Friday, 27 October 2017

,

Menjadi Pustakawan Liberal

Purwo.co -- Mungkin ada yang merasa kaget mendengar kata liberal. Jika kita merujuk pada kamus, liberal diberi arti berpandangan bebas (luas dan terbuka). 

Ulil Absar Abdalla pernah menulis esai di Kompas (18/11/2002) yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”Tulisan ini cukup menggemparkan, bahkan, konon Gus Mus sendiri menanggapi tulisan tersebut pada harian yang sama. 

Apa hubungan tulisan Ulil dengan judul esai ini? 
Saya tidak berkompeten untuk bicara kontroversi tulisan Kang Ulil tersebut. Namun, ada beberapa hal yang hendak saya kutip dari tulisan tersebut. Pertama, Ulil menempatkan Islam sebagai "organisme" yang hidup, kedua terkait Islam kontekstual. Keduanya, saya kaitkan dengan perpustakaan. Serta beberapa kalimat lainnya.

Islam sebagai organisme yang hidup. Agaknya tafsirnya cukup beragam lengkap dengan pro-kontranya. "Organisme" yang hidup ini juga dikenal di kajian perpustakaan. “Perpustakaan adalah organisme yang selalu tumbuh”, begitu kira-kira terjemahan salah satu hukum perpustakaan yang dipopulerkan Ranganathan, yang kalimat aslinya "The library is a growing organism" . Semua pustakawan mengamini hukum ini. Para ilmuwan perpustakaan mendukung hukum tersebut, sehingga menjadikan tuah kesaktian kalimat Ranganathan tersebut menjadi semakin mujarab, dan menyihir pustakawan untuk menjadikannya ruh dalam mengembangkan perpustakaan. 

Ulil memosisikan “organisme yang hidup” agar Islam tidak menjadi kaku, dan selau bisa mendorong kemajuan. Kunci pertama yang dia sodorkan: penafsiran yang non-literal, substansial, konstektual, sesuai keadaan kehidupan manusia yang terus berubah. Kedua, penafsiran yang memisahkan aspek budaya dan fundamental. 

Perpustakaan, yang juga merupakan organisme yang hidup dan berkembang, harus selalu menyesuaikan dirinya dengan perkembangan dan kehidupan manusia. Dia tidak boleh kaku, jumud, mandeg, namun harus selalu berkembang. Namun dalam penafsirannya, harus dipisahkan antara fundamental perpustakaan (walaupun fundamental ini juga bisa berubah, berganti), serta “budaya”, atau trend yang muncul dari perpustakaan lainnya.

Paijo: “fundamental kok bisa berubah?”
Karyo: “cen ra jelas kui”

Yang bersifat fundamental harus menjadi pedoman, sedangkan budaya atau trend yang muncul di perpustakaan lainnya, harus dianggap sebagai sebuah produk lokal perpustakaan tersebut, yang belum tentu sesuai untuk perpustakaan lainnya. Setiap perpustakaan, dengan wilayah khasnya masing-masing harus didorong untuk menciptakan produk layanan yang dibutuhkan pada lingkungannya. Impor trend harus disaring, dan jangan sampai justru membebani pustakawan untuk selalu menduplikasi hal yang terjadi di perpustakaan lainnya. Bukan duplikasi, tapi inovasi.

"Inovasi, adalah mengambil dua hal yang sudah ada, dan meletakkannya secara bersama dengan cara yang berbeda", begitu kata Tom Freston. 

Bagaimana kedudukan ketentuan terkait perpustakaan yang sudah dianggap mapan? Misalnya UDC, DDC, dan semacamnya? Mereka harus ditempatkan sebagai sebuah produk budaya, dipandang secara kritis dengan segala kekurangan dan kelebihannya. UDC dan DDC, atau skema klasifikasi yang lainnya merupakan alat, bukan substansi. Maka, alat tersebut boleh digunakan, boleh tidak. Bahkan pustakawan justru akan lebih baik lagi, jika mampu menciptakan alat-alat yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan pemustaka di perpustakaannya. Atau memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan. 


Pustakawan harus ber-itjtihad,mencari formula-formula baru dalam pengelolaan perpustakaannya. Demikian seterusnya. Dia tidak boleh berhenti, kagum dan terkesima melihat perpustakaan (terutama fisik) perpustakaan lainnya saja. Fokusnya harus pada substansi. Alat, fisik, dan lainnya harus dipandang secara teguh sebagai pendukung. Proses harus dilanjutkan dengan menerjemahkannya dengan pendekatan berbeda sesuai dengan konteks perpustakaan yang dikelola. 

Tidak ada tafsir tunggal dalam pengembangan perpustakaan

Satu hal yang boleh dikagumi dari perpustakaan lainnya, adalan semangat mereka melakukan tafsir, sehingga mampu menurunkan konsep fundamental perpustakaan dalam berbagai produk budaya. Pustakawan harus meyakini, bahwa tafsir atas perpustakaan bukan monopoli golongan tertentu saja. Pustakawan harus punya jiwa merdeka, dan berfikir liberal (bebas dan terbuka pada berbagai ide), kemudian meramu berbagai pemikiran tersebut untuk menafsirkan pengembangan perpustakaannya.

Pustakawan merupakan orang yang paling tahu perpustakaan yang dia kelola, termasuk lingkungan di sekitarnya.

Pengembangan perpustakaan, atau ber-perpustakaan merupakan sebuah proses yang tak pernah selesai. “Library is a growing organism”, mungkin akan lebih kuat maknanya jika diterjemahkan dengan “perpustakaan, merupakan proses yang terus menerus, dan tak akan pernah selesai”. Sehingga, dengan terjemah ini, pustakawan akan selalu berfikir bebas, di luar sekat-sekat yang dibuat sendiri oleh mereka, dalam rangka pengembangan perpustakaannya.

Namun, membangun, mengelola, mengembangkan perpustakaan merupakan proses berbuat  kebajikan untuk ummat manusia. Sehingga pustakawan, selain berfikir liberal, juga harus pulang ke fungsi profetiknya sebagai manusia.

Petilasan Rakai Garung, Sambisari
Jemuah, 27 Oktober 2017
5.08 pagi

[1]. http://www.webpages.uidaho.edu/~mbolin/barner.htm
[2]. http://www.tufs.ac.jp/blog/ts/g/aoyama/files/Menyegarkan_Kembali_Pemahaman_Islam.doc
[3]. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/liberal



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi