Monday, 30 September 2019

Dua "kubu" karakter surat edaran kampus tentang aksi gejayan memanggil di Jogja


Visualisasi apakah ini? 
Ini visualisasi surat edaran dari beberapa institusi terkait aksi Gejayan memanggil beberapa hari lalu di Jogja (September 2019).

Bagaimana caranya?
Surat edaran kami kumpulkan. Terdapat 9 surat yang terkumpul, masing-masing point pada surat saya cari kata kuncinya. Setelah itu, saya dimasukkan ke Zotero. Judul pada Zotero diisi nama institusi, kemudian kata kunci dimasukkan di tag. Setelah selesai dieksport ke RIS, kemudian dimasukkan ke Vos Viewer.

Apa hasilnya?
Hasilnya ada di bawah ini. Pada bagian kiri, dihuni beberapa institusi (diperlihatkan dengan beberapa warna berbeda) dengan kata kunci dominan: tidak mendukung, akademik tetap berjalan, dll. 

sisi kiri

Kata kunci itu menunjukkan sikap institusi pada aksi dan pada peserta aksi (mahasiswa). Tidak mendukung artinya tidak mendukung aksi, akademik tetep berjalan artinya hendak menunjukkan bahwa di kampus masih ada proses kuliah. Seolah ingin menyampaikan bahwa aksi yang diadakan itu menyalahi jam akademik.

Sementara sebelah kanan hanya sendirian tidak terkait dengan institusi lain yang ditunjukkan oleh warna yang hanya satu (merah). Kata kuncinya pun berbeda karakternya dengan yang kiri. Sebelah kanan ini justru muncul: tidak melarang, melakukan kajian, serta peduli masalah bangsa. 

Sisi kanan 


Artinya, institusi yang ada di sisi kanan ini ingin menunjukkan sikap tidak melarang aksi, asal dengan kajian, dan peduli (atau menunjukkan kepedulian) pada masalah bangsa.

Keren, kan! 

Untuk melihat versi interaktif, silakan cermati dataset yang telah kami pasang di Vosviewer online di bawah ini:
(Silakan tekan Shift + Scrool untuk zoom in/out di Windows)

Lalu, apa artinya?
Ada beberapa institusi yang bersuara sama. Ada yang surat edarannya mirip.

Namun di sisi lain, ada yang sendirian, dan berbeda. Keberanian institusi yang membuat narasi surat edaran berbeda dengan yang lainnya ini (menurut saya) layak diapresiasi. Keren dan joss.

Mana yang masuk kelompok kanan, mana yang kiri? Bisa dicek dari beberapa tangkapan layar di bawah ini.

Kesimpulannya?
Monggo disimpulkan sendiri.

Data:









Khusus SE UII saya peroleh dari twitter

Sumber: Twitter https://twitter.com/Justitia20_/status/1176000982351634432/photo/1 
(info tambahan ada di URL Bernasnews)






Thursday, 12 September 2019

, , ,

Bookless library


Paijo, dan tentu saja dengan kawan-kawannya, ngepos di gardu ronda. Hampir tak ada yang absen. Mereka kolega satu klub dalam meronda.  Namun mereka rival dalam pergaplean, salah satu ritual wajib dalam ronda.

Sambil guyon ngalor ngidul, Paijo sebagaimana biasanya, tentu saja sambil promosi ilmunya: ilmu perpustakaan. Ia, bagaimanapun juga, ingin agar orang lain tahu perkembangan ilmu yang selama ini digeluti. Ya. Meski lebih sering dia ragukan, paling tidak orang lain tahu, bahwa dia pernah kuliah. Sinau di universitas.

***

"Sekarang perkembangan perpustakaan semakin maju, lho," Paijo membuka diskusi sambil nyabetke kartu bergambar bulatan merah berjumlah 12, yang sejak lama nangkring di genggamannya.

Teman-temannya diam. Mereka fokus. Konsentrasi pada kartu di tangan masing-masing, tentu saja sambil menghitung-hitung dan memrediksi.

