Sunday, 20 October 2024

Universitas mana yang publikasinya paling berkualitas? Hasilnya mencengangkan

Muncul poster yang menggelitik. Poster itu berisi nama-nama universitas dengan urutan berdasar kualitas riset. Paling atas ada UMS. Ini yang mungkin membuat mak jegagik.

Ini posternya.

Sumber: IG ini

Baik, sekarang mari kita cek silang ke database yang dapat sedikit menggambarkan kondisi riset kampus-kampus tersebut. Saya pakai Incites lagi. Ya, sekedar mengonfirmasi saja, sih.

Oia, ini mur-ni iseng ya. Jika ada yang tidak sepakat dengan term kualitas didasarkan pada data Incites dan beberapa angka di dalamnya, saya tetap terima. Santai saja. 

Oke, tanpa fufu fafa -  fufu fafa, berikut saya sajikan data yang diambil per 20 Oktober 2024. Untuk versi fullscreen silakan klik di sini: https://datawrapper.dwcdn.net/dLcWB/5/

Keterangan terkait angka dan kategori dapat dilihat di https://incites.zendesk.com/hc/en-gb/articles/24647448030353-InCites-Indicators-Cheat-Sheet

Dari data di atas, untuk total publikasi tidak usah dibahas dulu. Universitas besar biasanya berbanding lurus dengan jumlah publikasinya. Kita fokus ke angka yang konon dianggap mewakili kualitas.

Berikut ini beberapa catatan saya.

  1. Dalam bentuk persen, paling tinggi pada kategori  documen in top 1% adalah UMS. Sebanyak 15 dari 459 publikasinya menduduki top 1%. Jika dikonversi ke % UMS memperoleh angka 3.27%. Sementara UGM ada di posisi 11 dengan 0,46%.
  2. Pada kategori top in 10%, posisi paling atas juga diduduki UMS, dengan angka 9,59%. Angka ini diperoleh dari 44 dokumen dari 459 publikasinya. Sementara UGM ada di posisi 11 dengan 6,05%.
  3. Pada angka % highly cited papers, UMS masih bertahan di posisi paling atas. dengan 2,61%. Angka ini diperoleh dari 12 dari 459 publikasi. Sementara UGM ada di posisi 10 dengan 0,26%.
  4. Untuk kategori % hot papers, posisi puncak diduduki UAD dengan 0,56%. UMS ada di posisi kedua dengan angka 0,22%. Sementara UGM ada di posisi 8 dengan 0,04%.
  5. Untuk kategori % dokumen yang terbit di jurnal Q1, posisi paling atas diduduki oleh Universitas Syah Kuala. Unsyiah memiliki 37,23% publikasi di Q1. Sementara UGM ada di posisi 4 dengan 32,91%.

Kesimpulan
Sidang pembaca dapat menyimpulkan sendiri-sendiri, apakah hasilnya mirip dengan poster yang beredar atau...


Sekian dan terima kasih

Tulisan terkait:

Saturday, 19 October 2024

Dari 9 kampus ini, manakah publikasinya yang paling bermanfaat?

Oke, to de poin saja. Ini analisis iseng. Ingin tahu seberapa dampak dari publikasi para anggota kampus (biasanya disebut civitas) yang ada di Indonesia. Tidak semua, hanya 9 saja yang saya sajikan.

Sembilan itu terdiri dari UI, ITB, UGM, IPB, ITS, Undip, Binus dan UII.

Dampak alias impact, atau pada judul saya pakai istilah "manfaat",  saya ambil dari Incites. Beberapa angka yang tampil yaitu

  • total dokumen sejak 2020 s.d. 2024 (per 19 oktober 2024)
  • total dokumen yang dikutip 
  • total berapa kali dikutip
  • dokumen dikutip dalam %
  • h-indeks
  • h-indeks dalam %
  • h-indeks tanpa self sitasi
  • total berapa kali dikutip tanpa self sitasi
  • citation impact (rata-rata sitasi per paper)
  • impact relative to world

Dampak dalam hal ini, hanya dilihat dari berapa kali dikutip dengan beberapa variasi angka turunannya. Misalnya h-indeks.

Saya sajikan datanya dalam datawrapper di bawah ini.

