Sunday, 17 November 2024

Catatan Si Kimpul

Pada hari Senin, Kimpul berangkat kuliah. Ke kampus kebanggaannya, Universitas Rakyat Lucu (URL). Dibawanya rambutan pisang, tanpa sayur mayur; oleh-oleh pamannya yang datang dari desa. Rambutan pisang itu dibawa untuk dimakan bareng teman-teman kuliahnya. Tak lupa, biar ringkes dan mudah dicangking, dibungkuslah rambutan pisang itu dengan plastik.

Memasuki gerbang kampus, sorot mata keamanan kampus langsung tertuju padanya. Tanpa fufu fafa, Kimpul ditanya, “Kenapa pakai bungkus plastik?”.

Plastik merupakan potensi sampah yang sulit diurai. Kampus menerapkan peraturan ketat terkait plastik. Peraturan adalah peraturan. Harus ditegakkan setegak-tegaknya.  Bukankah peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplikan, juga keadilan. Siapa bawa plastik harus dicatat pada buku besar. Catatan itu sebagai bukti dan sejarah, bahwa ada murid bandel di kampus. Catatan itu hanya bisa dihapus jika Kimpul mau ikut berkontribusi, patroli menegakkan peraturan kampus.

Pada hari Rabu, Gaplek, tenaga kependidikan kampus, berangkat kerja. Gaplek datang ke kampus naik ojek online. Motornya sedang tidak baik-baik saja. Perlu dibengkelkan. Sampai gerbang kampus, Geplek dicegat Kimpul. Dengan berseragam rompi biru, Kimpul melakukan interogasi, “Kenapa tidak pakai helm?”. 

Helm wajib dipakai saat naik kotor, meskipun di dalam kampus. Kampus menerapkan peraturan ketat tentang helm. Ini wujud kepedulian pada keselamatan warga kampus. Peraturan adalah peraturan. Harus ditegakkan setegak-tegaknya. Bukankah peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplikan, juga keadilan. Siapapun yang naik motor tidak pakai helm harus dicatat pada buku besar. Catatan itu sebagai bukti dan sejarah, bahwa ada tendik bandel di kampus. Catatan itu hanya bisa dihapus jika Gaplek mau berkontribusi pada penegakan peraturan kampus. Gaplek harus ikut patroli.

Pada hari Kamis,  Pak dosen Kaspo habis mengajar. Mulutnya kecut. Di taman kampus dia keluarkan bekal slepen berisi tembakau, lengkap dengan cengkeh dan woor cap 55. Setelah diramu, diapun klepas-klepus merokok. Gaplek, tendik yang tempo hari tertangkap tidak pakai helm, melihat dosen Kaspo. Di dekati, disapa, dan kemudian di tanya, “Pak Dosen merokok?”. 

Merokok adalah hal nista di kampus. Kampus menerapkan peraturan ketat tentang rokok. Ini wujud kepedulian pada kesehatan warga kampus. Peraturan adalah peraturan. Harus ditegakkan setegak-tegaknya.  Bukankah peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplikan, juga keadilan. Siapa yang merokok di dalam kampus harus dicatat pada buku besar. Catatan itu sebagai bukti dan sejarah, bahwa ada dosen bandel merokok di kampus. Catatan itu hanya bisa dihapus jika dosen Kaspo mau berkontribusi pada penegakan peraturan kampus. Dosen Kaspo harus ikut patroli.

Pada hari Jumat, Bu Mlati ke kampus. Bu Mlati adalah istri dosen, pegiat dharma wanita. Seperti biasanya, dia menuju kantin kampus. Buka lapak dagangan, baik bikinan sendiri maupun titipan. Mulai dari minuman ringan sampai makanan berat. Baik dipajang di etalase, maupun ada di kulkas.

Dosen Kaspo habis mengajar. Meski mulutnya kecut, dia tak lagi berani merokok. Khawatir dipergoki Gaplek. Diapun masuk kantin, mencari cemilan pengganti rokok. Begitu masuk kantin, dosen Kaspo tak menyangka isi di dalamnya. Dia dapati banyak dagangan kantin yang berbungkus plastik. Benda terlarang di kampus tempat dia berkerja. 

Dosen Kaspo pun dapat ide untuk menghapus catatan pelanggaran merokok yang tempo hari dilakukannya. Temuan plastik sebagai bungkus dagangan di kantin akan diajukan sebagai bukti penghapus catatan. 

