Thursday, 29 May 2025

Mendidik atau mengajar?

 “Mau ke mana, Pak Kimpul?”, tanya Paijo pada Pak Kimpul, kenalannya.

“Ngajar, mas”, jawabnya tegas. Sambil berjalan bergegas, tangan kanannya memegang tablet berlogo Apple krowak ukuran 11 inc. Bahunya menggendong tas ransel hitam berisi penuh. Bibirnya menyunggingkan senyum membalas sapaan Paijo. 

Mendengar jawaban Pak Kimpul, Paijo kaget. Kok bisa jawabnya “mengajar”. Dia merasa ada yang aneh dengan jawaban itu. Ingatannya pun ke sana dan kemari.

Yang Paijo tahu, di negaranya ada Menteri Pendidikan. Di lingkup kementerian itu ada dirjen pendidikan tinggi, dirjen pendidikan dasar dan menengah, dan juga dirjen pendidikan vokasi. Setiap tanggal 2 Mei, dengan gegap gempita meskipun bertepatan dengan hari libur, Paijo dapat undangan untuk ikut upacara: Hari Pendidikan. Tanggal 2 Mei itu dinisbahkan pada tanggal lahir sang Bapak Pendidikan. Pidato menteri pendidikan pun dibacakan saat upacara itu. Isinya tak lain tak bukan, ya seputar optimisme kemajuan bangsa melalui pendidikan warga negaranya. Paijo rajin hadir dengan baju putih dan celana panjang berwarna hitam.

Yang juga Paijo tahu, pada pasal 31 UUD pun tertulis “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pada UUD ini, Paijo menghitung, kata pendidikan disebut 10x, sementara pengajaran 1x saja.

Pada undang-undang sistem pendidikan nasional, kata pendidikan disebut 564x. Sementara pengajaran hanya 2x. Pada UU pendidikan tinggi, ada 323x disebut kata pendidikan; sementara kata pengajaran 0x.

Setahu Paijo, sekolah dan universitas juga berbagai institusi serupa lainnya disebut sebagai  institusi pendidikan. Guru dan dosen itu disebut sebagai tenaga pendidik. Mahasiswa menurut undang-undang didefinisikan sebagai peserta didik.

Para pemikir terkait, sebutannya juga pemikir pendidikan. Filosofinya juga filsafat pendidikan, bukan filsafat pengajaran. Buku yang terkait pun berjudul pendidikan. Misalnya pendidikan yang membebaskan, pendidikan kaum tertindas, dan semacamnya.

****

Gambar bikinan ChatGPT

ChatGPT juga mengenali pendidikan. Menurut GPT, pendidikan lebih luas dari pengajaran. Tidak sekedar transfer pengetahuan, namun juga karakter, sikap. Tidak sekedar untung rugi, namun ada di tingkat benar salah dan bahkan baik buruk (etik).

Nah. Orang-orang yang ke sekolah, ke kampus, ke universitas itu mau dapat apa? Tentu saja ingin memperoleh pendidikan, lah!

Lalu kenapa saat di kelas yang didapat justru pengajaran? Ah. Anda bercanda. 


****

Indonesia, tahun 2029.

“Mau ke mana, Pak Kimpul?”, tanya Paijo

“Mau mendidik, Mas”, jawab Pak Kimpul.

"Mewujudkan manusia yang paripurna, beretika dan berintegritas, melalui mata kuliah Kalkulus", lanjutnya.

"Gokil, Pak. Keren!" 

Paijo tersenyum gembira. Bersyukur, karena yang terjadi di kampus-kampus, sekolah-sekolah dan semacamnya itu bukan lagi sekedar proses administrarif ajar-mengajar, melainkan proses substansial: didik-mendidik. 

*****

"Byur..." 

Paijo kaget, bangun tidur basah kuyup disiram air oleh simboknya. Ternyata dia baru saja bermimpi. Namun Paijo tetap berharap.

