Karto: "kowe nulis opo, Jo. Kok series temen?"
Paijo: "Inpassing, To. Menengo wae, iki tulisan seneng-seneng. Ojo lali bergembira, lan sik penting madhiang"
Jumlah tenaga fungsional umum, menurut slide ke-6 dari presentasi dari Perpusnas RI ada 37,68% atau sekitar 1,68 juta (sumber: http://www.pdii.lipi.go.id/materi-sosialisasi-inpassing-pustakawan-lipi-2017/). Pada keterangan slide ditulis, banyaknya tenaga JFU ini perlu dialihkan jabatan fungsional teknis, tentunya bagi yang memenuhi syarat. Ditambah kenyataan sulitnya mengangkat pustakawan baru, dijadikan alasan inpassing, khususnya ke tenaga pustakawan.
Karena saya
tidak ada akses ke data, maka saya tidak dapat mengomentarinya.
Untuk kategori terampil, syarat inpassing minimal SLTA, paling rendah II/b, punya pengalaman bekeja di perpustakaan minimal 2 tahun, lolos uji kompetensi, dan memiliki minimal nilai BAIK dalam satu tahun terakhir. Untuk kategori keahlian, minimal S1, golongan III/a. Syarat lainnya sama dengan kategori terampil. Inpassing, tentunya dengan berbagai syaratnya, harus diketahui oleh para pustakawan, calon pustakawan, bahkan calon mahasiswa ilmu perpustakaan.
Isu penting
Ada dua isu
terkait inpassing. Pertama kesempatan kerja, yang kedua keluaran inpassing. Eh,
ada satu lagi, “harga diri pustakawan”.
Inpassing,
karena ini terkait PNS institusi pemerintah maka akan heboh terutama ketika terjadi
di institusi pemerintah. Jika terjadinya di lingkungan swasta, intensitas
kehebohan akan lebih kecil, bahkan tidak ada. Di swasta, ya suka-suka yang
punya, dong. Mau alumni teknik, atau MIPA, karena sesuatu hal ditempatkan di
perpustakaan, ya kewenangan pemilik dan pimpinannya.
Lain halnya
jika itu terjadi di instansi negara. Heboh, pastinya. Kenapa? Karena mestinya
kebijakan negara saling mendukung. Jika ada alumni ilmu perpustakaan dicetak
oleh perguruan tinggi, maka mestinya juga diserap di lingkungan kerja yang
sesuai. Lah, kalau institusi yang seharusnya menyerap alumni ilmu perpustakaan
justru menaikjabatan-kan staf non ilmu perpustakaan, lah namanya ngoyo woro,
tho? Alias mengurangi kesempatan kerja para alumni ilmu perpustakaan.
Output dari
inpassing, menjadi isu kedua. Intinya: diragukan. “Aku kuliah patang tahun,
bijine ya pas-pasan, kok sampeyan yang cukup bekerja di perpus rong tahun, iso
dadi pustakawan?”. Begitulah kira-kira. Selorohan selanjutnya, “nek ngono, tak
kursus wae, apa magang nang perpus rong tahun, ben dadi pustakawan”. Begitu
katanya, itupun kira-kira saya.
Pendapat saya
Isu ketiga
tentang harga diri pustakawan. Saya tidak tahu banyak tentang ini. Tentunya,
penilaiannya akan beragam. Saya sendiri merasa, jika syarat minimal inpassing
telah ditetapkan, berarti untuk jadi pustakawan (dari pandangan para pengambil
kebijakan), cukup dengan syarat inpassing tersebut. Lalu apa gunanya kuliah
ilmu perpustakaan?
Terkait isu
output dari inpassing yang diragukan, menurut saya iya. Tentunya kualitas akan
diragukan, namun juga tidak serta merta semua diragukan. Saya punya kawan, yang
mengelola perpus karena pengalaman dan mengikuti pelatihan. Hasilnya, bagus
menurut standard atau kebutuhan minimal institusi tersebut.
Sejauh mana
pengambil kebijakan inpassing mampu menjamin kualitas minimal, dan bagaimana
menjaga agar tetap berkualitas?
Isu
lapangan kerja. Ini isu sensitif. Lapangan kerja, akan menjadi sensitive jika ada
dua orang atau lebih yang merasa berhak atas sebuah pekerjaan. Jika satu pihak merasa berhak,
dan satunya tidak berhak, maka akan baik-baik saja. Nah…
Kapan terjadi minimal dua pihak sama-sama merasa
berhak, pada kasus inpassing ini?
Orang
dengan JFU yang ingin pindah ke pustakawan di satu pihak (pertama). Pihak
lainnya adalah alumni ilmu perpustakaan yang sudah lulus maupun belum lulus.
Menurut
saya, biarkan saja pihak pertama. Lah mau digimanakan? Fokus saja pada pihak
kedua. Pihak kedua diajak berfikir, bahwa hidup ini tidak sekedar pustakawan.
Kuliah bukan sekedar untuk kerja, namun untuk mendapatkan “adab”. Masalah
kerja, itu tidak harus jadi pustakawan. Banyak cara rejeki itu datang. “ojo
kalah karo pitik”. Lembaga pendidikan ilmu perpustakaan juga jangan
mengiming-imingi lapangan kerja pustakawan pada berbagai perpustakaan yang
begitu luas, hanya karena belum tersedianya staf berlatar belakang ilmu perpustakaan
pada sekolah atau berbagai institusi.
Fokus
berikutnya, pada calon yang akan menjadi pihak kedua, yaitu alumni SMA/SMK
tentang pilihannya pada jurusan ilmu perpustakaan. Sampaikan realita
“perebutan” lahan kerja perpustakaan di Indonesia melalui inpassing ini, agar
mereka tidak salah pilih, atau jika memilih, dilakukan secara sadar. Bukan
karena iming-iming potensi kebutuhan pustakawan yang disodorkan oleh perguruan
tinggi, sekedar untuk menggaet para calon pustakawan.
Di mana titik tekan yang harus diperhatikan?
Yang tertulis pada paragraph di atas, hanya sekelumit informasi pada slide tentang inpassing yang disampaikan salah satu pejabat perpusnas. Pustakawan atau calon pustakawan perlu meningkatkan kemampuan melihat sekeliling, siapakah yang berpotensi ikut inpassing, bagaimana peluangnya, dan apa efeknya bagi pustakawan atau calon pustakawan.
Kemampuan melihat kondisi sekeliling menjadi penting. Siapa tahu, lingkungan sekolah atau instansi di sekeliling anda banyak tenaga fungsional umum yang tertarik menjadi pustakawan. Jika demikian, maka anda pantas gigit jari, jangan terlalu berharap mendapatkan status pustakawan pada instansi tersebut.
Karto: "cara melihat sekeliling, itu gimana, Jo?"Paijo: "ya, di analisis, ditanyakan, ono ora sik ngebet pindah fungsional pustakawan. Ngono, To."
Atau, jika anda siswa MA, maka anda perlu berfikir ulang untuk masuk di jurusan ilmu perpustakaan. Kecuali, anda tidak terlalu berharap bekerja di perpustakaan (negeri); atau tujuan kuliah anda bukan untuk menjadi pustakawan lembaga negara.
Masalah rejeki, sudah di atur. Tentang kebijakan, pengambil kebijakan akan mempertanggung jawabkannya.
#hati-hati
memilih jurusan perpustakaan
#pastikan bergembira
#singpentingmadhiang
yang lulus tinngkat SLTA DISYARATKAN WAJIB sekolah minimal D II PERPUSTAKAAN
ReplyDelete