Dia dekati bu Mlati, untuk menanyakan dan memotret untuk ambil bukti. 

Sebelum dosen Kaspo mengutarakan maksudnya, bu Mlati, anggota dharma wanita itu sudah lebih dulu menatap tajam ke dosen Kaspo. Nyali dosen Kaspo ciut. Wibawa di depan kelas saat mengajar, hilang seketika. Mengkerut, lalu sirna. Dosen Kaspo tidak berani melanjutkan misinya menghapus catatan pelanggaran.

Tak berani membalas tatapan bu Mlati, dosen Kaspo balik kanan. Pergi keluar kampus, jajan bakso dan es teh di warung Yu Terong.

[tamat]


Cerpen di atas terinspirasi dari cerpen mini berjudul "Hukuman" karya Eko Triyono yang dimuat pada buku Republik Rakyat Lucu. Judul buku ini juga menginspirasi penamaan Universitas Rakyat Lucu pada tulisan ini.







Friday, 1 November 2024

Paijo, plastik, dan suksesnya hilirisasi riset

Ini tentang Paijo. Pustakawan ndeso, yang tak lagi muda, tidak kaya, tapi cukup berbahaya. 

Rumahnya di pelosok, hanya hitungan meter dari tepi hutan. Saat malam hari, suasana sepi. Hening. Hanya suara angin berhembus, jangkrik mengerik. Kadang kodok mengorek, kunang-kunang beterbangan. 

Suasana itulah yang sering dimanfaatkan Paijo untuk kontemplasi. Dia begitu terobsesi dengan Suryomentaraman. Bangsawan yang menanggalkan status kebangsawanannya, keluar keraton, gemar menepi untuk mencari yang sejati. 

*****
Malam belum larut. Paijo menikmatinya dengan nyante. Ditangannya terselip udud lintingan. Harum cengkehnya terasa kuat. Tajam. Menguar di udara. 

Di atas lincak teras rumah dia duduk. Klepas-klepus sambil melihat bintang di langit. Di sampingnya tersaji secangkir kopi dan tempe garit goreng di atas daun pisang.

Sejenak dia duduk sendirian. Hingga tampak dari kejauhan, Karyo, teman karibnya datang mendekat.
Karyo: "Jo, setiap aku ketemu kamu, seringnya kamu melamun. Pilihan presiden sudah selesai, pulung telah jatuh pada orang yang tepat. Jangan kau pikirkan"
Paijo: "Kang. Bukan presidennya yang tak pikirkan, Kang. Tapi wa..."

Paijo menutup mulutnya sendiri. Suara "Wa.." yang keluar dari mulutnya tidak berlanjut. 

"Sedang memikirkan plastik, Kang," ungkap Paijo.

Karyo kaget. Tidak biasanya Paijo begitu.

"Lamunanmu di luar nalar, Jo," ucap Karyo.

Umumnya Paijo melamun tak jauh dari masalah perpustakaan, mulai dari perkembangannya, pustakawannya, dan kritiknya. Sekarang masalah plastik. Tentu ini jauh dari kebiasaan. Barang sepele macam plastik, jadi lamunannya Paijo. Sepertinya materi plastik itu tidak setara dengan kapasitas Paijo. Terlalu remeh. Receh.

Namun Karyo tetap mencoba mendengarkan uraian Paijo.

Tak berselang lama, istri Paijo muncul, membawa nampan berisi secangkir kopi. Tentu saja untuk Karyo, kawan karib suaminya.

****

Paijo mulai bercerita.

Kehidupan manusia saat ini, tak dapat lepas dari plastik. Jika toh bisa, pasti ada pengecualiannya. Plastik telah sukses masuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Dari tingkat atas sampai bawah, dari kaya sampai miskin, dari desa sampai kota. 

Dan saat begitu banyak orang memanfaatkan plastik, maka potensi sampah plastik pun semakin banyak. Menggunung. Di pasar, di pinggir jalan, bahkan di sungai sampai lautan.

"Di sisi lain, kita tidak dapat tutup mata, Kang. Plastik itu wujud suksesnya hilirisasi riset", ungkap Paijo.