Note: tampilan layar penuh ada di https://datawrapper.dwcdn.net/gO5b0/3/

Beberapa kesimpulan kecil

  1. Dari jumlah dokumen, UI menempati ranking teratas dengan 10.344 dokumen
  2. Dari jumlah publikasi yang disitasi, UI juga menempati ranking teratasa dengan 5.962 dokumen yang dikutip
  3. Berdasar jumlah dikutip, UI tetap nomor 1 dengan 62.771 kali disitasi
  4. Jika dihitung dalam persen, berdasar dokumen yang dikutip, paling tinggi ITS. Dari total 2.562 publikasi ITS, sebanyak 66,74% dikutip. UI hanya membukukan 57,64% dari total publikasinya saja, dan menempati posisi terbawah.
  5. Berdasar h-indeks, UI memiliki angka 72, dan menempati posisi paling atas
  6. Jika h-indeks dihitung dalam persen dari total publikasi, paling tinggi ditempati oleh UII dengan 2,66%. UI, dengan h-indeks 72 jika dihitung dalam % hanya 0,70% dari total publikasi
Data lengkapnya, silakan cek pada tabel di atas, atau untuk tampilan layar penuh silakan klik: https://datawrapper.dwcdn.net/gO5b0/3/

Kesimpulan besar
  1. Banyaknya dokumen berpengaruh pada tingginya dokumen tersebut dikutip oleh peneliti lain
  2. Banyaknya dokumen juga berpengaruh pada angka h-indeks
  3. Namun, banyaknya dokumen juga berbanding lurus dengan banyaknya dokumen mubadzir. Mubadzir dalam arti dikutip, lho ya. Ini terlihat dari UI yang dokumennya terbanyak, namun yang dikutip hanya 57,4% saja. Sedangkan ITS dengan 2.562 publikasi, sebanyak 66,74% diantaranya dikutip
  4. Pada h-indeks juga demikian, UI memiliki h-indeks tertinggi. Namun angka itu hanya 0,70% dari total publikasinya. Sedangkan UII meski cuma memiliki h-indeks 26, namun itu sebanyak 2,66% dari total publikasinya.
  5. UGM, sebagai perguruan tinggi yang jumlah warganya paling banyak, ternyata...
    1.  dari sisi jumlah publikasi kalah dengan UI. 
    2. Dari jumlah dokumen publikasi yang dikutip oleh publikasi lain, juga kalah dari UI. 
    3. Dari % publikasinya yang dikutip publikasi lain malah ada di posisi 7 dari 9 kampus yang disajikan angkanya. 
    4. Dari sisi h-indeks ada di posisi 3, namun jika dikonversi ke % ada di posisi buncit bareng UI dengan 0,70%.
    5. dari sisi citation impact (rata-rata sitasi per paper) ada di posisi 8, dengan angka 4,24.

Karyo: Lalu, mana yang paling bermanfaat?
Paijo: YNTKTS

Itu!







, , , ,

Demonstrasi Pasca 98 di UGM yang perlu diketahui, mulai isu UKT, Bonbin, Tukin, dan simulasi

Pasca 1998, aksi demonstrasi mahasiswa memiki kecenderungan fluktuatif. Naik turun intensitas dan isu yang dibawa. Termasuk di dalam kampus UGM. Bunderan dan gedung pusat menjadi titik tempat berkumpulkan para demonstran. Maka, aksi tidak dapat dilepaskan dari dua tempat ini.

Lalu, aksi apa saja yang perlu kita ketahui pasca 1998, dan terjadi di dalam kampus UGM?

Menurut saya, setidaknya ada 2 aksi yang perlu kita ketahui.


Aksi dosen tahun 2005

Dosen? Iya. Dosen. Jadi anda, sidang pembaca perlu tahu, bahwa dosen juga pernah melakukan aksi di kampus UGM. Itu terjadi tahun 2005, bulan mei, tanggal 2. Tepat di hari pendidikan nasional. Bahkan, pada media ditulis bahwa dosen mengancam mogok. 

Isu apa yang di bawa? 

"Mereka memprotes kenaikan gaji rektor hingga empat kali lipat dan mengancam akan mogok jika keputusan itu tidak direvisi.Para dosen dan karyawan mengenakan pita hitam di lengan kiri." Demikian dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/60429/dosen-ugm-ancam-mogok.

"Ini sebagai aksi duka atas matinya dan kebersamaan di UGM. Semua dosen dan karyawan akan mengenakan pita hitam," kata staf pengajar Fisipol UGM, Arie Sujito. Demikian kutipan dari https://news.detik.com/berita/d-353296/gesekan-di-ugm-makin-ramai.

