Saturday, 5 October 2024

Sampah Plastik dan Ujian Kemanusiaan Kita

Plastik (jenis tertentu) yang tak terpakai, menjadi momok menakutkan. Hantu yang selalu membayangi masa depan bumi dan lingkungan. Dia diklaim mampu bertahan ratusan tahun, tidak musnah. Tentu, hal ini menjadi ancaman bagi lingkungan.

Jika ditelisik sekian tahun lalu, plastik merupakan capaian gemilang dari teknologi. Mengutip Wikipedia, pada cantuman berjudul plastik, sejarah plastik dimulai pada 1862. Waktu berlalu, riset berkembang. Hingga pada 1974 perusahaan banyak yang menggunakan plastik untuk kebutuhannya. 

***

Namun siapa menduga, puluhan tahun kemudian (sejak 1974), plastik menjadi masalah besar. Utamanya jika dikaitkan dengan lingkungan, pencemaran, sampah, perubahan iklim, dan semacamnya.

Sama seperti sepeda motor, bensin, atau batu bara, yang pada awalnya juga merupakan temuan gemilang. Namun sekian dekade kemudian, menjadi masalah besar. Sepeda motor (dan juga mobil) erat dengan kemacetan, bensin erat dengan pencemaran, juga batu bara.

Bagaimana mengatasinya?

Berbagai produk di atas telah masuk ke berbagai lini kehidupan. Selain dampak buruknya, proses industrialisasinya menjadi sandaran ekonomi sekian ribu manusia. Rumit untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan.

Jika mau ekstrim, menghentikan dampak buruk harus dengan menghentikan produksi bahan bakar fosil, hentikan penggunaan batu bara, stop produksi kendaraan bermotor (pribadi) dan beralih ke kendaraan massal. 

Tapi apa berani? Ndak. Sampai saat ini tidak. Dampak sosialnya tinggi.

Kemacetan misalnya. Bukan hanya tentang tabiat manusia dalam menggunakan sepeda motor, namun populasi sepeda motor itu sendiri. Populasi ini terkait dengan industri yang mengejar produksi untuk menjaga kesehatan perusahaan, dan menopang sekian ribu karyawannya. Apalagi sekarang malah tambah kendaraan listrik. Yang punya kendaraan listrik, kemungkinan telah punya kendaraan konvensional sebelumnya. 

Bayangkah! Sak adeg gabreg.
Tidak sederhana, Ferguso!

***

Kembali ke plastik. Jika meniru hal di atas, maka solusi masalah platik ya... tutup pabrik plastik. Selesai.

Tapi perlu diingat, plastik juga tidak berdiri sendiri. Namun, meskipun sama-sama tidak berdiri sendiri, plastik punya kaitan erat dengan kehidupan masyarakat bawah.

Jika kita pernah berhenti sejenak di pinggir jalan raya, niscaya akan bertemu dengan sekian penjaja makanan kecil. Mulai dari gipang, kripik telo, kripik pisang, kripik tempe, dan semacamnya. Dagangan itu dibungkus plastik.

Plastik saudara-saudara! Bukan daun pisang atau daun jati. 

Nek dibungkus godong jati, yo mlempem, dul!

Inilah yang saya sebut, bahwa plastik dekat dengan masyarakat bawah. Mereka membawa potensi sampah. Tapi mereka tidak berdaya. Mereka harus menyambung hidupnya. Tak ada opsi lain selain plastik, yang terjangkau modal dan mampu menjaga kualitas dagangannya. Ya, dari juragan mereka sudah seperti itu. 

Lalu, apakah yang harus kita lakukan?

"Beli dagangannya, tapi jangan ambil plastiknya!" Jadi, kita beli kripik, kita masukkan ke wadah yang kita bawa. Lalu plastik wadahnya kita kembalikan lagi ke simbah-simbah yang jualan itu. "Mbah, plastinya kula kondorke, njih". Begitu?

Anda pasti bercanda. Tanpa saya menjelaskan panjang lebar, pasti anda yang waras tidak akan tega melakukannya. 

Plastik yang tak terpakai tetaplah sampah. Di manapun berada.  Dan (pada contoh di atas) anda memberikan sampah itu pada orang yang kemungkinan besar tidak tahu bagaimana mengolah sampah. Itu tindakan lucu dan tentu saja menggemaskan.

"Kalau begitu, jangan beli dagangannya!". Anda mendahulukan peripersampahan, namun tidak berperikemanusiaan. 

