Sunday, 17 November 2024

Catatan Si Kimpul

Pada hari Senin, Kimpul berangkat kuliah ke kampus kebanggaannya Universitas Rakyat Lucu (URL). Dibawanya buah-buahan rambutan pisang segala rupa; oleh-oleh pamannya yang datang dari desa. Rambutan pisang itu dibawa untuk dimakan bareng teman-teman kuliahnya. Tak lupa, biar ringkes dan mudah dicangking, dibungkuslah rambutan pisang itu dengan plastik.

Memasuki gerbang kampus, sorot mata keamanan kampus langsung tertuju padanya. Tanpa fufu fafa, Kimpul ditanya, “Kenapa pakai bungkus plastik?”.

Kimpul kaget.

Plastik merupakan potensi sampah yang sulit diurai. Kampus menerapkan peraturan ketat terkait plastik. Peraturan adalah peraturan. Harus ditegakkan setegak-tegaknya.  Bukankah peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplikan, juga keadilan. Siapa bawa plastik harus dicatat pada buku besar. Catatan itu sebagai bukti dan sejarah, bahwa ada murid bandel di kampus. Catatan itu hanya bisa dihapus jika Kimpul mau ikut berkontribusi, patroli menegakkan peraturan kampus.

Pada hari Rabu, Gaplek, tenaga kependidikan kampus, berangkat kerja. Gaplek datang ke kampus naik ojek online. Motornya sedang tidak baik-baik saja. Perlu dibengkelkan. Sampai gerbang kampus, Geplek dicegat Kimpul. Dengan berseragam rompi biru, Kimpul melakukan interogasi, “Kenapa tidak pakai helm?”. 

Gaplek kaget.

Helm wajib dipakai saat naik kotor, meskipun di dalam kampus. Kampus menerapkan peraturan ketat tentang helm. Ini wujud kepedulian pada keselamatan warga kampus. Peraturan adalah peraturan. Harus ditegakkan setegak-tegaknya. Bukankah peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplikan, juga keadilan. Siapapun yang naik motor tidak pakai helm harus dicatat pada buku besar. Catatan itu sebagai bukti dan sejarah, bahwa ada tendik bandel di kampus. Catatan itu hanya bisa dihapus jika Gaplek mau berkontribusi pada penegakan peraturan kampus. Gaplek harus ikut patroli.

Pada hari Kamis,  Pak dosen Kaspo habis mengajar. Mulutnya kecut. Di taman kampus dia keluarkan bekal slepen berisi tembakau, lengkap dengan cengkeh dan woor cap 55. Setelah diramu, diapun klepas-klepus merokok. Gaplek, tendik yang tempo hari tertangkap tidak pakai helm, melihat dosen Kaspo. Di dekati, disapa, dan kemudian di tanya, “Pak Dosen merokok?”. 

Dosen Kaspo kaget.

Merokok adalah hal nista di kampus. Kampus menerapkan peraturan ketat tentang rokok. Ini wujud kepedulian pada kesehatan warga kampus. Peraturan adalah peraturan. Harus ditegakkan setegak-tegaknya.  Bukankah peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplikan, juga keadilan. Siapa yang merokok di dalam kampus harus dicatat pada buku besar. Catatan itu sebagai bukti dan sejarah, bahwa ada dosen bandel merokok di kampus. Catatan itu hanya bisa dihapus jika dosen Kaspo mau berkontribusi pada penegakan peraturan kampus. Dosen Kaspo harus ikut patroli.

Pada hari Jumat, Bu Mlati ke kampus. Bu Mlati adalah istri dosen, pegiat dharma wanita. Seperti biasa, dia menuju kantin. Buka lapak dagangan, baik bikinan sendiri maupun titipan. Mulai dari minuman ringan sampai makanan berat. Baik dipajang di etalase, maupun ada di kulkas.

Dosen Kaspo habis mengajar. Mulutnya kecut tapi dia tak lagi berani merokok. Khawatir dipergoki Gaplek yang kemarin memergokinya. Dia pilih masuk kantin, mencari cemilan pengganti rokok. Begitu masuk, dosen Kaspo tak menyangka isi di dalamnya. Dia dapati banyak dagangan kantin yang berbungkus plastik. Benda terlarang di kampus tempat dia berkerja. 

Dosen Kaspo pun dapat ide untuk menghapus catatan pelanggaran merokok yang tempo hari dilakukannya. Temuan plastik sebagai bungkus dagangan di kantin akan diajukan sebagai bukti penghapus catatan. Dosen Kaspo bersiap melakukan operasi.

Dia dekati bu Mlati, untuk menanyakan dan memotret sekitar sebagai bukti. 

"Bu Mlati jualan dagangan berbungkus plastik?"

Bu Mlati tidak kaget. 

Tanpa fufu fafa, tanpa sepatah kata, Bu Mlati justru menatap tajam ke dosen Kaspo. Nyali dosen Kaspo langsung ciut. Wibawa yang selalu melekat pada dirinya, hilang seketika. Mengkerut, lalu sirna. Dosen Kaspo tidak berani melanjutkan misinya menghapus catatan pelanggaran.

Tak berani membalas tatapan bu Mlati, dosen Kaspo balik kanan. Pergi keluar kampus, memilih jajan bakso dan es teh di warung Yu Terong.

[tamat]


Cerita di atas fiktif belaka. Kesamaan nama hanya kebetulan saja. Alur dan ide cerpen di atas terinspirasi dari cerpen mini berjudul "Hukuman" karya Eko Triyono yang dimuat pada buku Republik Rakyat Lucu. Judul buku juga menginspirasi penamaan Universitas Rakyat Lucu pada tulisan ini.