Berita terkait dapat dilihat di tautan berikut:

  • https://nasional.tempo.co/read/60429/dosen-ugm-ancam-mogok
  • https://nasional.tempo.co/read/60497/rektor-janji-tidak-akan-berikan-sanksi
  • https://news.detik.com/berita/d-353472/rektor-ugm-tolak-dialog-dengan-dosen-di-lokasi-demo-
  • https://news.detik.com/berita/d-357840/soal-demo-kenaikan-gajinya-rektor-ugm-siap-berdialog
  • https://news.detik.com/berita/d-353296/gesekan-di-ugm-makin-ramai--
  • https://news.detik.com/berita/354801/dosen-ugm-ancam-gugat-rektor
  • https://news.detik.com/berita/d-353428/ratusan-dosen-dan-mahasiswa-ugm-demo-di-balairung
  • https://news.detik.com/berita/352632/gaji-rektor-ugm-naik-400--dosen-ancam-mogok-kerja

Aksi tahun 2016
Sama seperti 2005, di tahun 2016 aksi juga bertepatan dengan 2 Mei. Ribuan peserta aksi berasal dari mahasiswa dan tendik. Isu yang dibawa terkait dengan UKT, Tunjangan Kinerja tenaga kependidikan, dan kantin bonbin atau kebon binatang di FIB. 

Selain itu, mahasiswa dipicu juga oleh anggapan rektor bahwa aksi yang dilakukan hanya merupakan simulasi. 

"Sementara itu, Rektor UGM Dwikorita menyampaikan bahwa aksi demo yang dilakukan oleh para mahasiswa ini adalah simulasi untuk melatih mahasiswa berpolitik" demikian dikutip dari https://regional.kompas.com/read/2016/05/02/15514441/Demonstrasi.Disebut.Cuma.Simulasi.Ribuan

Rekaman pernyataan rektor terkait simulasi ada di https://www.youtube.com/watch?v=H3a040yowPM


Berita terkait dapat dilihat di

  • https://www.liputan6.com/regional/read/2497944/rektor-ugm-sebut-aksi-demo-mahasiswa-cuma-simulasi
  • https://www.youtube.com/watch?v=1wMpQT5e97k
  • http://www.tribunnews.com/regional/2016/05/03/rektor-ugm-masih-dikepung-mahasiswa-gara-gara-ucapan-soal-demo
  • https://www.youtube.com/watch?v=H3a040yowPM
  • https://www.youtube.com/watch?v=7boZ6R7zN0M
  • https://regional.kompas.com/read/2016/05/02/15514441/Demonstrasi.Disebut.Cuma.Simulasi.Ribuan.Mahasiswa.UGM.Tuding.Rektor.Bohong
  • https://news.detik.com/berita/d-3201547/1000-an-mahasiswa-ugm-demo-menolak-ukt-dan-relokasi-kantin-bonbin
  • https://news.detik.com/berita/d-3202227/ini-penjelasan-ugm-terkait-demo-mahasiswa-kemarin
  • http://wargajogja.net/lingkungan/kontroversi-relokasi-kantin-bonbin-ugm.html
  • http://kopertis12.or.id/2016/05/02/peringati-hardiknas-ribuan-mahasiswa-ugm-demo-rektor.html

Friday, 18 October 2024

,

Plastik dan tanggung jawab intelektual ilmuwan

Kemajuan, konon selalu dilekatkan pada peran para ilmuwan. Hal ini akan lebih jelas jika dilihat titik-titik waktu yang dijadikan ciri perkembangan jaman, yang kemudian disebut berbagai tingkatan revolusi industri. 

Paijo: Atau, jangan-jangan bangunan konsep revolusi industri itu adalah projek ilmuwan/insinyur untuk mendakwa bahwa mereka penting? 
Karyo: Bisa jadi, Jo.

sumber: ini

Lihat gambar di atas, penciri revolusi industri 1  sampai 4, terkait dengan teknologi. Mulai dari mesin uap, listrik dan produksi massal, IT dan saat ini cyber.

Karya para insinyur memang mengubah. Namun, ada yang terlewat. Mereka melupakan dampak yang akan terlihat setelah terakumulasi sekian tahun.