Ya. Bagi Paijo, plastik menjadi contoh riset yang sukses. Riset yang berdampak, riset yang bermanfaat, riset yang membumi, riset yang bukan utopia, riset yang begitulah.

Para peneliti, menurut Paijo harus berkaca pada ekosistem risetnya plastik sekaligus penyerapan oleh konsumennya.

"Jangan semena-mena sama plastik," tegasnya.

Plastik itu simple, ringan, tapi bermanfaat. Tepat guna. Seharusnya riset punya ruh yang membumi.

"Bukan riset yang ngawang-awang, narsistik, tapi dampaknya mendekati 0 (nol)," kata Paijo.

"Wah, ya jangan terlalu keras begitu, Jo," Karyo menasehati.

Paijo sebenarnya tidak keras juga dalam menanggapi riset yang tak berdampak. Toh memang itu terjadi. Riset, yang dicita-citakan dapat terhilirkan itu, tak semua berhasil. Macam-macam masalahnya. Mulai dari manfaat yang kurang, perlu dukungan dana besar untuk melakukan produksi massal, maupun karena memang sebenarnya kurang berkualitas, kalah jauh dari hasil riset perusahaan.

"Kalah, Kang," kata Paijo. Perusahaan itu punya dana untuk riset, dan lab yang tak kalah canggih. Lebih canggih bahkan dibanding milik kampus. Perusahaan hanya kalah dalam satu hal.

"Apa itu, Jo," tanya Karyo.
"Ndak punya Profesor", jawab Paijo.

"Tapi, perusahaan itu, dengan dana yang dimiliki bisa manggil profesor kampus, diajak mroyek. Mesti seneng. Begitu. Hahahaha," Paijo ngakak.

----

"Jo, jangan-jangan level kita itu bukan hilirisasi riset!, ungkap Karyo.

"Lalu?", tanya Paijo

"Hilirisasi periset," Karyo menjawab sambil membetulkan sarungnya yang melorot. Pulang.

Paijo tersenyum. Agaknya dia membenarkan ungkapan Karyo.


Udud klembak menyan yang tersisa sesenti itu dicecek. Paijo meraih cangkir kopinya. Hampir habis. Tinggal satu sruputan saja. Dia habiskan. Ditarik sarungnya jadi selimut. Dia bergumam, memanjatkan doa. Semoga penemu plastik mendapat pahala, diampuni dosanya, dan masuk surga.

Sesaat kemudian Paijo sudah terbaring, tidur pulas di lincak teras rumah bercengkerama dengan mimpinya.

[kalau ada ide lagi, bisa ada sambungannya] 



Sunday, 20 October 2024

Universitas mana yang publikasinya paling berkualitas? Hasilnya mencengangkan

Muncul poster yang menggelitik. Poster itu berisi nama-nama universitas dengan urutan berdasar kualitas riset. Paling atas ada UMS. Ini yang mungkin membuat mak jegagik.

Ini posternya.

Sumber: IG ini

Baik, sekarang mari kita cek silang ke database yang dapat sedikit menggambarkan kondisi riset kampus-kampus tersebut. Saya pakai Incites lagi. Ya, sekedar mengonfirmasi saja, sih.

Oia, ini mur-ni iseng ya. Jika ada yang tidak sepakat dengan term kualitas didasarkan pada data Incites dan beberapa angka di dalamnya, saya tetap terima. Santai saja. 

Oke, tanpa fufu fafa -  fufu fafa, berikut saya sajikan data yang diambil per 20 Oktober 2024. Untuk versi fullscreen silakan klik di sini: https://datawrapper.dwcdn.net/dLcWB/5/

Keterangan terkait angka dan kategori dapat dilihat di https://incites.zendesk.com/hc/en-gb/articles/24647448030353-InCites-Indicators-Cheat-Sheet

Dari data di atas, untuk total publikasi tidak usah dibahas dulu. Universitas besar biasanya berbanding lurus dengan jumlah publikasinya. Kita fokus ke angka yang konon dianggap mewakili kualitas.

Berikut ini beberapa catatan saya.

