Paijo kembali ndagel. Dasar Paijo. Kali ini benar-benar dia meragukan ilmu perpustakaan. Lah bagaimana tidak, argumen, Karyo kawan setianya itu selalu dibantahnya. Bahkan ketika Paijo terpojok pun, tetap mengatakan pokoke. “Pokoke ngono, Kang”, begitu kira-kira.
“Jo, ilmu perpustakaan itu ada. Kalau ndak ada bagaimana pustakawan mendesain ruangannya?”, kata Karyo. Inipun langsung dibantah Paijo. Katanya itu tata ruang kerjaannya orang arsitektur, bukan pustakawan. Kemampuan pustakawan untuk tata ruang, itu cuma secuilnya orang arsitektur. Jadi cuma nyilih, pinjem. Begitu katanya.
“Jo, di kajian perpustakaan itu ada bibliometrik. Itu ilmu penting, Jo”. Inipun dibantah dengan pokoknya oleh Paijo. Katanya itu ilmu statistik. Cuma sak upritnya ilmu statistik. Cuma nempil, nyilih saja itu.
“Jo, di kajian ilmu perpustakaan ada psikologi pemakai. Penting itu untuk pengembangan perpustakaan”. Kata Paijo, itu sudah jelas: psikologi. Itu ilmunya psikologi. Jelas, cetho welo-welo.
“Jo, di kajian ilmu perpustakaan itu orang harus bisa membuat sistem informasi yang bagus, Jo. Itu ada ilmunya”. Ini Paijo lebih semangat menanggapi Karyo. Katanya itu ilmunya orang komputer atau informatika. Lebih jauh lagi, namanya programming itu sekarang sudah jadi hobi. Tidak sekolah komputer pun bisa jadi programmer. Paijo menguatkan pendapatnya itu dengan cerita tentang kawannya yang orang kehutanan, tapi pintar programming, atau lulusan sekolah perkebunan yang juga pintar programming. Semuanya karena otodidak.
Karyo cep klakep. Tak bisa menjawab lagi.
“Jo, di ilmu perpustaskaan ada literasi informasi. Ini penting, Jo”. Paijo tertawa kecil, kemudian melanjutkan penjelasannya. Bahwa itu literasi informasi pekerjaan banyak orang, lintas disiplin. Bukan dominasi pustakawan atau alumni ilmu perpustakaan. Apalagi, lanjut Paijo, “Itu ideator literasi informasi saja bukan orang ilmu perpustakaan kok, Kang. Piye, jal?”.
“Jo, di kajian ilmu perpustakaan, kita diajari membedakan informasi valid dan tidak valid. Ini penting. Bagaimana menggunakan Google dengan baik dan benar”. Karyo tak mau kalah. Paijo menghela nafas sebentar. Kemudian menjawab, “Kang, pustakawan yang kena informasi hoax juga banyak. Trus cara menggunakan Google, dari mana epistemologinya kalau itu bagian dari pekerjaan pustakawan?. Itu bukan domain pustakawan, itu milik semua orang”.
Karyo dalam hati membenarkan apa yang disampaikan Paijo. Memang kesannya ilmu perpustakaan itu gabungan potongan potongan ilmu.
"Jane ya ndak salah, Kang. Ketika ilmu perpustakaan itu nggabungkan beberapa ilmu. Hora salah. Neng kok saya merasa embuh, ya. Ana sik aneh." Paijo menambah penjelasannya.
###
“Njuk, karepmu piye, Jo?”. Karyo setengah putus asa.
“Pustakawan itu, sejak adanya pendidikan ilmu perpustakaan, jadi pekerjaan yang administratif dan mengambil pekerjaan yang tidak dikerjakan orang lain. Mengais pekerjaan yang terserak. Cuma perantara, atau semacamnya, Kang.”. Paijo memberikan argumennya. Bagi Paijo, pustakawan itu peran yang menempel pada setiap profesi, setiap orang. Jika toh ada perpustakaan, maka pengelolanya seorang ilmuwan, yang dia diberi tugas untuk mengelola perpustakaan. Dengan begitu, justru perpustakaan akan hidup. “Namun tetap ada syaratnya, Kang. Kudu tenanan”, tegas Paijo.
“Lah sekarang pustakawan membanggakan pekerjaannya membuat akun google scholar, atau membuat akun Sinta. Itu kan pekerjaan temporer. Pekerjaan yang dikerjakan karena dibutuhkan orang lain, ketika tidak ada orang khusus yang membantu. Maka, tampillah pustakawan, menjadi juru selamat. Kalau nanti semua sudah punya akun google scholar, lalu mau apa pustakawan?. Nganggur?”. Paijo ganti membombardir Karyo dengan pertanyaan-pertanyaan.
Karyo tidak menyangka, selama ini dia ngemong Paijo, dan baik-baik saja. Kok sekarang rodo kendhel, ndugal, tur kemlinthi. Entah, ada apa dengan Paijo.
Paijo membuka gadgetnya, dia merawak ke berbagai laman internet. Tampak dia buka akun google scholar dosen dan ilmuwan perpustakaan, terutama yang bergelar doktor. “Apa lagi, Jo?”. Tanya Karyo. “Sik, Kang. Tak nonton produk intelektual para ilmuwan perpustakaan. Ada yang baru atau tidak, atau jangan-jangan hanya seputar sofa dan kopi di perpustakaan”.
"Lalu apa sebenarnya pekerjaan pustakawan yang paling hakiki, Jo?", Karyo bertanya balik.
"Memustakawankan pemustaka, Kang. Itu pekerjaannya pustakawan". Paijo menjawab.
Dari seberang jalan, seorang lelaki 40-an tahun berjalan. Menenteng buku dengan wajah sumringah. Setengah berteriak, dia berkata “Salam sofa, Jo”.
[mungkin bersambung]
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih, komentar akan kami moderasi