya turut bangga dengan profesi pustakawan. Semakin banyak yang mendaftar, semakin banyak yang diterima, semakin panjang nafas jurusan ilmu perpustakaan.
Setiap bulan, Kimpul mendapat gaji tetap. Masuk dari pagi sampai sore hari selama 5 hari kerja. Namun, ya begitulah, gajinya tak seberapa. “Gajimu dibanding tunjangan sertifikasi dosen ilmu perpustakaan, ndak ada apa-apanya, Pul”, demikian informasi yang dia peroleh dari kawannya, sesama alumni ilmu perpustakaan. Tersebar kabar, bahwa dosen yang sudah serfifikasi akan mendapat tambahan gaji. Tidak hanya itu, dosen yang berhasil menulis di jurnal internasional, juga akan mendapatkan insentif. Besar. Lebih besar dari gaji bulanan Kimpul. Padahal, Kimpul harus segera menyiapkan ubo rampe untuk meminang gadis pujaannya, Paijem, yang sudah menunggunya untuk diboyong. Kimpul ingin segera menikah, membina rumah tangga bersama Peijem. Wajah ndeso Paijem yang membuat adem dan tentrem selalu terbayang.
Kimpul mikir. Akhirnya, gaji kecil yang masih menjadi ganjalan itu ternyata justru membuat ide kreatifnya muncul. Ketika istirahat sekolah, dia nyambi jualan cilok di sekolahan. Ini juga dilakukannya dengan berkeliling pada sabtu dan minggu, ketika dia tidak “ngantor” di perpusakaan sekolah. Tanpa rasa malu atau minder. Demi Paijem, akan dilakukannya.
Kerampilan membuat cilok, Kimpul peroleh dari baca buku: Panduan meracik cilok. Buku tersebut ditemukannya pada tumpukan ketika membereskan perpustakaannya, di hari pertama. Saat menemukan buku tersebut, Kimpul terkejut. Hatinya berdesir, bayangannya langsung teringat ketika ditraktir cilok oleh Paijem saat kuliah.
Tidak disangka, pendapatannya dari sambilan jualan cilok cukup lumayan. Bahkan jika diseriusi, bisa lebih banyak dari gaji bulanan yang dia peroleh sebagai pustakawan sekolah. Akhirnya, Kimpul memutuskan untuk serius jualan cilok. Impiannya tidak hanya dengan satu gerobak, namun dengan banyak gerobak. Akhirnya Kimpul resign dari sekolah. Alasannya jelas, ingin cari modal untuk segera menghalalkan Paijem. Sekolah tak bisa menahan.
###
Di suatu kampung, sore itu. Matahari sebentar lagi tenggelam. Anak-anak kecil menghabiskan waktunya, bermain di halaman, atau jalanan. Sesekali mereka harus menyingkir ketika ada motor atau bahkan mobil lewat. Semenara para orang tua saling sapa, dan bercerita tentang sekolah anaknya.
Tidak disangka, pendapatannya dari sambilan jualan cilok cukup lumayan. Bahkan jika diseriusi, bisa lebih banyak dari gaji bulanan yang dia peroleh sebagai pustakawan sekolah. Akhirnya, Kimpul memutuskan untuk serius jualan cilok. Impiannya tidak hanya dengan satu gerobak, namun dengan banyak gerobak. Akhirnya Kimpul resign dari sekolah. Alasannya jelas, ingin cari modal untuk segera menghalalkan Paijem. Sekolah tak bisa menahan.
###
Di suatu kampung, sore itu. Matahari sebentar lagi tenggelam. Anak-anak kecil menghabiskan waktunya, bermain di halaman, atau jalanan. Sesekali mereka harus menyingkir ketika ada motor atau bahkan mobil lewat. Semenara para orang tua saling sapa, dan bercerita tentang sekolah anaknya.
