“Pengorganisasian informasi dan ilmu pengetahuan merupakan aktivitas ideologis”
(Ziauddin Sardar)
note: ini perenungan pribadi saya, belum tentu sama dengan pendapat para ilmuwan perpustakaan.
Sumber gambar klik |
Purwo.co - Saat ini, kita mengenal beberapa skema klasifikasi yang menghegemoni dunia kepustakawanan. Kita kenal UDC alias Universal Decimal Classification, DDC alias Dewey Decimal Classification. Kemudian LC atau library congres classification. Skema klasifikasi ini digunakan untuk menentukan nomor atau kode klasifikasi, sebagai wakil koleksi. Wakil berupa kode inilah yang menjadi dasar koleksi disusun, agar memudahkan pustakawan dan pemustaka menemukan.
Skema-skema di atas, dengan berbagai aturan di dalamnya, ditafsirkan oleh pustakawan atas sebuah judul koleksi (dan subyeknya), yang akhirnya menghasilkan kode. Kadang, kode ditemukan dengan mudah, kadang lumayan sulit, kadang sulit sekali. Pengetahuan pustakawan atas semesta ilmu pengetahuan, menjadi salah satu sebab ditentukannya sebuah kode, dan mempengaruhi sulit tidaknya kode klass ditentukan. Kadang pula, ada koleksi yang tidak ditemukan kodenya. Di UDC, atau DDC, misalnya.
Pengembangan skema klasifikasi, sebuah keniscayaan
Kode yang sulit ditemukan, misalnya ketika membuka kelas 297 di DDC, pada bidang ilmu terkait agama Islam. Islam, yang memiliki kajian yang begitu luas, tidak bisa diwakili oleh klasifikasi yang diberikan pada skema tersebut. “Sistem klasifikasi saat ini, kurang memadai untuk bidang pengetahuan Islam”. [1] Oleh karena itu, maka para cerdik cendikia mengembangkan skema perluasan dari kelas 297 tersebut.
Pengembangan tersebut, menjadi bukti pada dirinya sendiri, bahwa skema klasifikasi bukanlah skema sakral yang tidak bisa diubah, bukan tidak bisa dikembangkan oleh orang selain si penyusunnya. Bahkah, dibuat skema baru pun, tidak masalah.
Klasifikasi hasil perluasan ini, akhirnya diajarkan pada pendidikan pustakawan, yang menjadikan penetrasi penggunaannya semakin luas. Terutama pada perpustakaan Islam yang memiliki koleksi bidang Islam dalam jumlah banyak dan beragam, maka penggunaan klasifikasi perluasan 2 X ini jamak dilakukan.
Prinsip dasar: mudah ditemukan
“Yang paling penting, koleksi mudah ditemukan kembali oleh pemustaka dan pustakawan. Serta dikembalikan pada tempat semula, yang sama seperti tempat sebelumnya diambil”. Kalimat tersebut, saya dengar ketika saya belajar ilmu perpustakaan, dianggap sebagai kunci dasar dalam proses klasifikasi. Anggapan ini, mungkin juga yang menggiring pengelola perpustakaan yang belum pernah menerima pendidikan klasifikasi, atau kursus kepustakawanan untuk bertindak kreatif membuat klasifikasi sendiri sejauh pemahaman mereka pada kebutuhan yang ada dihadapannya.
Warna, tinggi buku, jenis buku, misalnya, menjadi contoh pertimbangan kreatif dalam mengelompokkan buku-buku di perpustakaan. Atau mungkin membuat kode sendiri sesuai kebutuhan. A untuk buku kelas 1, B untuk buku kelas 2, C untuk buku kelas 3, dan seterusnya. Warna kuning untuk buku cerita, hijau untuk buku sejarah, dan seterusnya. Ide dasarnya sama, koleksi mudah ditemukan dan disusun kembali pada tempat yang tepat, sehingga orang lain dapat pula menemukannya dengan mudah.
Apakah hal tersebut salah? Menurut saya, tidak.
Skema klasifikasi, bukanlah ayat suci yang tidak bisa berubah. Bahkan, laiknya ayat suci yang punya tafsir, tafsir atas skema klasifikasi pun bisa berbeda(beda).
Kenyataan di lapangan
Di lapangan, kerap kita temukan judul buku yang sama, ada di dua perpustakaan yang berbeda, ditentukan kelasnya menggunakan skema klasifikasi yang sama, namun hasilnya berbeda. Bahkan, di perpustakaan yang sama, namun oleh pustakawan yang berbeda pun, bisa berbeda.
