Tuesday, 10 December 2019

, , ,

Bookless library #2

pos ronda
Kejadian beberapa malam lalu masih terngiang di memory otak Paijo. Ketika Soplo, kawan gaplenya membuatnya tak berkutik. Alih-alih takjub dengan penjelasannya tentang Bookless Library, Soplo justru mengatakan bahwa bookless library itu bukan barang baru. Bahkan, gardu ronda tempat mereka gaple waktu itu, juga bookless library. Demikian yakin Soplo.

Bookless Library #1: http://www.purwo.co/2019/09/bookless-library.html

“Kang, aku diskak Soplo,”. Paijo cerita panjang lebar tentang pengalamannya beberapa waktu lalu. Cerita tentang bookless library, tentang pos ronda, tentang gaple, tentang kopi pada Karyo, seniornya.

Tidak hanya itu. Paijo juga cerita tentang Kang Giyo, kawannya, yang sering membuat analogi musik Elya Khadam vs Via Vallent untuk menjelaskan keharusan berubahnya perpustakaan dan pustakawan. Jaman ini orang lebih suka dangdutnya Via Vallent. Demikian juga perpustakaan. Kudu berubah agar tidak ditinggalkan penikmatnya.

****

“Hmm. Begitu, tho.,” Karyo komentar pendek.

“Iya, Kang. Aku diskak.” Paijo menggaris bawahi.

“Jo. Apa persamaan Ellya Khadam dan Via Vallen?”. Karyo justru malah bertanya pada Paijo.

“Yo sama-sama perempuan tho, Kang,” gitu saja tanya.

“Kamu itu. Ini Serius. Kita coba cari garis penghubungnya. Ellya dan Via Vallent itu sama-sama nyanyi. Jual suara. Lalu diiringi musik, ada ketipung, juga suara gendang. Gendangnya bisa asli bisa pula imitasi,” jelas Karyo.

“Lalu, Kang?”, Paijo penasaran.

“Keduanya ada ciri sama yang tetap ada, sehingga musik generasi berikutnya tetap memakai term dangdut: dangdut koplo. Bukan koplo, thok. Artinya dangdut koplo tetap berhak menyandang nama ‘dangdut’, karena unsur dangdutnya masih ada: kendang, suling, ketipung.” tegas Karyo.

“Kalau unsur dangdut itu tidak ada, maka tak bisa dia disebut dangdut, Jo!”.

Paijo mengangguk. Tumben juga tidak ngeyel.

“Lalu apa alasan tempat yang tak ada bukunya alias bookless itu berhak tersemat kata library sehingga jadi bookless library?”, Paijo nyambung dengan penjelasan Karyo dan bertanya balik.

“Nah, itu, Jo. Kapan sebuah tempat yang tak ada bukunya boleh diberi label library, dan kapan tidak?”, Karyo menegaskan pertanyaan Paijo. Bukan menjawabnya.

“Jelasnya, logika Ellya Khadam dan Via Valent itu tidak nyambung jika dipakai untuk menganalisis bookless library?” Paijo menyimpulkan dengan setengah bertanya.

“Lalu bagaimana dengan pandangan Soplo, Kang? bahwa pos ronda itu juga bookless library.” Paijo penasaran dengan pendapat Karyo.

“Soplo benar, Jo. Benar. Mutlak benar. Pos ronda boleh disebut bookless library. Pendapat Soplo hanya akan gugur jika pos ronda tidak dimungkinkan memiliki salah satu ciri  wajib bookless library!,” Karyo.

“Loh, memangnya apa saja ciri bookless library, Kang?”, tanya Paijo.

“Ra jelas!”, Karyo menjawab singkat.

Paijo mrengut. Dia mbatin, Karyo ketularan mbeling.

[bersambung]



Share:

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih, komentar akan kami moderasi