Sore itu, Kimpul masih melanjutkan keliling menjajakan cilok. Tampak cilok dagangannya tinggal beberapa butir. Wajahnya sumringah, jalannya bersemangat. Dia arahkan gerobaknya menuju rumah. Wajah Paijem yang sudah setahun dinikahinya, terbayang. Kimpul ingin segera sampai rumah, mencium kening Paijem, dan memeluknya.
Paijem yang biasanya sudah menyiapkan teh hangat dan menunggunya di serambi. Senyumnya, sapanya, dan sejuknya udara rumah, membuatnya tak sabar untuk sampai rumah. Sambil mendorong gerobak, dia berharap, akan ada satu dua anak, atau orang tua yang yang membeli sisa-sisa ciloknya. Jika toh tidak ada, akan dia sedekahkan pada siapapun yang dia temui: entah anak-anak, atau orang dewasa.
Di ujung jalan, sebuah mobil berjalan berlawanan, berhenti tepat ketika berpapasan dengan Kimpul. Seorang perempuan berpakaian rapi turun, bergegas menghampiri Kimpul. Wajah dan pakaiannya menandakan dia orang berpendidikan, pinter dan winasis.
“Kimpul, ini Kimpul, kan?”, sapanya tergesa.
Kimpul glagepan, kaget. Namun ia pun segera bisa menguasai dirinya. Dia ingat, di hadapannya berdiri Dr. Tumini, dosennya dulu. Dr. Tumini merupakan alumni doktor ilmu perpustakaan dari universitas luar negeri. Terkenal. Dia pernah menemuinya ketika masih kerja di perpustakaan sekolah. Dr. Tumini sering mengisi seminar kepustakawan di berbagai tempat. Ikut konferensi, dan benchmarking perpustakaan pada berbagai perpustakaan terbaik dunia. Namanya sering ditulis dengan Dr. Tumini, kadang juga Tumini, Ph.D. Meski belum profesor, dia kerap dipanggil Prof. oleh sejawat dan mahasiswanya. Maklum, ilmunya setinggi langit dan sedalam sumur minyak.
“Wah, Dr. Tumini. Apa kabar, Bu?”.
“Kimpul, kamu ndak kerja di perpustakaan lagi. Ini kok jualan cilok”?, Bu Tumini heran dan penasaran.
Kimpul pun cerita sebab musabab dia memutuskan jualan cilok. Dr. Tumini tampak kecewa. Dia berharap banyak pada Kimpul, agar bisa mengangkat harkat dan derajat jurusan ilmu perpustakaan kampusnya. Apalagi, Kimpul pernah berprestasi, foto dan testimoninya pernah pula dipajang di leaflet promosi kampus. Namun, apa yang dilihat Dr. Tumini sore itu benar-benar di luar dugaan. Dr. Tumini kecewa. Wajahnya menyiratkan itu, meski disembunyikan.
“Sore ini saya hanya iseng, kok. Karyawan saya sudah muter keliling. Kebetulan ada satu yang sakit, maka saya coba menggantikannya keliling. Sekaligus ingin merasakan kondisi lapangan ketika jualan cilok. Bukahkah kita harus merasakan langsung, agar bisa berempati, Bu?”. Kimpul menutup ceritanya.
Dr. Tumini kaget. Kimpul merupakan mantan pustakawan yang banting stir jadi juragan cilok. Sukses dengan omset besar serta banyak karyawan. Demikian kurang lebih kesimpulannya.
“Hehe, saya bukan mantan pustakawan, Bu. Saya tetap pustakawan, minimal untuk diri saya sendiri, keluarga dan untuk karyawan saya. Teriring doa, semoga Ibu lekas menjadi profesor”.
Dr. Tumini kaget dengan jawaban Kimpul. Meskipun halus, seolah ada tamparan mampir di wajahnya. Plak. Tampak, Kimpul tahu apa yang dirasakan mantan dosennya itu. Kimpul merasa ndak enak.