"Sekarang ada yang disebut bookless library" lanjut Paijo. Teman-temannya masih saja diam, sesekali senyum melihat kartu, atau tangannya meraih gelas berisi kopi kental tur pahit. "Srrrup," suara itu terdengar ketika kopi disruput, disusul mata yang merem melek. Gerrr.

"Itu perpustakaan yang tidak ada bukunya. Tempatnya bagus, keren, kekinian. Bisa untuk selonjoran, tiduran, sambil dolanan laptop, nggambar utawa nggawe video," Paijo nerocos. Agaknya beberapa point yang ingin dijelaskan dikeluarkan semua. Berharap bisa mencuri perhatian kawan-kawannya.

"Isa juga sambil ngopi, ada kafenya". Paijo tampak tambah mantap menjelaskan.

Beberapa lama teman-temannya tetap diam. Mereka tetap fokus pada permainan. Paijo terus bermain sambil meneruskan penjelasannya.

Ketika Paijo sejenak berhenti menjelaskan, salah satu kawannya tertawa ngakak. "Jo, kayak gitu kok dibilang maju," Soplo, rival abadi Paijo dalam pergaplean menyela.

"Sampeyan cerita, pikiranku tidak ke mana-mana. Tetap di gardu ronda ini, je" lanjut Soplo.

Soplo menunjukkan kartunya sudah habis. Dia menang.

"Kok iso, Plo?, Paijo penasaran.

"Lah, bisa saja. Yang kamu ceritakan itu semuanya ada di gardu ronda ini, je. Selonjoran bisa, main laptop bisa, dolanan hape bisa. Di sini juga ndak ada buku sama sekali. Bookless seperti yang kamu bilang tadi. Sama," terang Soplo.

"Di sini apapun bisa. Mau gawe video juga bisa. Tinggal pakai hapemu itu buat merekam kita yang lagi gaple ini. Upload ke yutub lalu dapat duit" Soplo melanjutkan.

"Ngopi?, gampang. Ndak perlu kita pencat-pencet gadget pesan kopi. Tiap malam wis ana sik njatah. Ndak hanya kopi, tapi lengkap sama pacitane. Mau baca buku, tinggal buka hape, trus gugling. Akeh. Yang paling penting, di sini bisa gaple, Jo." Soplo melanjutkan.

"Ndak usah jauh-jauh. Pos ronda kita ini juga bookless library, Jo," kata Soplo.

Paijo kaget. Wajahnya kecut. Dia diam, lalu lanjut mengaduk kartu dan membagikannya. Gaple putaran berikutnya dimulai. Ya dimulai.

Sunday, 8 September 2019

,

Perpustakaan di mata Google: sebuah analisis kuanlitatif

Latar belakang
Para orang pinter bidang perpustakaan selalu bersepakat bahwa perpustakaan itu harus unjuk gigi. Biar gigi-giginya, yang selama ini tertutup bisa dilihat banyak orang. Kalau orang pada lihat gigi putih dan bersinar, disinyalir akan terpesona.  Juga unjuk jari. Maksudnya, pustakawan memainkan jari-jarinya, pencat-pencet smartphone untuk memopulerkan perpustakaannya. Post, like, and share.

Tidak heran, banyak perpustakaan yang memiliki media sosial yang memuat berbagai hal tentang perpustakaan itu. Ada juga yang diposting di laman media sosial pustakawannya. Ya, memang ada bedanya sih. Di laman perpustakaan itu untuk yang tampak formal, wangun. Yang di laman pustakawannya itu yang gayeng-gayeng, selfie-selfie dan suka-suka. Mulai dari foto di kursi yang baru dibeli untuk perpusnya. Atau foto makan soto bareng pustakawan lainnya untuk menunjukkan betapa hangat dan  guyub para pustakawannya.

Selain pustakawan, ada pula pemustaka yang memberi komentar pada perpus dan pustakawannya. Komentar itu ada di berbagai tempat. Salah satunya di Google. Google, sebagai mesin pelacak nomor wahid di dunia, memiliki rekaman jejak komentar tentang perpustakaan.

Sebagai pengelola perpustakaan, pustakawan bertanggungjawab pada popularitas perpusnya di mata pemustaka. Pustakawan yang sering ikut kol for peper, disinyalir akan berpengaruh pada popularitas perpusnya. Ya, karena dia bisa belajar banyak ketika kol for peper. Selain itu, mestinya ada sentimen positif, dong, dari pemustaka pada perpusnya jika pustakawannya sering ikut kol for peper. Tentu bergengsi. Pemustaka mana ndak seneng jika pustakawannya berprestasi di kol for peper?

Nah, sentimen positif ini bisa dimunculkan di ulasan Google.

Namum, sejauh apa popularitas perpustakaan itu di mata Google lewat ulasan para pemustakanya?

Penelitian yang sangat ilmiah ini akan membuktikannya.

Prasangka
Perpustakaan yang pustakawannya banyak ikut kol for peper, maka popularitas perpustakaannya akan ada di atas rata-rata. Tinggi.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode kuanlitatif. Data dikumpulkan dengan metode klak-klik, dan salin tempel. Alat yang digunakan yaitu: komputer lengkap dengan tetikus dan kibot atau papan ketik, serta tentu saja paket data harus tersedia. Lebih baik 4G, biar wus-wus-wus.

Nama perpustakaan dikumpulkan dengan metode nggrambyang. Metode ini merupakan kombinasi antara memori dan respon tangan dalam mengetik di kibot pada laman mesin pencari Google.

Nama perpustakaan yang sudah muncul di laman Google, kemudian dianalisis dengan metode lihat-lihat, serta cermati-pindai.

Data dikumpulkan pada hari Minggu, 8 September 2019. Perubahan data pada Google di periode berikutnya, sangat dimungkinkan. Jika ini terjadi, maka bukan tanggungjawab penulis.

Ah, teori
Di Google, ada beberapa angka yang menunjukkan karakter perpustakaan. Pertama skor, yang ditentukan oleh klik bintang yang dilakukan pengulas. Kemudian komentar yang ditulis oleh pengulas. Sebenarnya komentar ini bisa dipetakan lagi, pakai analisis sentimen. Baik, buruk. Atau bisa juga dipetakan berdasar jenis komentarnya: tentang fisik perpus, pustkawannnya, fasilitasnya, koleksinya, atau mungkin toilet dan kamar mandinya. Tapi itu tidak dilakukan dipenelitian ini. Lama, eui.

Angka berikutnya rata-rata jam yang dihabiskan di perpustakaan. Agaknya Google menghitung dari data yang direkamnya melalui google map. Lalu terakhir hari buka dan jam tutup perpustakaan. Google punya algoritma lacak untuk info ini, tentunya melalui perilaku para pemustakanya.

Pembahasan
Berikut tabel hasil pengumpulan data. Data diurutkan berdasar jam rata-rata pemustaka menghabiskan waktu di perpustakaan. Alasannya apa? Agar terlihat, di perpus mana pemustakanya paling betah di perpustakaan.

Tabel satu-satunya: data perpus dari Google (8/9/2019)
no
nama perpus
skor (bintang) di Google
jumlah komentar
rata-rata pemustaka di perpus (jam)
Jam tutup (malam)
1
ITS
-
69
4
19
2
Kota Jogja
4.4
394
3.5
24 jam
3
UGM
4.7
255
3.5
20
4
UIN Jakarta
4.4
69
3.5
20
5
FT UGM
4.7
52
3.5
19.30
6
UMY
4.4
28
3.5
17
7
UI
4.5
388
3
19
8
UIN Jogja
4.6
137
3
18
9
UNIBRAW
4.5
129
3
22
10
ITB
4.8
109
3
21
11
IPB
4.6
100
3
21
12
USU
4.5
81
3
16
13
UIN Malang
4.7
44
3
18
14
UNSYIAH
-
19
2.5
21
15
UIN Walisongo
4.6
60
2
17
16
UII
4.9
29
-
-
17
UAJY
4.3
14
-
19
18
UIN Sunan Ampel
4.1
10
-
18

Ada 18 perpustakaan yang berhasil kami kumpulkan. Kenapa 18? Karena 18 x 2 itu 36. Tiga puluh enam merupakan angka keramat pada jaman dulu. 36 merupakan jumlah selembar gambar templek mainan saya waktu kecil.

