Friday, 1 November 2024

Paijo, plastik, dan suksesnya hilirisasi riset

Ini tentang Paijo. Pustakawan ndeso, yang tak lagi muda, tidak kaya, tapi cukup berbahaya. 

Rumahnya di pelosok, hanya hitungan meter dari tepi hutan. Saat malam hari, suasana sepi. Hening. Hanya suara angin berhembus, jangkrik mengerik. Kadang kodok mengorek, kunang-kunang beterbangan. 

Suasana itulah yang sering dimanfaatkan Paijo untuk kontemplasi. Dia begitu terobsesi dengan Suryomentaraman. Bangsawan yang menanggalkan status kebangsawanannya, keluar keraton, gemar menepi untuk mencari yang sejati. 

*****
Malam belum larut. Paijo menikmatinya dengan nyante. Ditangannya terselip udud lintingan. Harum cengkehnya terasa kuat. Tajam. Menguar di udara. 

Di atas lincak teras rumah dia duduk. Klepas-klepus sambil melihat bintang di langit. Di sampingnya tersaji secangkir kopi dan tempe garit goreng di atas daun pisang.

Sejenak dia duduk sendirian. Hingga tampak dari kejauhan, Karyo, teman karibnya datang mendekat.
Karyo: "Jo, setiap aku ketemu kamu, seringnya kamu melamun. Pilihan presiden sudah selesai, pulung telah jatuh pada orang yang tepat. Jangan kau pikirkan"
Paijo: "Kang. Bukan presidennya yang tak pikirkan, Kang. Tapi wa..."

Paijo menutup mulutnya sendiri. Suara "Wa.." yang keluar dari mulutnya tidak berlanjut. 

"Sedang memikirkan plastik, Kang," ungkap Paijo.

Karyo kaget. Tidak biasanya Paijo begitu.

"Lamunanmu di luar nalar, Jo," ucap Karyo.

Umumnya Paijo melamun tak jauh dari masalah perpustakaan, mulai dari perkembangannya, pustakawannya, dan kritiknya. Sekarang masalah plastik. Tentu ini jauh dari kebiasaan. Barang sepele macam plastik, jadi lamunannya Paijo. Sepertinya materi plastik itu tidak setara dengan kapasitas Paijo. Terlalu remeh. Receh.

Namun Karyo tetap mencoba mendengarkan uraian Paijo.

Tak berselang lama, istri Paijo muncul, membawa nampan berisi secangkir kopi. Tentu saja untuk Karyo, kawan karib suaminya.

****

Paijo mulai bercerita.

Kehidupan manusia saat ini, tak dapat lepas dari plastik. Jika toh bisa, pasti ada pengecualiannya. Plastik telah sukses masuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Dari tingkat atas sampai bawah, dari kaya sampai miskin, dari desa sampai kota. 

Dan saat begitu banyak orang memanfaatkan plastik, maka potensi sampah plastik pun semakin banyak. Menggunung. Di pasar, di pinggir jalan, bahkan di sungai sampai lautan.

"Di sisi lain, kita tidak dapat tutup mata, Kang. Plastik itu wujud suksesnya hilirisasi riset", ungkap Paijo.

Ya. Bagi Paijo, plastik menjadi contoh riset yang sukses. Riset yang berdampak, riset yang bermanfaat, riset yang membumi, riset yang bukan utopia, riset yang begitulah.

Para peneliti, menurut Paijo harus berkaca pada ekosistem risetnya plastik sekaligus penyerapan oleh konsumennya.

"Jangan semena-mena sama plastik," tegasnya.

Plastik itu simple, ringan, tapi bermanfaat. Tepat guna. Seharusnya riset punya ruh yang membumi.

"Bukan riset yang ngawang-awang, narsistik, tapi dampaknya mendekati 0 (nol)," kata Paijo.

"Wah, ya jangan terlalu keras begitu, Jo," Karyo menasehati.

Paijo sebenarnya tidak keras juga dalam menanggapi riset yang tak berdampak. Toh memang itu terjadi. Riset, yang dicita-citakan dapat terhilirkan itu, tak semua berhasil. Macam-macam masalahnya. Mulai dari manfaat yang kurang, perlu dukungan dana besar untuk melakukan produksi massal, maupun karena memang sebenarnya kurang berkualitas, kalah jauh dari hasil riset perusahaan.

"Kalah, Kang," kata Paijo. Perusahaan itu punya dana untuk riset, dan lab yang tak kalah canggih. Lebih canggih bahkan dibanding milik kampus. Perusahaan hanya kalah dalam satu hal.

"Apa itu, Jo," tanya Karyo.
"Ndak punya Profesor", jawab Paijo.

"Tapi, perusahaan itu, dengan dana yang dimiliki bisa manggil profesor kampus, diajak mroyek. Mesti seneng. Begitu. Hahahaha," Paijo ngakak.

----

"Jo, jangan-jangan level kita itu bukan hilirisasi riset!, ungkap Karyo.

"Lalu?", tanya Paijo

"Hilirisasi periset," Karyo menjawab sambil membetulkan sarungnya yang melorot. Pulang.

Paijo tersenyum. Agaknya dia membenarkan ungkapan Karyo.


Udud klembak menyan yang tersisa sesenti itu dicecek. Paijo meraih cangkir kopinya. Hampir habis. Tinggal satu sruputan saja. Dia habiskan. Ditarik sarungnya jadi selimut. Dia bergumam, memanjatkan doa. Semoga penemu plastik mendapat pahala, diampuni dosanya, dan masuk surga.

Sesaat kemudian Paijo sudah terbaring, tidur pulas di lincak teras rumah bercengkerama dengan mimpinya.

[kalau ada ide lagi, bisa ada sambungannya] 



Share:

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi