dari Kedaulatan Rakyat 28/07/2008 08:05:47
KETIKA Alexander The Great (Iskandar Yang Agung) menginjakkan kakinya di pantai barat Mesir pada 332 SM, ia tercengang dengan keindahan alamnya. â€Di sinilah kota impianku akan kubangunâ€, katanya. Alexandria atau Iskandaria, nama kota itu kemudian menjadi ibukota Mesir selama hampir 1.000 tahun, sebuah kota kosmopolitan yang dihuni bukan saja oleh bangsa Mesir, tetapi juga Turki, Itali dan Yunani. Bersama Athena di Yunani dan Anthiocia di Syiria yang kini punah, Alexandria menjadi pusat intelektual imperium Iskandar yang membentang dari India hingga Mesir.
Berbeda dengan Kairo yang terkenal sebagai Kota Seribu Masjid, atau Luxor (al-Aqshar, 750 Km dari Kairo), pusat peradaban Mesir 3.000 SM yang kental nuansa Pharonic, Alexandria hampir sepenuhnya bercorak Barat. Tak mengherankan jika sebagian orang menyebutnya sebagai kota Eropa yang terdampar di Mesir dan letaknya yang di pinggir pantai, berhawa sejuk, bersih dan tertata menjadikan Alexandria tempat favorit liburan musim panas.
Di antara peninggalan Hellenic yang masih bisa disaksikan sampai sekarang adalah perpustakaan legendaris pertama di dunia, Bibliotheca Alexandrina.
Manuskrip Aristrophanes di perpustakaan Calligio Romano, Roma, mengisahkan perpustakaan Mesir yang dibangun pada 300 tahun SM ini. Atas usul seorang filsof Yunani dan ahli politik bernama Demitrius Valiery, Ptolemi I penerus Alexander membangun pusat pengembangan ilmu pengetahuan bernama Mouseion (tempat ibadah semua Dewa Pengetahuan dan Seni). Ia belanjakan harta kerajaan untuk membeli buku dari seluruh pelosok negeri hingga terkumpul 442.800 buku dan 90.000 lainnya berbentuk ringkasan tak berjilid. Hingga masa Ptolemi III tercatat sekitar 700.000 buku tersimpan di sana. Selain mengoleksi pustaka Yunani, perpustakaan ini juga menyimpan berbagai manuskrip Mesir kuno dan bangsa Phoenix, serta sebagian kitab Hindu dan Budha. Bukti lain keseriusan mereka adalah upaya penerjemahan, seperti Septuagint (Sab’iniyyat) terjemahan dari kitab suci Yahudi, Taurat.
Simbol peradaban Mesir ini telah melahirkan ilmuwan besar seperti Archimides, Euclide, Kalimakhus, Hypatia, Apollonius dan sebagainya.
Namun 3 abad kemudian keemasan ini berakhir. Redupnya pelita ilmu Alexandria ini ditandai dengan tragedi pembakaran perpustakaan oleh Julius Caesar saat invasi ke Mesir di tahun 48 SM. Berdasar catatan Sinika, sejarawan yang turut dalam ekspedisi itu, tak kurang dari 400.000 buku dibakar. Dunia ilmu berduka, dan Julius Caesar minta maaf. Untuk menebusnya, Marx Antonio yang datang setelah Caesar menghadiahkan 200.000 buku dari Roma kepada Cleopatra yang berlanjut pada kisah cintanya.
Sejak tragedi pembakaran tersebut, perpustakaan tidak terurus. Atas prakasa UNESCO bekerja sama dengan pemerintahan Mesir, munculah ide menghidupkan kembali perpustakaan legendaris ini. Pembangunan dimulai 1990an dan menghabiskan dana US$ 220 juta, US$ 120 juta ditanggung Mesir, sisanya dari bantuan internasional dan negara-negara lain.
Setelah terbengkalai 2.000 tahun, perpustakaan Alexandria kini berdiri lagi dengan arsitek unik dan megah. Bangunan utama berbentuk bulat beratap miring, terbenam dalam tanah. Di bagian depan sejajar atap, dibuat kolam untuk menetralkan suhu pustaka, terdiri lima lantai di dalam tanah, perpustakaan ini dapat memuat sekitar 8 juta buku. Namun yang ada saat ini baru 250.000 buku dan akan terus bertambah tiap tahun.Selain itu juga menyediakan berbagai fasilitas, seperti 500 unit komputer berbahasa Arab dan Inggris untuk memudahkan pengunjung mencari katalog buku, ruang baca berkapasitas 1.700 orang, conference room, ruang pustaka Braille Taha Husein khusus tuna netra, pustaka ana-anak, museum manuskrip kuno, lima lembaga riset, dan kamar-kamar riset yang bisa dipakai gratis.
Yang juga menarik, lantai tengah yang gallery design dan bisa dilihat dari berbagai sisi. Di lantai kayu yang cukup luas itu terpajang berbagai prototype mesin cetak kuno dan berbagai lukisan dinding. Penulis mengamati perpustakaan ini relatif penuh pengunjung, meski di Alexandria tidak banyak universitas seperti di Kairo. Ini menunjukkan tingginya minat baca masyarakat Mesir dan perpustakaan yang dulu dihancurkan Julius Caesar itu kini menjadi salah satu objek wisata sebagaimana Piramid Giza, Mumi, Karnax Temple, Kuburan para Firaun di Luxor atau Museum Kairo yang menyimpan timbunan emas Tut Ankh Amon.
