Banyak sekali jumlah perpustakaan di Indonesia. Khusus perpustakaan perguruan tinggi, ada 800-an lebih [1]. Nah, dari sekian banyak ini, mana yang paling menarik? Tentu, bagi masing-masing orang akan berbeda-beda, karena pengalaman dan cara memandangnya pun berbeda.
Perpustakaan yang “lebih dari sekedar perpustakaan”, akan lebih terlihat jika dipandang dari sisi pemustaka. Berikut adalah kisah singkat perjalanan virtual saya sebagai pemustaka, berdasarkan informasi yang saya peroleh selama ini tentang Pustaka Unsyiah.
Poltak: “Unsyiah itu di mana tho, Jo?”
Paijo: “Di Nangroe Aceh Darussalam, Bro.”
##########
Saya mengenal Pustaka Unsyiah dari internet, serta melalui diskusi dengan Pak Taufiq Abdulgani selaku Kepala Perpustakaan Unsyiah. Saya pernah bertemu beliau pada beberapa acara kepustakawanan. Saya belum pernah datang berkunjung ke Pustaka Unsyiah, bahkan ke Aceh, ataupun ke bumi swarnadwipa.
Namun, pagi ini saya punya rencana, saya hendak berkunjung ke Pustaka Unsyiah. Sebuah perpustakaan perguruan tinggi, yang berdiri sejak 1970 di propinsi ujung Sumatra. Perjalanan pun saya mulai dan nikmati, sampai akhirnya saya tiba di depan bangunan Pustaka Unsyiah. Gedung tiga lantai, bercat putih, yang terlihat begitu kokoh,
Memasuki gedung Pustaka Unsyiah, rasa nyaman dan hangat telah mulai terasa. Kesan ramah dan bersahabat ditawarkan oleh petugas bagian front-office. Tidak jarang, kita juga akan disambut mahasiswa-mahasiswi paruh waktu yang telah dididik dengan berbagai pelatihan pelayanan. Wajah mereka khas, ramah dan tidak membosankan. Hal ini wajar dan tidak perlu diragukan. Kabarnya, mereka adalah mahasiswa pilihan, dari sekian banyak mahasiswa yang berbondong-bondong mengajukan diri menjadi tenaga paruh waktu di perpustakaan, mereka lah yang lolos seleksi. Luar biasa. Dari kesan awal ini, terasa sekali manfaat perpustakaan bagi mahasiswa.
Sebelum masuk di area koleksi, saya dihadapkan pada pintu yang terpasang presensi elektronik. Pemustaka tidak lagi menulis manual bukti kehadirannya, namun cukup mendekatkan kartu anggotanya di mesin presensi. Alat ini seolah ingin mengatakan, bahwa meski perpustakaan ini berada di ujung Sumatra, namun tidak kalah dari sisi teknologi. Ide dan keberanian implementasi pengelola Pustaka Unsyiah dari aspek teknologi, menghadirkan pengalaman menarik bagi pemustaka.
Mahasiswa antri mengular untuk masuk di perpustakaan. Namun, dari apa yang mereka bawa, terasa ada yang aneh. Setelah saya cermati, ternyata tas. Ya!, mahasiswa masuk perpustakaan diizinkan membawa tas. Apakah saling percaya pada semua elemen di perpustakaan hendak dibangun (dan ditunjukkan) dengan (salah satunya) izin boleh membawa tas masuk di perpustakaan?. Aneh? Risiko? Kejujuran? Kehilangan? Tentunya itu yang ada dibenak saya.
http://library.unsyiah.ac.id/g |
Ketika masuk di ruang perpustakaan, saya dihadapkan pada pemandangan yang luar biasa. Mulai dari banyaknya mahasiswa yang beraktivitas di meja ruang sirkulasi, dan di antara rak buku serta koleksi yang berjajar rapi. Tampilan rak terlihat minimalis, namun menghadirkan informasi lengkap tentang koleksi yang dimuatnya, mulai dari subyek dan nomor kelasnya. Jangan salah! Buku berjajar rapi, bukan karena jarang digunakan. Namun, ternyata karena Pustaka Unsyiah memiliki pasukan mahasiswa shelving (penataan buku) yang akan menjaga kerapihan koleksi.
