Saya kenal roti ini saat harganya kisaran 200-250 rupiah per bungkus. Sebelum krisis moneter tahun 98, yang kemudian gonjang-ganjingnya membuat Pak Wo harus pergi ke Yordan. Saat itu, kebetulan ibu saya buka warung kelontong. Jadi saya tahu harganya.
Membeli dan makan roti sisir, bagi saya semacam membangkitkan memori masa lalu. Kenangan yang sangat sentimentil, dan begitu menyentuh perasaan. Roti ini merupakan roti yang harganya paling terjangkau dibanding roti sejenis lainnya. Jadi primadona. Saat makan, suasana yang tercipta mirip makan roti seperti di iklan tipi-tipi. Apalagi itu, ada menteganya. Wis lah. Ini roti sangat ramah dengan kantong warga saat itu.
Saya tak perlu ceritakan ditailnya. Rekan-rekan yang seusia dengan saya, kemungkinan besar pernah merasakannya.
****
Agaknya roti ini cocok jika dimakan sambil ngopi. Bisa bikin sendiri, atau beli di lantai 4 SGLC. Itu lho, yang kata /rif tinggal tunjuk sana dan tunjuk sini bagai seorang raja. Lalu dibikinkan. Satu menit setelahnya langsung jadi. Layanannya benar-benar prima, lebih prima dari Prima. Tapi ya tetap harus bayar. Ndak gratis.
Lebih masuk lagi jika dimakan bareng-bareng, setelah olah raga misalnya, di Jumat pagi. Sambil ngobrol ngalor ngidul, fufu fafa fifi fefe dan fofo. Mengobrolkan apapun. Tentang negara, tentang UKT, tentang macetnya jalanan kota, angsuran, pekerjaan, pilkada, harga-harga, dan semacamnya.
Atau tentang strategi-strategi menyelamatkan masa depan bumi dan lingkungan, yang kabarnya diambang bahaya. Apapun, lah. Bebas.
**
Kini, meski beda merk, roti sisir harganya Rp4000 per bungkus. Sekitar 16x lipat atau 1600% naiknya, dalam 26 tahun. Tentu saja, ada banyak pertimbangan hingga si produsen memasang harga segitu. Mungkin mahal, tapi untuk sebuah nostalgia rasa dan suasana, bisa jadi tidak mahal.
Namun demikian, semoga UU Cipta Kerja bisa berdampak pada penuruhan harganya. Atau mungkin distribusinya perlu pakai mobil Esemka, biar harganya dapat ditekan dan lebih terjangkau, khususnya bagi mahasiswa.
Oia, roti sisir ini saya beli di Teknik Mart. Lokasinya di dalam kampus. Dekat dan tentu saja bersahabat.
Yang ingin membangkitkan memori masa lalu yang sentimentil, bisa meluncur ke sana. Bisa bayar dengan cara apapun, uang pas, uang receh, atau uang tak kasat mata.
Salam plastik. Eh, Roti Sisir
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih, komentar akan kami moderasi