Friday, 1 November 2024

Paijo, plastik, dan suksesnya hilirisasi riset

Ini tentang Paijo. Pustakawan ndeso, yang tak lagi muda, tidak kaya, tapi cukup berbahaya. 

Rumahnya di pelosok, hanya hitungan meter dari tepi hutan. Saat malam hari, suasana sepi. Hening. Hanya suara angin berhembus, jangkrik mengerik. Kadang kodok mengorek, kunang-kunang beterbangan. 

Suasana itulah yang sering dimanfaatkan Paijo untuk kontemplasi. Dia begitu terobsesi dengan Suryomentaraman. Bangsawan yang menanggalkan status kebangsawanannya, keluar keraton, gemar menepi untuk mencari yang sejati. 

*****
Malam belum larut. Paijo menikmatinya dengan nyante. Ditangannya terselip udud lintingan. Harum cengkehnya terasa kuat. Tajam. Menguar di udara. 

Di atas lincak teras rumah dia duduk. Klepas-klepus sambil melihat bintang di langit. Di sampingnya tersaji secangkir kopi dan tempe garit goreng di atas daun pisang.

Sejenak dia duduk sendirian. Hingga tampak dari kejauhan, Karyo, teman karibnya datang mendekat.
Karyo: "Jo, setiap aku ketemu kamu, seringnya kamu melamun. Pilihan presiden sudah selesai, pulung telah jatuh pada orang yang tepat. Jangan kau pikirkan"
Paijo: "Kang. Bukan presidennya yang tak pikirkan, Kang. Tapi wa..."

Paijo menutup mulutnya sendiri. Suara "Wa.." yang keluar dari mulutnya tidak berlanjut. 

"Sedang memikirkan plastik, Kang," ungkap Paijo.

Karyo kaget. Tidak biasanya Paijo begitu.

"Lamunanmu di luar nalar, Jo," ucap Karyo.

Umumnya Paijo melamun tak jauh dari masalah perpustakaan, mulai dari perkembangannya, pustakawannya, dan kritiknya. Sekarang masalah plastik. Tentu ini jauh dari kebiasaan. Barang sepele macam plastik, jadi lamunannya Paijo. Sepertinya materi plastik itu tidak setara dengan kapasitas Paijo. Terlalu remeh. Receh.

Namun Karyo tetap mencoba mendengarkan uraian Paijo.

Tak berselang lama, istri Paijo muncul, membawa nampan berisi secangkir kopi. Tentu saja untuk Karyo, kawan karib suaminya.

****

Paijo mulai bercerita.

Kehidupan manusia saat ini, tak dapat lepas dari plastik. Jika toh bisa, pasti ada pengecualiannya. Plastik telah sukses masuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Dari tingkat atas sampai bawah, dari kaya sampai miskin, dari desa sampai kota. 

Dan saat begitu banyak orang memanfaatkan plastik, maka potensi sampah plastik pun semakin banyak. Menggunung. Di pasar, di pinggir jalan, bahkan di sungai sampai lautan.

"Di sisi lain, kita tidak dapat tutup mata, Kang. Plastik itu wujud suksesnya hilirisasi riset", ungkap Paijo.

Ya. Bagi Paijo, plastik menjadi contoh riset yang sukses. Riset yang berdampak, riset yang bermanfaat, riset yang membumi, riset yang bukan utopia, riset yang begitulah.

Para peneliti, menurut Paijo harus berkaca pada ekosistem risetnya plastik sekaligus penyerapan oleh konsumennya.

"Jangan semena-mena sama plastik," tegasnya.

Plastik itu simple, ringan, tapi bermanfaat. Tepat guna. Seharusnya riset punya ruh yang membumi.

"Bukan riset yang ngawang-awang, narsistik, tapi dampaknya mendekati 0 (nol)," kata Paijo.

"Wah, ya jangan terlalu keras begitu, Jo," Karyo menasehati.

Paijo sebenarnya tidak keras juga dalam menanggapi riset yang tak berdampak. Toh memang itu terjadi. Riset, yang dicita-citakan dapat terhilirkan itu, tak semua berhasil. Macam-macam masalahnya. Mulai dari manfaat yang kurang, perlu dukungan dana besar untuk melakukan produksi massal, maupun karena memang sebenarnya kurang berkualitas, kalah jauh dari hasil riset perusahaan.

"Kalah, Kang," kata Paijo. Perusahaan itu punya dana untuk riset, dan lab yang tak kalah canggih. Lebih canggih bahkan dibanding milik kampus. Perusahaan hanya kalah dalam satu hal.

"Apa itu, Jo," tanya Karyo.
"Ndak punya Profesor", jawab Paijo.

"Tapi, perusahaan itu, dengan dana yang dimiliki bisa manggil profesor kampus, diajak mroyek. Mesti seneng. Begitu. Hahahaha," Paijo ngakak.

----

"Jo, jangan-jangan level kita itu bukan hilirisasi riset!, ungkap Karyo.

"Lalu?", tanya Paijo

"Hilirisasi periset," Karyo menjawab sambil membetulkan sarungnya yang melorot. Pulang.

Paijo tersenyum. Agaknya dia membenarkan ungkapan Karyo.


Udud klembak menyan yang tersisa sesenti itu dicecek. Paijo meraih cangkir kopinya. Hampir habis. Tinggal satu sruputan saja. Dia habiskan. Ditarik sarungnya jadi selimut. Dia bergumam, memanjatkan doa. Semoga penemu plastik mendapat pahala, diampuni dosanya, dan masuk surga.

Sesaat kemudian Paijo sudah terbaring, tidur pulas di lincak teras rumah bercengkerama dengan mimpinya.

[kalau ada ide lagi, bisa ada sambungannya]