(Farid Mustofa - Dosen Filsafat UGM yang ke Mesir untuk penjajagan kerja sama internasional UGM dengan ‘Cairo University dan Canal Suez University’)-b
KETIKA Alexander The Great (Iskandar Yang Agung) menginjakkan kakinya di pantai barat Mesir pada 332 SM, ia tercengang dengan keindahan alamnya. â€Di sinilah kota impianku akan kubangunâ€, katanya. Alexandria atau Iskandaria, nama kota itu kemudian menjadi ibukota Mesir selama hampir 1.000 tahun, sebuah kota kosmopolitan yang dihuni bukan saja oleh bangsa Mesir, tetapi juga Turki, Itali dan Yunani. Bersama Athena di Yunani dan Anthiocia di Syiria yang kini punah, Alexandria menjadi pusat intelektual imperium Iskandar yang membentang dari India hingga Mesir.
Berbeda dengan Kairo yang terkenal sebagai Kota Seribu Masjid, atau Luxor (al-Aqshar, 750 Km dari Kairo), pusat peradaban Mesir 3.000 SM yang kental nuansa Pharonic, Alexandria hampir sepenuhnya bercorak Barat. Tak mengherankan jika sebagian orang menyebutnya sebagai kota Eropa yang terdampar di Mesir dan letaknya yang di pinggir pantai, berhawa sejuk, bersih dan tertata menjadikan Alexandria tempat favorit liburan musim panas.
Di antara peninggalan Hellenic yang masih bisa disaksikan sampai sekarang adalah perpustakaan legendaris pertama di dunia, Bibliotheca Alexandrina.
Manuskrip Aristrophanes di perpustakaan Calligio Romano, Roma, mengisahkan perpustakaan Mesir yang dibangun pada 300 tahun SM ini. Atas usul seorang filsof Yunani dan ahli politik bernama Demitrius Valiery, Ptolemi I penerus Alexander membangun pusat pengembangan ilmu pengetahuan bernama Mouseion (tempat ibadah semua Dewa Pengetahuan dan Seni). Ia belanjakan harta kerajaan untuk membeli buku dari seluruh pelosok negeri hingga terkumpul 442.800 buku dan 90.000 lainnya berbentuk ringkasan tak berjilid. Hingga masa Ptolemi III tercatat sekitar 700.000 buku tersimpan di sana. Selain mengoleksi pustaka Yunani, perpustakaan ini juga menyimpan berbagai manuskrip Mesir kuno dan bangsa Phoenix, serta sebagian kitab Hindu dan Budha. Bukti lain keseriusan mereka adalah upaya penerjemahan, seperti Septuagint (Sab’iniyyat) terjemahan dari kitab suci Yahudi, Taurat.
Simbol peradaban Mesir ini telah melahirkan ilmuwan besar seperti Archimides, Euclide, Kalimakhus, Hypatia, Apollonius dan sebagainya.
Namun 3 abad kemudian keemasan ini berakhir. Redupnya pelita ilmu Alexandria ini ditandai dengan tragedi pembakaran perpustakaan oleh Julius Caesar saat invasi ke Mesir di tahun 48 SM. Berdasar catatan Sinika, sejarawan yang turut dalam ekspedisi itu, tak kurang dari 400.000 buku dibakar. Dunia ilmu berduka, dan Julius Caesar minta maaf. Untuk menebusnya, Marx Antonio yang datang setelah Caesar menghadiahkan 200.000 buku dari Roma kepada Cleopatra yang berlanjut pada kisah cintanya.
Sejak tragedi pembakaran tersebut, perpustakaan tidak terurus. Atas prakasa UNESCO bekerja sama dengan pemerintahan Mesir, munculah ide menghidupkan kembali perpustakaan legendaris ini. Pembangunan dimulai 1990an dan menghabiskan dana US$ 220 juta, US$ 120 juta ditanggung Mesir, sisanya dari bantuan internasional dan negara-negara lain.
Setelah terbengkalai 2.000 tahun, perpustakaan Alexandria kini berdiri lagi dengan arsitek unik dan megah. Bangunan utama berbentuk bulat beratap miring, terbenam dalam tanah. Di bagian depan sejajar atap, dibuat kolam untuk menetralkan suhu pustaka, terdiri lima lantai di dalam tanah, perpustakaan ini dapat memuat sekitar 8 juta buku. Namun yang ada saat ini baru 250.000 buku dan akan terus bertambah tiap tahun.Selain itu juga menyediakan berbagai fasilitas, seperti 500 unit komputer berbahasa Arab dan Inggris untuk memudahkan pengunjung mencari katalog buku, ruang baca berkapasitas 1.700 orang, conference room, ruang pustaka Braille Taha Husein khusus tuna netra, pustaka ana-anak, museum manuskrip kuno, lima lembaga riset, dan kamar-kamar riset yang bisa dipakai gratis.
Yang juga menarik, lantai tengah yang gallery design dan bisa dilihat dari berbagai sisi. Di lantai kayu yang cukup luas itu terpajang berbagai prototype mesin cetak kuno dan berbagai lukisan dinding. Penulis mengamati perpustakaan ini relatif penuh pengunjung, meski di Alexandria tidak banyak universitas seperti di Kairo. Ini menunjukkan tingginya minat baca masyarakat Mesir dan perpustakaan yang dulu dihancurkan Julius Caesar itu kini menjadi salah satu objek wisata sebagaimana Piramid Giza, Mumi, Karnax Temple, Kuburan para Firaun di Luxor atau Museum Kairo yang menyimpan timbunan emas Tut Ankh Amon.
(Farid Mustofa - Dosen Filsafat UGM yang ke Mesir untuk penjajagan kerja sama internasional UGM dengan ‘Cairo University dan Canal Suez University’)-b