  1. Dalam bentuk persen, paling tinggi pada kategori  documen in top 1% adalah UMS. Sebanyak 15 dari 459 publikasinya menduduki top 1%. Jika dikonversi ke % UMS memperoleh angka 3.27%. Sementara UGM ada di posisi 11 dengan 0,46%.
  2. Pada kategori top in 10%, posisi paling atas juga diduduki UMS, dengan angka 9,59%. Angka ini diperoleh dari 44 dokumen dari 459 publikasinya. Sementara UGM ada di posisi 11 dengan 6,05%.
  3. Pada angka % highly cited papers, UMS masih bertahan di posisi paling atas. dengan 2,61%. Angka ini diperoleh dari 12 dari 459 publikasi. Sementara UGM ada di posisi 10 dengan 0,26%.
  4. Untuk kategori % hot papers, posisi puncak diduduki UAD dengan 0,56%. UMS ada di posisi kedua dengan angka 0,22%. Sementara UGM ada di posisi 8 dengan 0,04%.
  5. Untuk kategori % dokumen yang terbit di jurnal Q1, posisi paling atas diduduki oleh Universitas Syah Kuala. Unsyiah memiliki 37,23% publikasi di Q1. Sementara UGM ada di posisi 4 dengan 32,91%.

Kesimpulan
Sidang pembaca dapat menyimpulkan sendiri-sendiri, apakah hasilnya mirip dengan poster yang beredar atau...


Sekian dan terima kasih

Tulisan terkait:

Saturday, 19 October 2024

Dari 9 kampus ini, manakah publikasinya yang paling bermanfaat?

Oke, to de poin saja. Ini analisis iseng. Ingin tahu seberapa dampak dari publikasi para anggota kampus (biasanya disebut civitas) yang ada di Indonesia. Tidak semua, hanya 9 saja yang saya sajikan.

Sembilan itu terdiri dari UI, ITB, UGM, IPB, ITS, Undip, Binus dan UII.

Dampak alias impact, atau pada judul saya pakai istilah "manfaat",  saya ambil dari Incites. Beberapa angka yang tampil yaitu

  • total dokumen sejak 2020 s.d. 2024 (per 19 oktober 2024)
  • total dokumen yang dikutip 
  • total berapa kali dikutip
  • dokumen dikutip dalam %
  • h-indeks
  • h-indeks dalam %
  • h-indeks tanpa self sitasi
  • total berapa kali dikutip tanpa self sitasi
  • citation impact (rata-rata sitasi per paper)
  • impact relative to world

Dampak dalam hal ini, hanya dilihat dari berapa kali dikutip dengan beberapa variasi angka turunannya. Misalnya h-indeks.

Saya sajikan datanya dalam datawrapper di bawah ini.

Note: tampilan layar penuh ada di https://datawrapper.dwcdn.net/gO5b0/3/

Beberapa kesimpulan kecil

  1. Dari jumlah dokumen, UI menempati ranking teratas dengan 10.344 dokumen
  2. Dari jumlah publikasi yang disitasi, UI juga menempati ranking teratasa dengan 5.962 dokumen yang dikutip
  3. Berdasar jumlah dikutip, UI tetap nomor 1 dengan 62.771 kali disitasi
  4. Jika dihitung dalam persen, berdasar dokumen yang dikutip, paling tinggi ITS. Dari total 2.562 publikasi ITS, sebanyak 66,74% dikutip. UI hanya membukukan 57,64% dari total publikasinya saja, dan menempati posisi terbawah.
  5. Berdasar h-indeks, UI memiliki angka 72, dan menempati posisi paling atas
  6. Jika h-indeks dihitung dalam persen dari total publikasi, paling tinggi ditempati oleh UII dengan 2,66%. UI, dengan h-indeks 72 jika dihitung dalam % hanya 0,70% dari total publikasi
Data lengkapnya, silakan cek pada tabel di atas, atau untuk tampilan layar penuh silakan klik: https://datawrapper.dwcdn.net/gO5b0/3/