Misalnya pada karya berbentuk plastik kresek atau semacamnya.

Plastik, pada saat awalnya muncul dan ditemukan teknologi penciptaannya, pasti dianggap sebagai capaian gemilang. Keberhasilannya dirayakan dengan suka cita. Setelah ditemukan, melalui bentuk plastik pada umumnya, manusia dapat memiliki bungkus yang sangat elastis, dapat dipakai untuk membawa apapun, dalam bentuk dan ukuran yang beragam, dan tentu saja murah. Mereka pun bergembira.

Saking murahnya, plastik selalu disediakan oleh para pedagang sebagai bentuk peningkatan kualitas layanan. Pembeli otomatis akan dapat plastik saat membeli barang. 

Namun siapa sangka, sekian puluh tahun kemudian plastik menjadi masalah.

Plastik yang awalnya jadi capaian gemilang, kini menjadi musuh dan dimusuhi. Bahkan, orang yang berhasil menjaga jarak sejauh-jauhnya dengan plastik, dianggap berprestasi dan berkontribusi pada keberlanjutan bumi. Ironis.

Pendek kata, di balik capaian gemilang para ilmuwan yang berhasil menciptakan plastik, ada keterlambatan kesadaran akan dampaknya. 

Sebenarnya bukan hanya plastik. Namun juga mobil, motor, pemanfaatan batu bara, dan lainnya lupa. Dampak buruknya dirasakan sekian puluh tahun kemudian. Kesadaran yang terlambat ini, kemudian memunculkan konsep perlambatan entropi, untuk mengurangi beban lingkungan.

Begitulah ilmuwan, mereka juga manusia biasa.
Kadang saya berfikir, kerusakan lingkungan merupakah anak haram dari perselingkuhan antara ilmuwan dan para pemilik modal.
Itu!

Atau, sebenarnya ketika kita pakai plastik.....
.......kita sedang memberi penghargaan, apresiasi para insinyur penemunya. 

Itu (lagi)! 

*** 

Lalu apa tanggung jawab intelektual ilmuwan pada plastik?

Kalau mereka bisa membuat, mereka harusnya juga bisa mengolah kembali apa yang dia buat. Melakukan rekayasa terbalik. Itu tanggung jawab intelektualnya. Ironi jika mereka justru menghindari yang dulu diciptakannya.

Masalah plastik seharusnya tidak selalu diarahkan pada para konsumen plastik. Tariklah ke hulunya! Produsennya! Dan juga ilmuwan yang menciptakannya. Pada mereka melekat tanggung jawab tentang permasalahan plastik. Bahkan tanggung jawabnya lebih besar dari konsumen yang menggunakannya.

Itu!

Tuesday, 8 October 2024

Roti Sisir di kampus kita

Entah berdasar sisi sebelah mana roti ini disebut roti sisir. Saya cari gigi sisirnya? ndak ada. Ompong? Mungkin. Tapi anehnya ya tetap saya beli juga. Meskipun saya ndak punya rambut yang cukup untuk disisir.

Saya kenal roti ini saat harganya kisaran 200-250 rupiah per bungkus. Sebelum krisis moneter tahun 98, yang kemudian gonjang-ganjingnya membuat Pak Wo harus pergi ke Yordan. Saat itu, kebetulan ibu saya buka warung kelontong. Jadi saya tahu harganya. 

Membeli dan makan roti sisir, bagi saya semacam membangkitkan memori masa lalu. Kenangan yang sangat sentimentil, dan begitu menyentuh perasaan. Roti ini merupakan roti yang harganya paling terjangkau dibanding roti sejenis lainnya. Jadi primadona. Saat makan, suasana yang tercipta mirip makan roti seperti di iklan tipi-tipi. Apalagi itu, ada menteganya. Wis lah. Ini roti sangat ramah dengan kantong warga saat itu.

Saya tak perlu ceritakan ditailnya. Rekan-rekan yang seusia dengan saya, kemungkinan besar pernah merasakannya.

****

Agaknya roti ini cocok jika dimakan sambil ngopi. Bisa bikin sendiri, atau beli di lantai 4 SGLC. Itu lho, yang kata /rif tinggal tunjuk sana dan tunjuk sini bagai seorang raja. Lalu dibikinkan. Satu menit setelahnya langsung jadi. Layanannya benar-benar prima, lebih prima dari Prima. Tapi ya tetap harus bayar. Ndak gratis.