--------------------------

Referensi

  • https://peraturan.bpk.go.id/details/43920/uu-no-20-tahun-2003
  • https://jdih.mkri.id/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf
  • https://peraturan.bpk.go.id/Details/39063/uu-no-12-tahun-2012


Sunday, 9 March 2025

Buku, partime, dan kegiatan di perpustakaan

Di level departemen, perpus pertama yang berbenah serius secara fisik itu teknik sipil. Tata ruangnya jadi rujukan perpus departemen lain. Namun sayang, perpus ini dipindah. Meski warnanya serupa, namun luasnya berkurang. Perpustakaan lainnya kemudian menyusul melakukan perombakan. Ada teknik kimia, teknik geodesi, teknik geologi juga berbenah. Termasuk perpustakaan teknik mesin dan industri. Beberapa didukung oleh alumni.

Perpus Teknik Mesin dan Teknik Industri berkonsep baru. Mereka mendaku "literacy center".  Perpus DTMI ini punya kekhasan dibanding perpus lain di departemen. Ya. Harusnya memang begitu. Perpustakaan yang melekat pada unit, mestinya punya kekhasan. Kalau tidak, lalu apa bedanya? Ndak ada yang dapat dijual.

Saya lihat, di perpus DTMI saat ini, jumlah buku tercetaknya jauh berkurang, kemudian koleksi non tekniknya diperbanyak. Serupa dengan yang kami bangun di perpus fakultas, hanya saja DTMI lebih berani soal dana. Mereka import banyak buku non teknik, plus game-game yang merangsang kreativitas. Bahkan, ada novel yang menjadi rujukan untuk kuliah. Judulnya Madre, karya Dewi Dee.

Selain itu, ada partime yang (beberapa yang saya kenal) punya semangat baca yang tinggi. Ini yang saya suka. Hasilnya, perpus lebih dikenal dari aktivitasnya. Fisik hanya pendukung. Saat rekrut partime, menurut cerita pembinanya, salah satu yang ditanyakan adalah berapa banyak buku yang dibaca, dan ceritakan salah satu buku yang pernah di baca. 

Perpustakaan memang harus digerakkan oleh orang yang suka baca. Wajib. Tidak bisa tidak. Pustakawan itu aktor, penggerak. Bukan administrator. 

Perubahan konsep perpus DTMI ini ini meyakinkan saya, bahwa perpustakaan itu aktivitas, bukan berhenti di fasilitas. 

Menggerakkan aktivitas di perpustakaan dapat dilakukan dengan banyak hal. Pustakawan harus terlibat, tidak hanya menyediakan dan menonton dan administrator saja. Dan, aktivitas yang tak akan lekang oleh waktu adalah kembali ke buku.

*****

Partime di perpustakaan

Masuknya mahasiswa sebagai partime di perpus memiliki 2 pilihan dampak yang ekstrim. Mereka akan tahu dapur perpustakaan, sehingga pandangan mereka pada perpus dan pustakawan akan terkonfirmasi ekstrim positif atau ekstrim negatif.

Partime di perpustakaan bukan meringankan tugas pustakawan. Seting pemikirannya harus diubah. Mereka menjadi penghubung dengan pemustaka. Cari yang usianya sama, satu generasi. Agar nyambung.

Jangan kasih mereka tugas-tugas administratif. Peminjaman buku, pengembalian. Jangan! Apaan itu? Jangan sampai mereka punya pandangan sepele pada tugas kepustakawanan, dan melihat pustakawan itu administratif. Arahkan ke hal yang lebih substansial, ideologis. 

Gerakkan mereka untuk membuat kegiatan, beri keleluasaan. Dorong mereka punya visi dan mewujudkan visinya di perpustakaan. 



Thursday, 13 February 2025

Filsafat Kesalahan

Pada sebuah kesalahan kita punya respon. Ada dua kategori, respon atas kesalahan diri sendiri, dan respon ada kesalahan orang lain. Tentu saja, justifikasi salah ini tentu akan subyektif. Bergantung pada tolok ukur apa yang digunakan.

****
Tindakan salah dapat terjadi karena beberapa sebab. Pertama karena kesengajaan. Sebab pertama ini merupakan sebab dengan derajat paling tinggi tingkat keberaniannya.

Menyengaja salah tidak selalu berakibat buruk. Ada juga menyengaja salah yang ada dampak positifnya. Misalnya karena ingin melihat dampak, dan sejauh apa dampak yang ditimbulkan. Dampak yang muncul dapat digunakan untuk mitigasi risiko, jika suatu saat kesahalan itu terjadi tanpa disengaja.

Contohnya? Carilah.

Namun demikian, kemungkinan besar, kesalahan yang disengaja lebih banyak efek buruknya.

Kedua, kesalahan karena tidak disengaja. Biasanya, setelah melakukan kesalahan ini orang akan bertaubat. Menyesal. 

***

Bagaimana kita memaknai kesalahan orang lain?

Ada beberapa respon atas kesalahan orang lain. Ada yang marah. Respon ini kemungkinan paling banyak dilakukan. Apalagi jika kesalahan itu berimbas langsung pada orang yang marah tersebut.

Ada pula yang belajar dari kesalahan tersebut. Misalnya si A melakukan kesalahan. Si B tidak marah, namun berterima kasih pada si A. 

Atas kesalahan yang dilakukan si A, si B jadi tahu bahwa apa yang dilakukan itu berdampak buruk. Si A, bagi si B justru sangat berjasa, karena si A telah mengambil peran menjadi salah, dan membuat orang lain menjadi tahu bahwa apa yang dilakukan si B itu salah.

***

Oia, melakukan kesalahan bisa juga lahir dari bentuk keberanian mengambil risiko. Ada pilihan-pilihan, yang harus diputuskan. Jika toh kemudian ternyata keputusan itu salah, maka dia boleh berharap agar apa yang dilakukan tidak diulangi orang lain.  

Jadi, jika anda melihat orang lain salah, jangan terburu menghakimi. Lihat dalam konteks yang lebih luas.


******************************

Kedamaian mengikuti keputusan apapun, sekalipun yang keliru (Rita Mae Brown)

Jika kau tidak gagal, berarti kau belum berusaha cukup keras (Gretchen Rubin)

Sunday, 9 February 2025

100 hari pertama, es tipis, dan jalan lama (100 hari #3)

Ferry Amsari, pada Tempo edisi 100 hari Prabowo Gibran memulai tulisannya dengan term "es tipis".

Es tipis ini dilalui oleh Presiden pada 100 hari pertama pemerintahannya. Saat menapaki es tipis, jika silap dan tergesa maka akan berpotensi jatuh dan terbenam. Namun, jika terlalu berhati-hati maka akan terkesan lamban.

Terima kasih,  Pak Ferry! Analogi ini saya pakai untuk instrospeksi diri.

Seratus hari pertama saya, saya coba nilai lagi. Saya tipe orang yang perhitungan, kadang keputusan diambil terlalu lambat. Kenapa? Ya, karena perhitungan itu tadi. Keputusan kadang muncul tak terduga. Kadang saat melamun saat perjalanan di atas motor, jalan kaki, di kamar mandi, atau lainnya. Di kondisi atau tempat itu, terkadang pertimbangan penting muncul, yang kemudian melahirkan keputusan.

Jalan baru dan jalan lama

Jika Pak Ferry memakai term "es tipis", dan pada tulisan sebelumnya saya pakai filosofi lingkaran dan aliran sungai, pada tulisan ini tepat juga jika saya pakai analogi jalan baru dan jalan lama.

Perumpamaan ini saya temukan saat saya naik motor. Saya nekat masuk ke jalan kampung, dengan keyakinan bahwa jalan itu akan tembus di jalan besar sisi utara (saat itu saya bermotor dari selatan).

Saat perjalanan itu, saya memutuskan memilih jalan dengan pertimbangan intuisi. Bisa benar, bisa salah hingga saya harus putar balik. Jika benar pun bisa jadi jalannya memutar sehingga perjalanan menjadi lebih jauh.

Saat perjalanan menelusuri jalan kampung itulah, saya berfikir bahwa 100 hari pertama saya, saya gunakan untuk menelisik jalan yang sebelumnya dilalui pendahulu saya. Ya. Memang ada point kunci yang tentu saya bisa bertanya, namun yang pasti, perjalanan itu harus saya lalui sendiri (sebagai pengambil keputusan). Risiko juga harus saya hadapi sendiri. Saya tak dapat lagi mengajak pendahulu saya untuk melalui jalan yang telah ditinggalkannya. Karena secara bersamaan, Dia telah menempuh jalan lain. 

Menelusuri jalan yang baru bagi saya, namun sebenarnya adalah jalan lama yang sudah didefinisikan  alur maupun risikonya, tentu memiliki tantangan tersendiri. Di perjalanan saya harus bertanya pada orang-orang di sekitar, maupun orang yang juga turut diperjalanan.

Saya mencoba men-trigger teman perjalanan (yang sebelumnya telah ikut perjalanan) untuk mengingat jalannya, risikonya, dan juga cara berjalannya. Termasuk, tentu saja, apa yang harus diperhatikan saat menapaki jalan itu. Selain itu juga mencoba mencari alternatif jalan lain yang lebih mudah, dan cepat sampainya.

Satu hal lagi, saya coba untuk menuliskan catatan perjalanan itu, agar dikemudian hari jika berganti nahkoda, akan mudah dalam menapakinya.

Jika digabungkan dengan perumpamaan "es tipis" yang dikemukakan Pak Ferry Amsari, ketika saya terlalu berhati-hati, saya pun akan dianggap lamban. Namun jika tergesa, maka potensi terjatuh akan ada.

Saya merasa dua kutub itu bukan pilihan yang harus dipilih salah satu untuk semua proses. Ada hal yang saya harus tergesa, dan dengan ukuran tertentu agak nekat. Namun ada pula yang saya harus berhati-hati, meski ada konsekuensi dianggap lamban.

****

Lalu, apakah semua jalan lama itu harus saya jelajahi? Tentu tidak.

Apakah yang harus saya jelajahi itu, sudah saya jelajahi semua dalam 100 hari pertama ? Tentu saja belum.

Terima kasih.

Saturday, 18 January 2025

Masuk di dunia baru, dan bagaimana memaknainya (100 hari #2)

Masuk di dunia baru, tentu memiliki berbagai konsekuensi. Dunia baru yang saya maksud pada tulisan ini adalah pekerjaan baru, posisi/jabatan pekerjaan yang baru.

Tulisan ini merupakan proses pemaknaan atas dunia baru yang saya alami; sebelumnya di bagian humas TI Medsos dan Alumni (selanjutnya saya tulis Humas dan IT), kemudian berpindah ke 3dharma.


Filosofi lingkaran

Jangan  menganggap dunia baru itu lebih luas, sulit, dari yang sebelumnya. Atau sebaliknya, dunia yang baru itu lebih sempit dan mudah dari sebelumnya. Keduanya sama. Itu yang saat ini saya camkan pada diri saya. Sama luasnya, perbedaan ada pada persepsi. Saya coba gambarkan dengan sebuah lingkaran.


A adalah dunia Humas & IT sesunguhnya, x adalah dunia Humas & IT saat saya masuk. B adalah dunia 3dharma.  Sebagai catatan, Humas dan IT merupakan bagian baru, sementara 3dharma sudah ada sejak lama.
Begini penjelasannya.
Saat saya masuk ke Humas dan IT, maka saya ada di lingkaran x. Luasnya x adalah luas yang ada pada persepsi saya pribadi saat saya masuk, yang merupakan bidang-bidang kerja bagian Humas IT (termasuk di dalamnya media sosial). Sebagai bidang baru, luasnya belum terdefinisikan.

Jika di lihat, luas ini (lingkaran x) lebih kecil dari luas B (bidang 3dharma). Namun sesungguhnya tidak. Luasnya sama, hanya belum terdefinisikan saja.

Apa yang harus saya lakukan agar luas x menjadi sama dengan luas B? Saya harus mendobrak dan mendorong batas lingkaran x agar membesar dan menjadi A yang luasnya sama dengan B.

Bagaimana caranya? Memetakan apa saja yang bisa menjadi bidang kerja dari Humas dan IT Medsos dan Alumni, dengan cara mencari mencipta hal baru baik layanan, maupun produk. Selama saya di Humas dan IT, saya belum sepenuhnya berhasil melakukan itu. 

Nah. Agak berbeda saat saya berpindah dari Humas IT ke 3dharma. Saya langsung ada dan memasuki lingkaran yang besar. Besarnya lingkaran ini telah terdefinisikan sejak sebelum saya ada di dalamnya. Maka, ketika saya masuk, saya harus merasakan sendiri luas yang sudah terdefinisikan itu. Saya mengitari lingkaran itu dari satu titik memutar terus 360 derajat, hingga bertemu titik awalnya lagi.

Proses merasakan luas ini tentu perlu waktu lama. Termasuk di dalamnya merasakan berbagai dinamika dan gejolak di dalamnya. Merasakan sendiri, bukan karena cerita dari orang lain.


Filosofi membendung sungai

foto freepik

Di atas merupakan gambar sungai. Saya akan menjelaskan pemaknaan saya, atas dunia baru saya dengan analogi sungai.

Bagini penjelasannya.

Saya diminta membendung sungai (bekerja di bagian 3dharma). Padahal saya bukan orang yang ahli membendung sungai (sebelumnya saya tidak pakar pada bidang 3dharma). Maka, saya harus belajar dahulu untuk membendung sungai.

Apa yang saya lakukan?

Saya akan duduk di tepi sungai, melihat aliran sungai, ke mana arahnya, dan di sisi mana aliran yang terlihat deras. Setelah itu, saya akan masuk ke sungai, merasakan sendiri derasnya aliran sungai itu, di mana yang terjal, dan di mana yang dalam.

Cukup? Belum.

Saya akan menunggu banjir. Saya harus tahu bagaimana kondisi saat banjir. Pertimbangan membuat bendungan tidak boleh hanya didasarkan pada kondisi normal. Harus pula mempertimbangkan banjir.

Setelah banjir datang, saya akan lakukan hal serupa: melihat, merasakan langsung derasnya aliran.

Saya catat semua temuan saya. Barulah saya akan coba membuat rancangan bendungan. Komposisinya apa saja, berapa bagian pasir, berapa bagian semen, berapa besi, bagaimana desainnya, dan lainnya.

Lamanya proses agar bergantung pada kondisi saya, dan dukungan lingkungan.


------------------ **** ----------------



Sunday, 12 January 2025

Tempat baru dan usaha merawat idealisme (100 hari #1)

"Bekerja sekedar mengerjakan, ibarat sekrup dan roda mesin pabrik yang berputar, yang didapat hanya lelah," begitu saya sampaikan ke diri saya. Seiring waktu, hal tersebut juga saya sampaikan ke rekan-rekan saya. Tentu bukan dalam bentuk doktrin, melainkan sekedar pendapat.

Sejak di perpustakaan Teknik Geologi, saya berusaha mencari nilai/value yang bagi saya (tentu ini subyektif) lebih menantang dari sekedar menggerakkan proses bisnis sebagaimana biasanya di perpustakaan. 

Nilai ini di kemudian hari, beberapa kali saya sampaikan sebagai alasan ideologis, bukan sekedar alasan pragmatis. Namun, beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kuliahnya Rocky Gerung, istilah ini saya ganti. Agaknya saya salah secara teori, meski ada ruang benar dalam implementasi. Bukan lagi alasan ideologis, namun semacam alasan fundamen, alasan dasar. Alasan yang tempatnya di akar, di dalam, yang untuk menemukannya harus berfikir radikal (mengakar).


Pada periode pertama, saat di perpustakaan Teknik Geologi, setelah beberapa lama mengenal, saya menyimpulkan bahwa aplikasi ilmu geologi punya sisi lain yang berdampak negatif. Ini saya peroleh ketika saya menemukan web Jatam atau jaringan advokasi tambang. Ini menarik, dan ini bisa menjadi jalan saya untuk menemukan alasan fundamen sebagai pustakawan di teknik geologi. Begitu pikir saya. 

Pandangan saya waktu itu tentu saja masih dangkal.  Perlu dilengkapi dengan sumber lain. Namun, itulah yang memantik saya mengejar value agar bekerja tidak sekedar mengerjakan tugas-tugas rutin saja.

Setelah menemukan web Jatam itu, rasa penasaran saya bertambah. Beberapa artikel saya baca dan cetak kemudian tempel di papan pengumuman perpustakaan. Papan pengumuman tidak lagi berisi info buku baru, namun lebih beragam.

Dinamika isu dan perdebatan terkait hal di atas, menjadi semacam pemicu dan penyemangat saya dalam bekerja. 

*****

Hal di atas berlanjut saat berpindah ke perpustakaan tingkat fakultas pada Mei tahun 2012. Kasus semen di Kendeng saya ikuti, mulai warga yang demo, hingga terseretnya nama-nama intelektual kampus dalam pusaran kasus Kendeng tersebut. Puncaknya ya saat munculnya film Samin dan Semen.

Film itu saya putar di perpustakaan, di ruang belajar yang tersedia layar TV besar. 

Yang saya hadapi bukan hanya satu departemen, melainkan satu fakultas dengan berbagai latar belakang ilmu. Lebih luas. 

Saya pun teringat tentang Soekarno. "Soekarno, meski lulusan teknik, juga belajar berbagai hal, termasuk politik, hukum, seni dan lainnya," begitu keyakinan saya, yang menjadi salah satu dasar saya menggerakkan perpustakaan fakultas. 

Diskusi di perpustakaan pun tidak hanya terkait teknik. Pernah mengangkat filsafat, sastra, termasuk membuat cerpen, hukum, dan lainnya. 

Bahkan ada puisi dan kutipan sastra dalam ukuran besar terpajang di dinding perpustakaan. 

Pertama puisi dari Wiji Thukul, berjudul "Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu".  

Apa guna punya ilmu tinggi, Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku, Kalau mulut kau bungkam melulu

Kedua, kutipan dari novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Thohari. "Kejujuran sebenarnya bukan suatu hal yang istimewa, dialah yang seharusnya dianggap biasa".

******


Takdir kemudian membawa saya untuk andil di humas dan media sosial tingkat fakultas, pada Juli 2023.  Ini bidang baru, sebelumnya belum ada. Di sini ada area lebih luas untuk saya, namun juga dibarengi dengan keharusan untuk berfikir ulang terkait apa yang akan dilakukan.

Tentu saja tidak mudah. Selama 1 tahun di bidang ini, sebenarnya kontribusi saya masih sangat sporadis. Pada paruh kedua pada 1 tahun itu, baru memulai merapikan pikiran, ide, dan tindakan sporadis itu.

Beberapa point fundamental sebenarnya sudah saya peroleh dan petakan. Bagaimana jejaring dibuat, dibentuk, siapa aktornya, dan bagaimana medianya. Selain itu, pada berbagai media, bagaimana pesan disajikan, dan apa saja yang perlu disajikan. 


Pesan pada berbagai media fakultas, tidak hanya pesan-pesan konvensional. Harus ada pesan yang meningkatkan mutu mahasiswa, juga perlu pesan-pesan masalah kebangsaan dan kemanusiaan. Untuk menemukan pesan-pesan tersebut, saya merasa perlu terus dan menerus untuk membaca. Tidak ada cara lain.

Pelibatan aktor mahasiswa dalam bentuk tenaga paruh waktu, saya idealkan akan menjadi kontribusi yang nge-pop dan membanggakan. Ada kebanggaan bagi siapa saja mahasiswa yang dapat bergabung di tim ini. 


Mereka, meski sebutannya tenaga paruh waktu, harus diberi kebebasan. Dari kebebasan itulah salah satu kebanggaan itu akan muncul. 

Hal lainnya, usaha untuk membuat produk dari bidang ini. Buku misalnya, atau sekedar leaflet rutin bulanan.


****

Satu tahun 4 bulan ternyata belum cukup. Belum banyak hal yang dapat saya lakukan. Hingga ternyata harus saya sudahi, karena harus bergeser ke tempat lain pada November 2024.

Tentu harus diikhlaskan. 

Di tempat baru, saya harus memulai lagi. Memulai mencari hal yang fundamen yang dapat saya jadikan pemicu agar saya bekerja tidak sekedar seperti mesin pabrik yang seketika berputar setelah tombol on di sentuh. Dan, tentu saja juga tetap menjaga agar saya tetap memperoleh ruang merdeka dalam berfikir dan bertindak. 


Sambisari, 12/1/2025

21.42 WIB