“Asem tenan, nek koyo ngene iki njuk piye? ra adil babar blas!” ucap Karyo gerah.
“Kenapa to kang?” tanya Harjo.
“Bagaimana tidak kesal to kang?. kita ini sebagai pustakawan, sudah gajinya kecil masih di aniaya, mengerjakan ini-itu, di minta mencarikan ini itu” jawab karyo.
“Kang, apa gak salah kata-katamu itu?, wong kadang kala, bahkan banyak pustakawan yang kerjanya cuma duduk-duduk, gak ada kerjaan, nunggu orang datang. Jadi banyak nganggurnya. Lha ini kamu malah mencak-mencak diminta mencari ini-itu, banyak kerjaan, piye tho?” tanya Harjo.
“Begini kang, aku tidak menafikan bahwa banyak diantara teman-teman kita yang waktu kerjanya dan waktu luangnya banyak waktu luangnya. Tapi juga tidak sedikit yang waktu kerjanya banyak. Harus mikir pengembangan, mikir melobi atasan supaya memberi perhatian kepada perpustakaan, belajar otomasi, belajar digitalisasi dan yang semacamnya. Pendek kata, ada wilayah yang kita harus berfikir teknis, dan juga berfikir konsep. Jadi tidak benar itu, kalau diam dan tidak ada pengguna datang sama dengan nganggur” jelas karyo.
“Kenapa ini, pada ribut-ribut. Ikut-ikutan para politisi yang pada ribut rebutan kursi apa, kalau kampanye koar-koar, janji ini itu, para simpatisan bekerja siang malam, kata “berjuang” seakan menjadi sihir bagi mereka. Lha setelah kepilih, para simpatisan masih haris kembali berjuang mencari nafkah, untuk makan. Sementara yang kepilih, yang didukung, lupa sama mereka. Mereka asyik nongkrong di hotel, lobi-lobi politik tingkat tinggi. Ini perjuangan, katanya. Sudah lah, gak usah bicara politik, kita ini pustakawan, jangan bawa-bawa perpustakaan ke ranah politik” Poltak tiba-tiba nimbrung.
“Ah kau Tak, tidak tahu duduk permasalahannya, tahu-tahu nimbrung dan koar-koar. Kamu ini gak beda sama politisi, juga koar-koar tu namanya. Jelaskan kang Karyo” timpal Harjo.
“Begini, kita ini kan pustakawan, yang sepemahamanku, kalau di kantor ya mencari informasi untuk pengguna. Mereka mencari ini, kita bantu. MEreka butuh buku ini kita carikan. Itu tugas utama kita. Ditempatku kan ada dosen, ada mahasiswa dan sebagainya. Tugas dosen utamanya kan mengajar, jadi wajar kan kalau aku mencarikan buku untuk dosen mengajar. Nah ini butuh artikel bukan untuk mengajar, mana artikelnya susah nyarinya lagi. Tapi akhirnya ya ketemu meski sampe kringetan. Lha setelah ketemu, terimakasih, sudah. Selesai” terang Karyo.
“Wah kan betul itu, sudah benar kerja kau mas Karyo, lalu apa yang salah sampai kau marah-marah” tanya poltak.
“Masalahnya, hal itu sudah berlangsung beberapa kali. Proyek Thankyou terus” kalau untuk mengajar kan ya wajar, wong itu tugas utama. Lha ini untuk proyek je, kan ada duitnya itu. Apa pada tidak menghargai informasi ya mereka itu” lanjut Karyo.
“Sudahlah kang, orang-orang dinegeri ini memang belum semuanya bisa menghargai usaha para pustakawan. Nilai informasi itu belum di hargai secara optimal, meski kata orang pintar orang yang akan menang di era informasi ini ya yang menguasai informasi. Kita bersabar saja kang, bekerja profesional. Serahkan sama Yang Mempunyai Harta Hakiki. Ikhlas, jangan berprasangka yang buruk-buruk” Harjo menasihati.
“Selain itu sepertinya kita memang harus menata ulang kembali koleksi perpustakaan kita. Supaya ketika kita mencarikan untuk pengguna, kita dapat mudah menemukan, tidak sampai kringetak kayak kamu tadi Mas Karyo. Selain itu kan juga membuat pengguna lebih nyaman dalam mencari. Kita memang harus introspeksi, kita tingkatkan saja profesionalisme kita dulu, baru nanti kita menuntut” kata Poltak dengan logat bataknya, sembari nenekankan kata MENUNTUT dan mengepalkan tangan.
“Menuntut?” Karyo dan Harjo menyahut sambil saling memandang.
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih, komentar akan kami moderasi