Satu waktu seorang kawan bilang kepada saya, bahwa dia baru naik taksi ketika pulang dari luar kota, Sebagaimana biasanya akhirnya dia berbincang-bincang dengan sopir taksi itu. Dari perbincangan itu, kawan saya tadi terperangah, teryata ketiga anak sopur taksi tadi sudah menjadi "orang". Ada yang Master, ada yang doktor.
Apa resepnya? Bersyukur katanya. Si sopir taksi ini, ketika awal-awal mempunyai anak, dengan istrinya masih sama-sama bekerja. Tapi ketika anak lahir, si sopir taksi dan istrinya berunding. Bahwa keduanya wajib untuk berbagi tanggungjawab, namun bukan berarti ini tanggung jawabku dan itu tanggung jawabmu. Namun ada peran-peran yang mesti dilakukan supaya antara mencari nafkah dunia, akhirat, mendidik anak mempunyai keseimbangan.
Akhirnya si istri keluar dari pekerjaannya, konsentrasi mendidik anak. Sementara sang suami, sopir taksi tetap menjadi sopir taksi. Dah akhirnya, keikhlasan keduanya membuahkan barakah. Anak-anak mereka menjadi "orang".
Sepulang dari Jakarta, tanggal 27 Juli kemarin, saya naik ojek dari depan Kolese Ignatius menuju kampus Geologi UGM. Mungkin karena watak saya yang aslinya memang orang kampung, saya ajak bapak ojek untuk ngobrol.
Bapak itu mempunyai anak 3, yang paling besar lulus D1 dan kerja, yang kedua SMK dan sudah bekerja dan yang terakhir masih 1 SMU.
Selain cerita tentang pandangannya atas calon-calon presiden pemilu kemarin, bapak ini juga cerita tentang pekerjaannya. Biasanya beliau ngetem di lempunyangan, namun selepas ngetem dia muter keliling dengan harapan ada penumpang yang ditemui.
Insting katanya. Mungkin maksudnya kemana tangan memutar stang motor kesitu juga motor akan melaju, masalah rejeki itu urusan Tuhan.
Dan benar, beliau mengatakan tetap ada rejeki kalau mau berusaha. Kata orang jawa "nyampar nyandhung". Selain itu, resep berikutnya adalah bersyukur. Syukur itu menentramkan. Apa yang dibisai dan didapat disyukuri, kalau memang sudah berusaha maksimal tinggal diserahkan pada kekuasaan Tuhan.
Ketika saya tanya "Punya sawah pak?" beliau menjawab "Ya motor ini mas sawah saya", sambil menenkankan bahwa dia memang pengojek beneran, bukan ojek sambilan.
Apa resepnya? Bersyukur katanya. Si sopir taksi ini, ketika awal-awal mempunyai anak, dengan istrinya masih sama-sama bekerja. Tapi ketika anak lahir, si sopir taksi dan istrinya berunding. Bahwa keduanya wajib untuk berbagi tanggungjawab, namun bukan berarti ini tanggung jawabku dan itu tanggung jawabmu. Namun ada peran-peran yang mesti dilakukan supaya antara mencari nafkah dunia, akhirat, mendidik anak mempunyai keseimbangan.
Akhirnya si istri keluar dari pekerjaannya, konsentrasi mendidik anak. Sementara sang suami, sopir taksi tetap menjadi sopir taksi. Dah akhirnya, keikhlasan keduanya membuahkan barakah. Anak-anak mereka menjadi "orang".
Sepulang dari Jakarta, tanggal 27 Juli kemarin, saya naik ojek dari depan Kolese Ignatius menuju kampus Geologi UGM. Mungkin karena watak saya yang aslinya memang orang kampung, saya ajak bapak ojek untuk ngobrol.
Bapak itu mempunyai anak 3, yang paling besar lulus D1 dan kerja, yang kedua SMK dan sudah bekerja dan yang terakhir masih 1 SMU.
Selain cerita tentang pandangannya atas calon-calon presiden pemilu kemarin, bapak ini juga cerita tentang pekerjaannya. Biasanya beliau ngetem di lempunyangan, namun selepas ngetem dia muter keliling dengan harapan ada penumpang yang ditemui.
Insting katanya. Mungkin maksudnya kemana tangan memutar stang motor kesitu juga motor akan melaju, masalah rejeki itu urusan Tuhan.
Dan benar, beliau mengatakan tetap ada rejeki kalau mau berusaha. Kata orang jawa "nyampar nyandhung". Selain itu, resep berikutnya adalah bersyukur. Syukur itu menentramkan. Apa yang dibisai dan didapat disyukuri, kalau memang sudah berusaha maksimal tinggal diserahkan pada kekuasaan Tuhan.
Ketika saya tanya "Punya sawah pak?" beliau menjawab "Ya motor ini mas sawah saya", sambil menenkankan bahwa dia memang pengojek beneran, bukan ojek sambilan.