***

"Beli dagangannya, tapi plastiknya kelola sendiri, jangan dibawa ke kampus (misalnya, ini misalnya, lho)," teriak lainnya.

Oke!. Pada saran di atas, saya komentari pendek: "Kampus itu tempat intelektual, dunia akademik yang diharapkan menciptakan solusi. Yakin mau lepas tanggung jawab dari permasalahan sosial?"

Pada jenis kampus apapun, fakultas apapun, jika mau menerima manfaat dari makanan, tapi tidak mau bertanggungjawab pada bungkus makanan (yang secara default berbungkus plastik), merupakan bentuk egoisme institusi. 

Selain egoisme institusi, juga bentuk egoisme intelektual. Kadar ke-intelektualnya tercerabut dari masalah-masalah sekitar. Egois, dan mementingkan dirinya sendiri.

Meminjam istilah Julien Benda, bisa saja dekat dengan sikap "pengkhianatan kaum cendikiawan/intelektual".

***

Plastik, antara dihilangkan atau dikurangi.

Menghilangkan plastik ada cara ekstrimnya: tutup pabrik plastiknya. Selesai! Solusi ini, tentu harus dibarengi dengan opsi lain pengganti plastik. Ilmuwan saintek peranannya di sini. Selain itu, tentu kemauan politik para pemegang kekuasaan.

Berbeda jika mengambil pilihan dikurangi. Tentu dengan strategi yang terukur, sistematis, bertanggungjawab, mendidik, adil dan beradab. Salah satunya dengan cara membuat sampah plastik bisa dimanfaatkan ulang. Ini juga tugas para ilmuwan saintek.

Pada proses perplastikan ini, tentu saja juga ada dampak atau risiko sosial. Di sinilah ilmuwan sosial berperan. Kondisi psiko sosial masyarakat harus diperhatikan. 

Jika ilmuwan saintek ikut campur teknis pada masalah sosio-psikologis, akan kacau. Demikian pula, ilmuwan sosial/psikologi ikut campur pada proses teknis penanganan plastik dari sisi saintek, juga akan kacau.

Kolaborasi itu penting, dan ada tertibnya. 

Jadi, mau mengurangi atau langsung menghilangkan? Ingat, para nabi saja gradual dalam berdakwah, dan itupun dilakukan dengan cara dialog dengan baik dan benar (wajadilhum billati hiya ahsan)

***

Plastik yang tak terpakai tetaplah sampah. Di manapun berada. Mendaku rumah anda bebas plastik, tapi anda memanfaatkan produk yang berbungkus plastik, kemudian meninggalkan plastik itu di luar rumah anda, maka klaim rumah bebas plastik itu hanya ilusi belaka. Fatamorgana.

Bahkan. Jika rumah anda bebas plastik, beli hanya makanan berbungkus daun, atau anda punya uang lebih sehingga mampu beli barang yang bungkusnya plastik daur ulang yang ramah lingkungan, dan serterusnya blablabla fufu fafa; tapi jika masih pakai listrik dari pembangkit batu bara, pakai mobil berbahan bakar fosil, ya sama saja.

Anda berbangga-bangga pada satu hal, tapi lupa pada hal lain. Anda masih parsial! Sama seperti yang lainnya, hanya pada kondisi yang berbeda, disebabkan oleh status sosial dan pendapatan. 


Penutup
Jika ditarik ke sejarah plastik, maka sebenarnya perubahan besar memang ditentukan para karya-karya para ilmuwan, para insinyur; namun temuan itu juga punya konsekuensi buruk sekian waktu kemudian. Jadi, ndak usah membangga-banggakan temuan. Biasa saja.

Khususnya tentang plastik, jangan sampai penanganan plastik (dan sampah pada umumnya) justru mengebiri nalar kemanusian dan keadaban, serta tidak berkeadilan. Sehingga justru memunculkan dan meningkatkan dampak sosial dan psikologis yang menjadi ikutan dari adanya penanganan sampah plastik. 

Sebagian besar manusia sepakat, bahwa plastik berpotensi menjadi sampah yang berbahaya bagi lingkungan dan masa depan alam. Tapi, ayolah kita berusaha adil.  Dengan tetap peduli pada alam dan lingkungan; para ilmuwan yang mendaku dirinya intelektual, juga semua pihak tentu harus paham kerangka besar ini. Bukan parsial.


Sekian

Sambisari, 5 Oktober 2024
16 sekian menit, sampai 17.03 WIB

Share:

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi