Namun, seksinya sertifikat itu ternyata juga membuat kepala pening.
“Sebel saya kalau pas presentasi ada yang tanya: link sertifikatnya mana?”, kata Dr. Ciprut, dosen tersohor di kampusnya. Pertanyaan tentang sertifikat itu sebenarnya hanya di ruang obrolan pertemuan maya, namun tetap saja mengganggu. Bagaimana tidak, wong saat seminar luring ndak pernah ada peserta yang angkat tangan tanya sertifikat. Apalagi, Dr. Ciprut merupakan dosen senior, mana ada yang berani. Tentu ini perubahan yang ekstrim.
Sama meski tidak persis, dengan yang dialami Dr. Kuprit. URL presensi seminar yang dikelolanya tersebar di berbagai grup WA. Presensi itu jadi dasar pembuatan sertifikat. Efeknya bisa ditebak. Banyak yang tidak hadir, namun mengisi presensi. Karena presensi ini diset otomatis ke sistem sertifikat, maka banyak gundul-gundul yang tidak hadir, tapi dapat sertifikat. Sindikat yang luar biasa, sistematis, masif dan terencana. Sekaligus mencermintakan solidaritas yang tinggi. Top. Tapi tetap bikin pening.
“Lha, kok ya URL presensi disebar di grup WA. Harusnya kan hanya boleh di ruang seminar saja,” kata Dr. Kuprit sambil tertawa. Ngakak. Geli campur sedih. Mungkin juga marah. Karena geli, sedih, juga marah itu mungkin wajah inteleknya jadi berubah: imut dan lucu.
**********
Sore itu sehabis Magriban, Paijo makan malam bersama istrinya. Lesehan saja di rumah, dengan menu sebungkus nasi goreng ukuran jumbo.
Setelah acara makan bersama itu selesai, Paijo membuka obrolan. “Saya ndak habis pikir, Bu,” ucap Paijo. “Ada dosen yang marah-marah, gara-gara waktu presentasi di seminar online, pesertanya malah tanya link sertifikat,” lanjutnya.
“Ya wajar, tho,” istrinya menjawab. Pendek saja.
Paijo heran, kenapa jawaban istrinya cuma sependek itu. Malah dianggap wajar. “Ya wajar, wong tanyanya pas sedang presentasi, jadinya ya terganggu,” imbuh istri Paijo sebelum ditanya.
“Lho, ya ndak bisa begitu. Mosok yang disalahkan selalu pesertanya,” tanggap Paijo.
“Harusnya dosen itu juga introspeksi diri, bertanya pada dirinya sendiri tentang materi yang dia bawakan, mungkin tidak menarik. Atau mungkin peserta sudah bosan, dan semacamnya. Sebagai sesama pustakawan, jelas aku merasa tersinggung juga” tambah Paijo.
“Bentar, Kang. Itu jane dosen apa dan siapa pesertanya?”, tanya Istri Paijo.
“Yang presentasi dosen (ilmu) perpustakaan, pesertanya para pustakawan,” jawab Paijo.
“Wo. Pantes saja, kang,” kata istri Paijo sambil mberesi piring.
“Lho, pantas bagaimana tho, Bu?”, tanya Paijo.
“Itu sudah kodrat, Kang. Pustakawan itu yang memang mungkin levelnya baru segitu. Nyari sertifikat. Kudune dosen-dosen itu sadar juga, bahwa itulah realita dari para produknya sendiri, yang tentu saja mencerminkan kualitas produsennya. Wong dosen juga demikian. Sama saja, kok,” ungkap Istri Paijo.
“Memangnya dosen ilmu perpustakaan juga pada cari sertifikat?”, Paijo heran sambil bertanya.
“Iya. Tapi bentuknya beda. Kalau pustakawan itu kesempatannya ya berburu sertifikat, namun kalau dosen (ilmu) perpustakaan memburu sertifikat (si) + tunjangannya,” tegas Istri Paijo sambil membuka kran, lalu sibuk mencuci piring.
Paijo mlongo. Dia sadar. Ternyata memang sama saja. Podho wae. Ora bedo. Tidak pada rumangsa.
Inilah masa, ketika sertifikat bukan menjadi bukti kualitas seseorang "setelah", namun menjadi penarik seseorang "sebelum" sebuah acara dimulai.
[[ tamat ]]
Sumber gambar: pixabay
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih, komentar akan kami moderasi