Apakah ini wajar?
Perbedaan bisa perbedaan kecil, atau beda jauh. Hanya sekedar angka setelah titik, atau bahkan angka utamanya pun sudah berbeda.
Orang yang melakukan klasifikasi, dipengaruhi oleh pengetahuan/keterampilan analisis klasifikasi, subyek, dan keterampilan menentukan/membaca skema klasifikasi. Bahkan, jika pengetahuan dua orang yang melakukan klasifikasi hampir sama, namun memiliki pandangan beragam pada semesta ilmu pengetahuan, akan membedakan hasil klasifikasinya.
Maka, perbedaan hasil klasifikasi adalah hal yang wajar. Namun, apakah ini normal?
Jika si pengklasifikasi telah bersungguh-sungguh (tidak main-main) melakukan klasifikasi, sesuai keterampilannya, namun ternyata ideologi mengantarkan hasil klasifikasi yang berbeda, maka menurut saya itu wajar dan normal. Bahkan, ketika di pengklasifikasi membuat klasifikasi sendiri, berbeda dengan skema klasifikasi arus utama yang digunakan, dengan catatan dia bertanggungjawab penuh pada skema yang dia buat untuk perpustakaannya tersebut, maka menurut saya itu normal dan wajar.
1 + 1 pun, belum tentu 2. Tergantung, 1 sebagai bilangan desimal, atau biner
Hasil klasifikasi yang berbeda, dan juga model skema buatan sendiri tersebut adalah wujud dari kemandirian seorang pustakawan, kemerdekaan berfikir seorang pustakawan yang tidak dihegemoni oleh aturan-aturan yang dikembangkan di luar perpustakaannya.
Ketika 297 bisa dikembangkan menjadi 2 X, kenapa pustakawan, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab pada perpustakaan yang dikelolanya, tidak boleh berbeda dalam membuat klasifikasi, bahkan tidak boleh membuat klasifikasi sendiri?
Perbedaan skema, dan hasil dari klasifikasi, adalah hasil dari proses diri seorang pustakawan. Penghargaan atas hasil tersebut, adalah wujud penghargaan pada pluralitas proses masing-masing pustakawan.
Perbedaan hasil klasifikasi, bukanlah sebuah kesalahan, melainkan keunikan. Dia adalah kebenaran dalam bentuknya yang berbeda dengan yang lainnya.
Kalau perbedaan hasil penentuan klass tetap dianggap sebuah kesalahan, maka itu justru menunjukkan kelemahan skema klasifikasi yang ada sekarang ini.
Standard adalah alat yang digunakan (DDC/UDC), namun hasilnya tidak harus sama.
Tanah sambisari,
hari ke tiga belas, bulan tujuh, tahun dua ribu tuju belas.
lima, lebih lima satu pagi
----------------------------------------
[1] lihat “Daftar Tajuk Subyek dan Sistem Klasifikasi Islam: adaptasi dan perluasan DDC seksi Islam”, bagian pengantar (iii) dan pendahuluan (117)
Baca juga:
Iya ya mas...kalo dipraktek terutama di golongan agama islam, pedoman yang digunakan juga bermacam-macam. untuk perguruan tinggi islam berpedoman kpd kementrian agama dengan 2x, sementara Perpusnas RI mengeluarkan pedoman klasisikasi untuk subyek agama islam sedangkan OCLC mengeluarkan DDC dengan Nomor klasifikasi yang berbeda juga. Jadi Bingung??? harus duduk bersama kayaknya...
ReplyDeletemonggo, Pak.
DeleteKalau saya (sampai saat ini), ya biarlah memilih atau membuat sendiri pun tidak apa.
lha yo bener iku, sing penting tujuan utamane tercapai. banyak jalan menuju Jogja ��
ReplyDeletenuwun mas Ano
Deletemantap artikelnya gan... maka dari itu dalam e-class kami sediakan bnyk pilihan02 unt classifier, misal agama islam diberi pilihan unt menggunakan 297 versi DDC 23, 297 PNRI, atau 2X. demikian juga bahasa Indonesia diberi pilihan unt menggunakan nomor dasar bawaan 499.221 atau menggunakan nomor option 410, terus sastra Indonesia dapat menggunakan nomor dasar 899.221 atau nomor option 810. cmiiw
ReplyDelete