Lebih masuk lagi jika dimakan bareng-bareng, setelah olah raga misalnya, di Jumat pagi. Sambil ngobrol ngalor ngidul, fufu fafa fifi fefe dan fofo. Mengobrolkan apapun. Tentang negara, tentang UKT, tentang macetnya jalanan kota, angsuran, pekerjaan, pilkada, harga-harga, dan semacamnya. 

Atau tentang strategi-strategi menyelamatkan masa depan bumi dan lingkungan, yang kabarnya diambang bahaya. Apapun, lah. Bebas.

**

Kini, meski beda merk, roti sisir harganya Rp4000 per bungkus. Sekitar 16x lipat atau 1600% naiknya, dalam 26 tahun. Tentu saja, ada banyak pertimbangan hingga si produsen memasang harga segitu. Mungkin mahal, tapi untuk sebuah nostalgia rasa dan suasana, bisa jadi tidak mahal. 

Namun demikian, semoga UU Cipta Kerja bisa berdampak pada penuruhan harganya. Atau mungkin distribusinya perlu pakai mobil Esemka, biar harganya dapat ditekan dan lebih terjangkau, khususnya bagi mahasiswa.

Oia, roti sisir ini saya beli di Teknik Mart. Lokasinya di dalam kampus. Dekat dan tentu saja bersahabat. 

Yang ingin membangkitkan memori masa lalu yang sentimentil, bisa meluncur ke sana. Bisa bayar dengan cara apapun, uang pas, uang receh, atau uang tak kasat mata. 

Salam plastik. Eh, Roti Sisir

Sunday, 6 October 2024

,

Meletakkan jargon "It’s just one straw, said 8 billion people" secara adil

"It’s just one straw, said 8 billion people", kalimat sakti yang digunakan untuk meyakinkan bahwa meskipun cuma 1 plastik itu tetap berbahaya, karena yang mengatakan ada 8 miliar manusia. Artinya ada 8 miliar plastik yang berpotensi sampah.

Oke!

Setelah mendapat kata-kata di atas, konsumen plastik berfikir, "Benar juga, ya. Satu plastik saja dari saya, kalau semua pada kondisi yang sama, maka akan ada 8 miliar plastik". 

Uakeh tenan.

Lalu, muncullah perasaan bersalah, berdosa, wajah memelas dan melankolis menunjukkan kesedihan. 

Padahal, dia pakai plastik ya karena memang plastik telah ada. Dia tidak membuat plastik. Dia konsumen, dia pengguna produk dari perusahaan yang tidak dilarang negara.

***

Kalimat "It’s just one straw, said 8 billion people" menjadi kalimat yang selama ini dipakai untuk konsumen plastik. Bagi saya, penggunaan kalimat ini untuk konsumen, merupakan bentuk ketidakadilan.

"Wanine gur karo konsumen. Kalau berani, ngomonglah ke produsennya!"

Konsumen itu memanfaatkan apa yang dijual. Penggunaan plastik tidak dilarang oleh negara. Bukan barang haram. Pabrik plastik juga ada, tidak dilarang oleh negara. 

Lalu, bagaimana logikanya, kok konsumen pengguna plastik malah ditekan dengan kalimat "It’s just one straw, said 8 billion people".

Tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar oleh para pengguna plastik? Kalau ada, coba sebutkan!

Kalau memang plastik itu bagian dari sampah, maka seharusnya fokus ke pengelolaannya. 

***

Dilarang atau tidak dilarang, kalau mengacu ke 8 miliar di atas; plastik tetaplah plastik. Ketika ada 8 miliar orang tidak menggunakan plastik-pun, ya tetap akan ada 8 juta plastik yang mengonggok meski tidak dipakai. Plastik tetaplah plastik.

Sebagian besar manusia sepakat, bahwa plastik berpotensi menjadi sampah yang berbahaya bagi lingkungan dan masa depan alam. Tapi, ayolah kita berusaha adil. Jangan tekan terus para konsumen. Tekan juga kebijakan pemerintah dan juga produsen plastiknya.

Itu!

Sambisari
6 Oktober 2024
9.14 pagi

Saturday, 5 October 2024

Sampah Plastik dan Ujian Kemanusiaan Kita

Plastik (jenis tertentu) yang tak terpakai, menjadi momok menakutkan. Hantu yang selalu membayangi masa depan bumi dan lingkungan. Dia diklaim mampu bertahan ratusan tahun, tidak musnah. Tentu, hal ini menjadi ancaman bagi lingkungan.

Jika ditelisik sekian tahun lalu, plastik merupakan capaian gemilang dari teknologi. Mengutip Wikipedia, pada cantuman berjudul plastik, sejarah plastik dimulai pada 1862. Waktu berlalu, riset berkembang. Hingga pada 1974 perusahaan banyak yang menggunakan plastik untuk kebutuhannya. 

***

Namun siapa menduga, puluhan tahun kemudian (sejak 1974), plastik menjadi masalah besar. Utamanya jika dikaitkan dengan lingkungan, pencemaran, sampah, perubahan iklim, dan semacamnya.

Sama seperti sepeda motor, bensin, atau batu bara, yang pada awalnya juga merupakan temuan gemilang. Namun sekian dekade kemudian, menjadi masalah besar. Sepeda motor (dan juga mobil) erat dengan kemacetan, bensin erat dengan pencemaran, juga batu bara.

Bagaimana mengatasinya?

Berbagai produk di atas telah masuk ke berbagai lini kehidupan. Selain dampak buruknya, proses industrialisasinya menjadi sandaran ekonomi sekian ribu manusia. Rumit untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan.

Jika mau ekstrim, menghentikan dampak buruk harus dengan menghentikan produksi bahan bakar fosil, hentikan penggunaan batu bara, stop produksi kendaraan bermotor (pribadi) dan beralih ke kendaraan massal. 

Tapi apa berani? Ndak. Sampai saat ini tidak. Dampak sosialnya tinggi.

Kemacetan misalnya. Bukan hanya tentang tabiat manusia dalam menggunakan sepeda motor, namun populasi sepeda motor itu sendiri. Populasi ini terkait dengan industri yang mengejar produksi untuk menjaga kesehatan perusahaan, dan menopang sekian ribu karyawannya. Apalagi sekarang malah tambah kendaraan listrik. Yang punya kendaraan listrik, kemungkinan telah punya kendaraan konvensional sebelumnya. 

Bayangkah! Sak adeg gabreg.
Tidak sederhana, Ferguso!

***

Kembali ke plastik. Jika meniru hal di atas, maka solusi masalah platik ya... tutup pabrik plastik. Selesai.

Tapi perlu diingat, plastik juga tidak berdiri sendiri. Namun, meskipun sama-sama tidak berdiri sendiri, plastik punya kaitan erat dengan kehidupan masyarakat bawah.

Jika kita pernah berhenti sejenak di pinggir jalan raya, niscaya akan bertemu dengan sekian penjaja makanan kecil. Mulai dari gipang, kripik telo, kripik pisang, kripik tempe, dan semacamnya. Dagangan itu dibungkus plastik.

Plastik saudara-saudara! Bukan daun pisang atau daun jati. 

Nek dibungkus godong jati, yo mlempem, dul!

Inilah yang saya sebut, bahwa plastik dekat dengan masyarakat bawah. Mereka membawa potensi sampah. Tapi mereka tidak berdaya. Mereka harus menyambung hidupnya. Tak ada opsi lain selain plastik, yang terjangkau modal dan mampu menjaga kualitas dagangannya. Ya, dari juragan mereka sudah seperti itu. 

Lalu, apakah yang harus kita lakukan?

"Beli dagangannya, tapi jangan ambil plastiknya!" Jadi, kita beli kripik, kita masukkan ke wadah yang kita bawa. Lalu plastik wadahnya kita kembalikan lagi ke simbah-simbah yang jualan itu. "Mbah, plastinya kula kondorke, njih". Begitu?

Anda pasti bercanda. Tanpa saya menjelaskan panjang lebar, pasti anda yang waras tidak akan tega melakukannya. 

Plastik yang tak terpakai tetaplah sampah. Di manapun berada.  Dan (pada contoh di atas) anda memberikan sampah itu pada orang yang kemungkinan besar tidak tahu bagaimana mengolah sampah. Itu tindakan lucu dan tentu saja menggemaskan.

"Kalau begitu, jangan beli dagangannya!". Anda mendahulukan peripersampahan, namun tidak berperikemanusiaan. 

***

"Beli dagangannya, tapi plastiknya kelola sendiri, jangan dibawa ke kampus (misalnya, ini misalnya, lho)," teriak lainnya.

Oke!. Pada saran di atas, saya komentari pendek: "Kampus itu tempat intelektual, dunia akademik yang diharapkan menciptakan solusi. Yakin mau lepas tanggung jawab dari permasalahan sosial?"

Pada jenis kampus apapun, fakultas apapun, jika mau menerima manfaat dari makanan, tapi tidak mau bertanggungjawab pada bungkus makanan (yang secara default berbungkus plastik), merupakan bentuk egoisme institusi. 

Selain egoisme institusi, juga bentuk egoisme intelektual. Kadar ke-intelektualnya tercerabut dari masalah-masalah sekitar. Egois, dan mementingkan dirinya sendiri.

Meminjam istilah Julien Benda, bisa saja dekat dengan sikap "pengkhianatan kaum cendikiawan/intelektual".

***

Plastik, antara dihilangkan atau dikurangi.

Menghilangkan plastik ada cara ekstrimnya: tutup pabrik plastiknya. Selesai! Solusi ini, tentu harus dibarengi dengan opsi lain pengganti plastik. Ilmuwan saintek peranannya di sini. Selain itu, tentu kemauan politik para pemegang kekuasaan.

Berbeda jika mengambil pilihan dikurangi. Tentu dengan strategi yang terukur, sistematis, bertanggungjawab, mendidik, adil dan beradab. Salah satunya dengan cara membuat sampah plastik bisa dimanfaatkan ulang. Ini juga tugas para ilmuwan saintek.

Pada proses perplastikan ini, tentu saja juga ada dampak atau risiko sosial. Di sinilah ilmuwan sosial berperan. Kondisi psiko sosial masyarakat harus diperhatikan. 

Jika ilmuwan saintek ikut campur teknis pada masalah sosio-psikologis, akan kacau. Demikian pula, ilmuwan sosial/psikologi ikut campur pada proses teknis penanganan plastik dari sisi saintek, juga akan kacau.

Kolaborasi itu penting, dan ada tertibnya. 

Jadi, mau mengurangi atau langsung menghilangkan? Ingat, para nabi saja gradual dalam berdakwah, dan itupun dilakukan dengan cara dialog dengan baik dan benar (wajadilhum billati hiya ahsan)

***

Plastik yang tak terpakai tetaplah sampah. Di manapun berada. Mendaku rumah anda bebas plastik, tapi anda memanfaatkan produk yang berbungkus plastik, kemudian meninggalkan plastik itu di luar rumah anda, maka klaim rumah bebas plastik itu hanya ilusi belaka. Fatamorgana.

Bahkan. Jika rumah anda bebas plastik, beli hanya makanan berbungkus daun, atau anda punya uang lebih sehingga mampu beli barang yang bungkusnya plastik daur ulang yang ramah lingkungan, dan serterusnya blablabla fufu fafa; tapi jika masih pakai listrik dari pembangkit batu bara, pakai mobil berbahan bakar fosil, ya sama saja.

Anda berbangga-bangga pada satu hal, tapi lupa pada hal lain. Anda masih parsial! Sama seperti yang lainnya, hanya pada kondisi yang berbeda, disebabkan oleh status sosial dan pendapatan. 


Penutup
Jika ditarik ke sejarah plastik, maka sebenarnya perubahan besar memang ditentukan para karya-karya para ilmuwan, para insinyur; namun temuan itu juga punya konsekuensi buruk sekian waktu kemudian. Jadi, ndak usah membangga-banggakan temuan. Biasa saja.

Khususnya tentang plastik, jangan sampai penanganan plastik (dan sampah pada umumnya) justru mengebiri nalar kemanusian dan keadaban, serta tidak berkeadilan. Sehingga justru memunculkan dan meningkatkan dampak sosial dan psikologis yang menjadi ikutan dari adanya penanganan sampah plastik. 

Sebagian besar manusia sepakat, bahwa plastik berpotensi menjadi sampah yang berbahaya bagi lingkungan dan masa depan alam. Tapi, ayolah kita berusaha adil.  Dengan tetap peduli pada alam dan lingkungan; para ilmuwan yang mendaku dirinya intelektual, juga semua pihak tentu harus paham kerangka besar ini. Bukan parsial.


Sekian

Sambisari, 5 Oktober 2024
16 sekian menit, sampai 17.03 WIB