Saya melanjutkan berkeliling. Sampai lah saya, di berbagai ruang yang berdesain unik, penuh mahasiswa yang belajar sambil duduk, diskusi, menggambar di meja, yang bisa mereka ubah posisi meja tersebut sesuai keinginan. Duduk di sofa, atau lesehan santai sambil diskusi, adalah pemandangan rutin di tiap harinya. Sesekali pustakawan terlihat berkeliling, memastikan pemustaka benar-benar mendapatkan apa yang mereka butuhkan di perpustakaan.
Pengalaman saya sampai di beberapa ruang tersebut, telah cukup membuat saya takjub pada Pustaka Unsyiah. Perjalanan tetap saya lanjutkan.
##########
Tampak, di bagian lain pustaka, mahasiswa berbondong-bondong menenteng laptop, masuk ke sebuah ruangan. Pustakawan dengan sigap mengatur dan mengarahkan tempat duduk mahasiswa. Sejurus kemudian, mahasiswa telah siap di kursi masing-masing, lengkap dengan laptop yang siap digunakan. Di depan, layar dan laptop pemateri telah terpasang siap digunakan, lengkap dengan alat pelantang suara. Ternyata, ada kelas literasi informasi (LI), demikian informasi yang saya dapatkan dari pustakawan.
UnsyiahLib MobileApp |
##########
http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2016/02/IMG_4270.jpg |
RE ini tidak dilakukan seharian, jadi jangan khawatir mengganggu kegiatan belajar. Justu mahasiswa tampak menunggu, hiburan apa yang akan ditawarkan di acara RE pada pekan berikutnya.
Saya kembali ke rak koleksi di ruang sirkulasi, berniat menyempatkan membuka buku koleksi dan membaca beberapa halaman. Siapa tahu, bisa kenalan dengan mahasiswa Unsyiah, atau malah mahasiswinya...
Terlihat, di salah satu meja, ada mahasiswa yang tampak sendirian. Saya pun menghampirinya. "Ah, mahasiswa pun tak apa, semoga bisa mendapat informasi darinya.", saya bergumam. Dan kami pun mengobrol dengan volume suara yang tetap terkontrol agar tidak mengganggu pemustaka lainnya.
Terlihat, di salah satu meja, ada mahasiswa yang tampak sendirian. Saya pun menghampirinya. "Ah, mahasiswa pun tak apa, semoga bisa mendapat informasi darinya.", saya bergumam. Dan kami pun mengobrol dengan volume suara yang tetap terkontrol agar tidak mengganggu pemustaka lainnya.
“Wah, asyik mas di perpustakaan, fasilitasnya lengkap, modern, canggih. Bisa akses dari smartphone pula”, seloroh mahasiswa tersebut ketika saya tanya pendapatnya tentang perpustakaan, sambil menunjukkan telepon pintar (smartphone) miliknya yang telah terpasang aplikasi UILIS Mobile Library. Mahasiswa ini ramah, dan terkesan sangat bangga dengan perpustakaannya. “Ikuti saya mas”. Dia meminta saya mengikutinya. Sambil membawa beberapa buku yang sebelumnya dia baca, menuju ke bagian depan ruang sirkulasi. Agaknya dia telah lama di ruang ini untuk mencari koleksi yang dia butuhkan.
Di antrian yang mengular menuju ke sebuah kotak setinggi kira-kira 1.5 meter, dia berhenti. Saya tetap mengikutinya. Sampailah gilirannya di depan kotak tersebut, saya tetap mengikuti di belakangnya. Dia terlihat menyentuh layar model touchscreen, meletakkan buku di kotak kemudian mengambilnya lagi, lalu menenteng buku itu keluar antrian. Saya mencermati apa yang dia lakukan sampai selesai. Dia lakukan sendiri, tanpa bantuan pustakawan. Jelas! dia telah terbiasa melakukannya.
“Saya tadi meminjam buku, Mas. Meminjam secara mandiri pakai alat tersebut. Cepat,
dan mudah. Kata pengelola, itu pakai RFID dengan software SLiMS. Gratis softwarenya, Mas. Kemudian perpustakaan mengembangkannya sesuai kebutuhan”.
Dia begitu bersemangat bercerita kepada saya.
“Pengembangan SliMS berikutnya, dilakukan sendiri, kadang dengan mahasiswa. Bagi mahasiswa Unsyiah juga bisa sebagai tugas akhir. Sehingga mahasiswa mudah dalam mencari tema TA, sementara perpustakaan juga mendapat manfaatnya. Anggaran software pun bisa ditekan.”. Dari cerita mahasiswa ini, agaknya dia banyak tahu tentang perpustakaan, dan tahu apa saja yang ditawarkan perpustakaan untuk mahasiswa.
http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/IMG_0503.jpg |
Dia begitu bersemangat bercerita kepada saya.
“Pengembangan SliMS berikutnya, dilakukan sendiri, kadang dengan mahasiswa. Bagi mahasiswa Unsyiah juga bisa sebagai tugas akhir. Sehingga mahasiswa mudah dalam mencari tema TA, sementara perpustakaan juga mendapat manfaatnya. Anggaran software pun bisa ditekan.”. Dari cerita mahasiswa ini, agaknya dia banyak tahu tentang perpustakaan, dan tahu apa saja yang ditawarkan perpustakaan untuk mahasiswa.
Hmmm, di ujung Indonesia ada perpustakaan secanggih ini. Pengalaman yang ditawarkan kepada pemustaka, sungguh di atas rata-rata.
Saya mendengar kabar, bahwa pengelola berhasil meyakinkan pimpinan untuk mewujudkan idealisme pengelolaan perpustakaan, sekaligus mendobrak dinding tebal kejumudan perpustakaan. Salah satunya adalah model bisnis Google Adsense dari repository Unsyiah. Dalam hal ini, perpustakaan telah berhasil mendobrak pandangan perpustakaan yang cost center, dan membuktikan bahwa perpustakaan juga bisa menghasilkan pendapatan. [2]
##########
Saya masih mengikuti langkah kaki mahasiswa yang baru saja saya jumpa di ruang sirkulasi itu. Kali ini dia menuju ke sebuah kerumunan di sebuah sudut perpustakaan. “Café?”. Tak sadar mulut saya mengucapkannya. “Iya, mas. Ini semacam café, ya memang café, sih”, si mahasiswa mulai menjelaskan seputar cafe tersebut, tanpa saya minta. Ternyata, perpustakaan ini memiliki café yang dikelola secara rapi, bersih dan berkelas, melengkapi fasilitas perpustakaan dan turut menghadirkan pengalaman “berpustaka” yang lebih dari sekedar perpustakaan.
http://detak-unsyiah.com/wp-content/uploads/2016/10/unnamed-5.jpg |
Setelah memesan minuman, kami pun menikmatinya. “Mantap.. pantas mahasiswa ini bangga dengan perpustakaannya”. Dengan kebaikan hatinya, si mahasiswa menraktir saya. Dengan senang hati, saya ucapkan terimakasih. “Ah, baik sekali mahasiswa ini, memuliakan tamunya meski belum begitu kenal”, pikir saya.
Setelah membayar minuman, dia menyampaikan bahwa dia hendak melanjutkan aktivitasnya di kampus, mungkin tak sabar ingin segera membaca buku yang baru saja dipinjam. Sebelum berpisah, dia memberi saya sebuah leaflet dan berkata,”mas ikut acara ini, ya”. Saya mengangguk, dengan keyakinan bahwa acara yang dia maksud, pasti menarik.
Kami berpisah. Di depan gedung perpustakaan, saya duduk-duduk sambil menikmati suasana. Leaflet masih di tangan saya. Sejenak saya baca judulnya, “FREE Blogger Competition Library Fiesta 2017”. Kegiatan yang diselenggarakan Pustaka Unsyiah, yang pada tahun 2017 ini bertemakan “more than just a library”. Agaknya, mahasiswa tadi adalah blogger, dan memberitahu saya, agar ikut acara yang diselenggarakan perpustakaan.
“Saya mau ikut lomba ini”, pikir saya.
Tema lomba blogger ini menarik, pengalaman saya berkeliling perpustakaan Unsyiah, cukup meyakinkan saya, bahwa perpustakaan Unsyiah memang lebih dari sekedar perpustakaan. Mulai dari fasilitas, kegiatan, koleksi, keramahan petugas dan juga mahasiswa partime, kolaborasi kegiatan yang dilakukan, dapat menghadirkan suasana perpustakaan yang melebihi suasana perpustakaan pada umumnya.
#######
Masih sambil duduk-duduk di depan perpustakaan, ditambah suasana menyenangkan di kampus ini, mengatarkan saya merenungi perjalanan yang baru saja saya lakukan.