Di ujung jalan, sebuah mobil berjalan berlawanan, berhenti tepat ketika berpapasan dengan Kimpul. Seorang perempuan berpakaian rapi turun, bergegas menghampiri Kimpul. Wajah dan pakaiannya menandakan dia orang berpendidikan, pinter dan winasis.
“Kimpul, ini Kimpul, kan?”, sapanya tergesa.
Kimpul glagepan, kaget. Namun ia pun segera bisa menguasai dirinya. Dia ingat, di hadapannya berdiri Dr. Tumini, dosennya dulu. Dr. Tumini merupakan alumni doktor ilmu perpustakaan dari universitas luar negeri. Terkenal. Dia pernah menemuinya ketika masih kerja di perpustakaan sekolah. Dr. Tumini sering mengisi seminar kepustakawan di berbagai tempat. Ikut konferensi, dan benchmarking perpustakaan pada berbagai perpustakaan terbaik dunia. Namanya sering ditulis dengan Dr. Tumini, kadang juga Tumini, Ph.D. Meski belum profesor, dia kerap dipanggil Prof. oleh sejawat dan mahasiswanya. Maklum, ilmunya setinggi langit dan sedalam sumur minyak.
“Wah, Dr. Tumini. Apa kabar, Bu?”.
“Kimpul, kamu ndak kerja di perpustakaan lagi. Ini kok jualan cilok”?, Bu Tumini heran dan penasaran.
Kimpul pun cerita sebab musabab dia memutuskan jualan cilok. Dr. Tumini tampak kecewa. Dia berharap banyak pada Kimpul, agar bisa mengangkat harkat dan derajat jurusan ilmu perpustakaan kampusnya. Apalagi, Kimpul pernah berprestasi, foto dan testimoninya pernah pula dipajang di leaflet promosi kampus. Namun, apa yang dilihat Dr. Tumini sore itu benar-benar di luar dugaan. Dr. Tumini kecewa. Wajahnya menyiratkan itu, meski disembunyikan.
“Sore ini saya hanya iseng, kok. Karyawan saya sudah muter keliling. Kebetulan ada satu yang sakit, maka saya coba menggantikannya keliling. Sekaligus ingin merasakan kondisi lapangan ketika jualan cilok. Bukahkah kita harus merasakan langsung, agar bisa berempati, Bu?”. Kimpul menutup ceritanya.
Dr. Tumini kaget. Kimpul merupakan mantan pustakawan yang banting stir jadi juragan cilok. Sukses dengan omset besar serta banyak karyawan. Demikian kurang lebih kesimpulannya.
“Hehe, saya bukan mantan pustakawan, Bu. Saya tetap pustakawan, minimal untuk diri saya sendiri, keluarga dan untuk karyawan saya. Teriring doa, semoga Ibu lekas menjadi profesor”.
Dr. Tumini kaget dengan jawaban Kimpul. Meskipun halus, seolah ada tamparan mampir di wajahnya. Plak. Tampak, Kimpul tahu apa yang dirasakan mantan dosennya itu. Kimpul merasa ndak enak.
Dr Tumini diam sejenak, mendengar penjelasan tambahan Kimpul. Diam-diam, hatinya mengamini doa terakhir Kimpul: jadi profesor. Impian tiap dosen, apalagi dosen ilmu perpustakaan, yang profesornya masih sedikit.
“Bu Tumini, apa mungkin ya, leaflet kampus yang dulu bergambar diri saya itu diganti?”. Kimpul bertanya.
“Diganti apa, Pul?”. Dr. Tumini bertanya balik, dengan senyum yang agak dipaksakan.
“Diganti foto saya lengkap dengan gerobak cilok ini, Bu", jawab Kimpul.
"Agar calon mahasiswa ilmu perpustakaan sadar bahwa alumni ilmu perpustakaan juga dimungkinkan jadi penjual cilok”, lanjut Kimpul.