Pada tabel di atas, terlihat skor paling tinggi  ada pada perpustakaan UII, dengan angka 4.9. Namun sayangnya, UII hanya punya 29 pengulas. Padahal mahasiswa UII sebagian besar sekali, pasti banyak yang punya smartphone, yak. Mungkin perlu usaha lagi untuk memopulerkan perpus agar banyak yang mengulasnya.

Sementara itu, paling banyak diulas yaitu perpustakaan Kota Jogja, dengan 394 pengulas. Angka ini memunculkan skor 4.4. Agaknya dengan banyaknya pengulas, skor ini sudah mulai stabil. Beda dengan UII yang baru 29.

Untuk rata-rata jam dihabiskan di perpusakaan, paling lama di perpustakaan ITS, 4 jam. Perpustakaan lainnya hanya kisaran 3-3,5. Bahkan ada yang hanya 2 jam saja. Sayangnya, Google tidak mendefinisikan skor perpustakaan ITS. Entah apa yang dimiliki perpustakaan ini. Empat jam itu setara 3 SKS lebih.



Perpustakaan kota jogja, selain memiliki pengulas paling banyak,  juga memegang rekor buka paling lama. Google mengenalinya sebagai perpustakaan yang buka 24 jam full 7 hari terus-terusan. Uelok tenan. Hal ini juga terkonfirmasi pada laman https://arsipdanperpustakaan.jogjakota.go.id/menu.php?page=2.



Latar depan
Apa itu latar depan? Latar depan itu latar yang terlihat banyak orang. Kalau latar belakang, ndak semua orang bisa lihat. Nah, latar depan itu isinya kesimpulan.

Mosok ada latar belakang, kok ndak ada latar depan.

Kesimpulan dari data data dan pembahasan di atas, yaitu: bergembiralah jadi pustakawan. Meskipun ada kawan-kawanmu yang tidak kuat jadi pustakawan, dan meninggalkanmu. 

Kesimpulan lain, terkait prasangka yang sudah dibuat. Ternyata prasangka tidak terbukti. Atau, tidak sepenuhnya terbukti. Atau, belum bisa dibuktikan. Halah.

Namun, populernya perpustakaan, tidak ditentukan oleh seberapa banyak pustakawannya ikut kol for paper. Melainkan oleh berapa banyak yang mengulasnya. (Ya, iyalah... namanya juga data diambil dari Google ulasan).

Rekomendasi dan Penelitian lanjutan
Pustakawan dan kepala perpustakaan, berdasar penelitian ini, direkomendasikan untuk berbaik hati pada pemustaka. Agar lebih banyak yang mengulas dan isinya bagus, serta memberi bintang 5.

Penelitian ini masih terbatas. Data hanya didasarkan dari Google. Dimungkinkan untuk dilanjutkan dengan penelitian lanjutan, secara lebih medalam, tajam, dan terpercaya. Selanjutnya bisa pula dipublikasikan di jurnal Q1, bahkan di atasnya. Atau, bagi para penggemar jalan-jalan, bisa dikirim ke konferensi, dipresentasikan di kol for paper berbagai konferensi kepustakawanan.

Terima kasih
Kami sampaikan terimakasih pada Google, yang sudah menyediakan datanya. Segala kelebihan penelitian ini adalah buah jasa dan datang dari Google. Sedangkan kekuranganya karena diri saya sendiri.