Ada satu hal lagi, yang saya ketahui dan mengejutkan saya. Kepala Perpustakaan Unsyiah saat ini, yang menjadi ideolog pengembangan perpustakaan hingga lolos akreditasi Perpustakaan Nasional serta sertifikat ISO adalah seorang dosen, dari fakultas teknik, serta bukan orang yang berlatar belakang ilmu perpustakaan [4]. Menurut saya, ini justru menjadi nilai lebih, dan menjadikan Pustaka Unsyiah terus mendekati ideal untuk dijadikan tolok ukur atau tempat studi banding bagi para pustakawan di Indonesia.
“Jika ingin belajar mengelola perpustakaan dari praktisi, riil, nyata perkembangan dan prestasinya, maka belajarlah ke Unsyiah”, ungkapan ini ada di benak saya. Di ujung Sumatera, bukan dipimpin oleh orang berpendidikan ilmu perpustakaan, dalam waktu singkat mampu meraih ISO dan akreditasi. Jika nilai sempurna itu 10, Pustaka Unsyiah memulainya dari angka 3, naik 6 point menjadi 9. Saya pikir, ini capaian yang sungguh luar biasa.
“Perpustakaan bukan sekedar tempat meminjam dan mengembalikan buku”, merupakan ungkapan yang selama ini saya yakini. Ungkapan ini sepertinya mewakili kesamaan pandangan saya dengan perpustakaan Unsyiah, yang “more than just a library”. Memang, selayaknya perpustakaan harus lebih dari sekedar “perpustakaan” sebagaimana umumnya dahulu dipandang orang.
Koleksi perpustakaan, pun bukan sekedar buku tercetak yang dipinjam dan dikembalikan pemustaka, namun, meminjam istilah Prof. Djoko Saryono, bahwa peristiwa dan kegiatan ilmiah juga merupakan pustaka [5]. Saya jadi ingat, seorang pernah mengatakan pada saya, "handphone itu awalnya untuk telepon dan sms, namun saat ini yang dijual dan dipromosikan bukan kemampuan telepon dan SMSnya, namun justru kameranya". Benar juga ya, seharusnya perpustakaan yang "dijual", juga bukan hanya koleksi dan layanan sirkulasinya, namun tawaran pengalaman tentang berbagai hal, kepada pemustaka. Koleksi dan sirkulasi sudah jadi barang wajib.
Koleksi perpustakaan, pun bukan sekedar buku tercetak yang dipinjam dan dikembalikan pemustaka, namun, meminjam istilah Prof. Djoko Saryono, bahwa peristiwa dan kegiatan ilmiah juga merupakan pustaka [5]. Saya jadi ingat, seorang pernah mengatakan pada saya, "handphone itu awalnya untuk telepon dan sms, namun saat ini yang dijual dan dipromosikan bukan kemampuan telepon dan SMSnya, namun justru kameranya". Benar juga ya, seharusnya perpustakaan yang "dijual", juga bukan hanya koleksi dan layanan sirkulasinya, namun tawaran pengalaman tentang berbagai hal, kepada pemustaka. Koleksi dan sirkulasi sudah jadi barang wajib.
Lalu, apa yang menjadikan Pustaka Unsyiah ini lebih dari sekedar “perpustakaan”?. Kreativitas. Ya, saya yakin kreativitas lah yang menjadikannya (dan mestinya juga perpustakaan lainnya) menjadi lebih dari sekedar perpustakaan.
Jejaring dibuat oleh pengelola untuk memberikan nilai lebih. Perpustakaan tidak sekedar digerakkan oleh pustakawan sendiri, namun juga berbagai elemen lainnya. Dengan mahasiswa, dosen, pimpinan dan juga pihak eksternal, sementara pustakawan menjadi pusatnya, yang menggerakkan dan memastikan semua elemen berjalan saling mendukung.
Dukungan semua elemen tersebut, diarahkan pada ketersediaan fasilitas yang memadai, ruang yang nyaman dan menarik, koleksi yang cukup serta mudah aksesnya, dan tentu saja memastikan kegiatan kreatif selalu berjalan.
Perjalanan saya membukakan mata, bahwa pengelolaan perpustakaan sudah tidak lagi dibedakan Jawa - luar Jawa. Namun oleh kreatif - tidak kreatif. Tentunya, disamping berbagai nilai lebih Pustaka Unsyiah, ada catatan atau kekurangan yang tetap harus selalu diperbaiki. Pengelola harus selalu memastikan bahwa apa yang telah dilakukannya akan terus berjalan, selalu diperbaiki. Ideolog pengembangan harus disebar rata pada semua staf, agar estafet kepemimpinan berjalan dengan baik. Tentunya, dengan semangat bersama, pengembangan selanjutnya dapat dilakukan, untuk mewujudkan perpustakaan ideal bagi para pemustaka.
Perjalanan saya membukakan mata, bahwa pengelolaan perpustakaan sudah tidak lagi dibedakan Jawa - luar Jawa. Namun oleh kreatif - tidak kreatif. Tentunya, disamping berbagai nilai lebih Pustaka Unsyiah, ada catatan atau kekurangan yang tetap harus selalu diperbaiki. Pengelola harus selalu memastikan bahwa apa yang telah dilakukannya akan terus berjalan, selalu diperbaiki. Ideolog pengembangan harus disebar rata pada semua staf, agar estafet kepemimpinan berjalan dengan baik. Tentunya, dengan semangat bersama, pengembangan selanjutnya dapat dilakukan, untuk mewujudkan perpustakaan ideal bagi para pemustaka.
#ditulis untuk lomba blogger Library Fiesta Perpustakaan Unsyiah 2017
Sambisari, Ngayogyakarta Hadiningrat
Sabtu, tanggal duapuluh lima, bulan ke tiga, tahun dua ribu tujuh belas
Menjelang siang, pukul delapan pagi
----------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Data diambil dari Slide "Indonesia One Search: Latar Belakang, Road Map , dan Progress" yang disampaikan Ismail Fahmi pada Lokakarya Perpustakaan Digital Indonesia. https://www.slideshare.net/IsmailFahmi3/indonesia-onesearch-latar-belakang-road-map-dan-progress.
[2]. Informasi dari diskusi di grup whatsapp FPPTI Indonesia, serta dikuatkan dengan informasi di http://library.unsyiah.ac.id/pemasukan-dari-google-adsense-etd-perpustakaan-unsyiah-di-tahun-pertama/
[3]. Informasi lengkap tentang Caffe dapat di baca di Librisyiana, edisi 5, Januari 2017. Online di http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/Librisyana-Edisi-5-Fixx-1.pdf
[4]. Informasi lengkap dapat dibaca di http://fsd.unsyiah.ac.id/topgan/
[5]. Disampaikan Prof. Djoko Saryono pada acara Seminar Nasional FPPTI DIY, "Mengembangkan Ide Kreatif pengembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi. http://www.fppti-diy.or.id/2016/05/mengembangkan-ide-kreatif-pengembangan.html
Gambar diperoleh dari http://library.unsyiah.ac.id/, http://detak-unsyiah.com, sebagaimana ditulis pada caption setiap gambar.
Gambar UILIS Mobile dari https://play.google.com/store/apps/details?id=id.ac.unsyiah.library
[2]. Informasi dari diskusi di grup whatsapp FPPTI Indonesia, serta dikuatkan dengan informasi di http://library.unsyiah.ac.id/pemasukan-dari-google-adsense-etd-perpustakaan-unsyiah-di-tahun-pertama/
[3]. Informasi lengkap tentang Caffe dapat di baca di Librisyiana, edisi 5, Januari 2017. Online di http://library.unsyiah.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/Librisyana-Edisi-5-Fixx-1.pdf
[4]. Informasi lengkap dapat dibaca di http://fsd.unsyiah.ac.id/topgan/
[5]. Disampaikan Prof. Djoko Saryono pada acara Seminar Nasional FPPTI DIY, "Mengembangkan Ide Kreatif pengembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi. http://www.fppti-diy.or.id/2016/05/mengembangkan-ide-kreatif-pengembangan.html
Gambar diperoleh dari http://library.unsyiah.ac.id/, http://detak-unsyiah.com, sebagaimana ditulis pada caption setiap gambar.
Gambar UILIS Mobile dari https://play.google.com/store/apps/details?id=id.ac.unsyiah.library
-----------------------------------------------
Tulisan ini menjadi pemenang ketiga, pada lomba blog dalam rangka Unsyiah Library Fiesta 2017. Pengumuman di http://library.unsyiah.ac.id/ulf-2017-lomba-blogger/
Tulisan ini menjadi pemenang ketiga, pada lomba blog dalam rangka Unsyiah Library Fiesta 2017. Pengumuman di http://library.unsyiah.ac.id/ulf-2017-lomba-blogger/
Ikut aahhhh
ReplyDeleteayo mas
Deletesugoiii lengkap banget nih artikelnya, Pak
ReplyDeleteSukses untuk lombanya yaa :D
Keren deh, artikelnya! Selamat jadi pemenang ya!
ReplyDelete