Senyum Dr. Tumini, yang tadi muncul dengan agak dibuat-buat, hilang. Berganti dengan ekspresi kaget yang tak dapat disembunyikan. Entah apa arti kerutan yang tiba-tiba muncul di wajahnya itu.
“O, kalau itu, perlu dirapatkan dan disetujui di senat dulu, Pul. Sudah ya, saya pamit”, Dr. Tumini gugup menjawab. Dia buru-buru pamitan, tak ingin gugupnya tampak lebih nyata terlihat dihadapan Kimpul.
Dr. Tumini buru-buru masuk mobil. Mesin dihidupkan, tancap gas meninggalkan Kimpul. Dari jauh, melalui kaca spion, mata Dr. Tumini melihat Kimpul mengangkat plastik putih berisi cilok. Melihat mantan anak didiknya itu, matanya berkaca-kaca. Beberapa butir air mata menetes. Buru-buru diusap dengan sapu tangan hitam berlogo universitas di Amerika.
"Bu Tumini, ini cilok buat Ibu.....", Kimpul setengah teriak. Namun sudah terlambat.
(selesai)
Catatan:
ini cerpen yang pertama saya tulis. Di tulis pada Senin Wage, 20 Suro 1952 Be. Selepas Subuh s.d. 06.15 WIB. Kemudian diedit perbaikan.
“Bu Tumini, apa mungkin ya, leaflet kampus yang dulu bergambar diri saya itu diganti?”. Kimpul bertanya.
“Diganti apa, Pul?”. Dr. Tumini bertanya balik, dengan senyum yang agak dipaksakan.
“Diganti foto saya lengkap dengan gerobak cilok ini, Bu", jawab Kimpul.
"Agar calon mahasiswa ilmu perpustakaan sadar bahwa alumni ilmu perpustakaan juga dimungkinkan jadi penjual cilok”, lanjut Kimpul.
Senyum Dr. Tumini, yang tadi muncul dengan agak dibuat-buat, hilang. Berganti dengan ekspresi kaget yang tak dapat disembunyikan. Entah apa arti kerutan yang tiba-tiba muncul di wajahnya itu.
“O, kalau itu, perlu dirapatkan dan disetujui di senat dulu, Pul. Sudah ya, saya pamit”, Dr. Tumini gugup menjawab. Dia buru-buru pamitan, tak ingin gugupnya tampak lebih nyata terlihat dihadapan Kimpul.
Dr. Tumini buru-buru masuk mobil. Mesin dihidupkan, tancap gas meninggalkan Kimpul. Dari jauh, melalui kaca spion, mata Dr. Tumini melihat Kimpul mengangkat plastik putih berisi cilok. Melihat mantan anak didiknya itu, matanya berkaca-kaca. Beberapa butir air mata menetes. Buru-buru diusap dengan sapu tangan hitam berlogo universitas di Amerika.
"Bu Tumini, ini cilok buat Ibu.....", Kimpul setengah teriak. Namun sudah terlambat.
(selesai)
Catatan:
ini cerpen yang pertama saya tulis. Di tulis pada Senin Wage, 20 Suro 1952 Be. Selepas Subuh s.d. 06.15 WIB. Kemudian diedit perbaikan.
Akhirnya setelah Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, Mata Rantai Alexandria, The Name of the Rose,Alcatraz vs the Evil Librarians, yang bernuansa luar,,, saya bisa membaca Ciloknya Pustakawan yang bernuansa Indonesia, ndesonya yang khas, namun tak terlepas dr marwah kepustakawanan.
ReplyDeleteTerus berkarya Pak Purwoko,, sukses selalu,,,terus menginspirasi untuk teman2 pustakawan,,,
Terimakasih, Bu.
DeleteLatihan menulis cerpen.
Terharu Pak..super2 terharu...intinya kita nggak tau hidup akan membawa kemana yaa
ReplyDeleteSiap
DeleteBagus lanjutkan menulis Thema yg lain
ReplyDeleteKeren cerpennya, Mas Pur ����
ReplyDelete