Kesimpulan besar
  1. Banyaknya dokumen berpengaruh pada tingginya dokumen tersebut dikutip oleh peneliti lain
  2. Banyaknya dokumen juga berpengaruh pada angka h-indeks
  3. Namun, banyaknya dokumen juga berbanding lurus dengan banyaknya dokumen mubadzir. Mubadzir dalam arti dikutip, lho ya. Ini terlihat dari UI yang dokumennya terbanyak, namun yang dikutip hanya 57,4% saja. Sedangkan ITS dengan 2.562 publikasi, sebanyak 66,74% diantaranya dikutip
  4. Pada h-indeks juga demikian, UI memiliki h-indeks tertinggi. Namun angka itu hanya 0,70% dari total publikasinya. Sedangkan UII meski cuma memiliki h-indeks 26, namun itu sebanyak 2,66% dari total publikasinya.
  5. UGM, sebagai perguruan tinggi yang jumlah warganya paling banyak, ternyata...
    1.  dari sisi jumlah publikasi kalah dengan UI. 
    2. Dari jumlah dokumen publikasi yang dikutip oleh publikasi lain, juga kalah dari UI. 
    3. Dari % publikasinya yang dikutip publikasi lain malah ada di posisi 7 dari 9 kampus yang disajikan angkanya. 
    4. Dari sisi h-indeks ada di posisi 3, namun jika dikonversi ke % ada di posisi buncit bareng UI dengan 0,70%.
    5. dari sisi citation impact (rata-rata sitasi per paper) ada di posisi 8, dengan angka 4,24.

Karyo: Lalu, mana yang paling bermanfaat?
Paijo: YNTKTS

Itu!







, , , ,

Demonstrasi Pasca 98 di UGM yang perlu diketahui, mulai isu UKT, Bonbin, Tukin, dan simulasi

Pasca 1998, aksi demonstrasi mahasiswa memiki kecenderungan fluktuatif. Naik turun intensitas dan isu yang dibawa. Termasuk di dalam kampus UGM. Bunderan dan gedung pusat menjadi titik tempat berkumpulkan para demonstran. Maka, aksi tidak dapat dilepaskan dari dua tempat ini.

Lalu, aksi apa saja yang perlu kita ketahui pasca 1998, dan terjadi di dalam kampus UGM?

Menurut saya, setidaknya ada 2 aksi yang perlu kita ketahui.


Aksi dosen tahun 2005

Dosen? Iya. Dosen. Jadi anda, sidang pembaca perlu tahu, bahwa dosen juga pernah melakukan aksi di kampus UGM. Itu terjadi tahun 2005, bulan mei, tanggal 2. Tepat di hari pendidikan nasional. Bahkan, pada media ditulis bahwa dosen mengancam mogok. 

Isu apa yang di bawa? 

"Mereka memprotes kenaikan gaji rektor hingga empat kali lipat dan mengancam akan mogok jika keputusan itu tidak direvisi.Para dosen dan karyawan mengenakan pita hitam di lengan kiri." Demikian dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/60429/dosen-ugm-ancam-mogok.

"Ini sebagai aksi duka atas matinya dan kebersamaan di UGM. Semua dosen dan karyawan akan mengenakan pita hitam," kata staf pengajar Fisipol UGM, Arie Sujito. Demikian kutipan dari https://news.detik.com/berita/d-353296/gesekan-di-ugm-makin-ramai.

Berita terkait dapat dilihat di tautan berikut:

  • https://nasional.tempo.co/read/60429/dosen-ugm-ancam-mogok
  • https://nasional.tempo.co/read/60497/rektor-janji-tidak-akan-berikan-sanksi
  • https://news.detik.com/berita/d-353472/rektor-ugm-tolak-dialog-dengan-dosen-di-lokasi-demo-
  • https://news.detik.com/berita/d-357840/soal-demo-kenaikan-gajinya-rektor-ugm-siap-berdialog
  • https://news.detik.com/berita/d-353296/gesekan-di-ugm-makin-ramai--
  • https://news.detik.com/berita/354801/dosen-ugm-ancam-gugat-rektor
  • https://news.detik.com/berita/d-353428/ratusan-dosen-dan-mahasiswa-ugm-demo-di-balairung
  • https://news.detik.com/berita/352632/gaji-rektor-ugm-naik-400--dosen-ancam-mogok-kerja

Aksi tahun 2016
Sama seperti 2005, di tahun 2016 aksi juga bertepatan dengan 2 Mei. Ribuan peserta aksi berasal dari mahasiswa dan tendik. Isu yang dibawa terkait dengan UKT, Tunjangan Kinerja tenaga kependidikan, dan kantin bonbin atau kebon binatang di FIB. 

Selain itu, mahasiswa dipicu juga oleh anggapan rektor bahwa aksi yang dilakukan hanya merupakan simulasi. 

"Sementara itu, Rektor UGM Dwikorita menyampaikan bahwa aksi demo yang dilakukan oleh para mahasiswa ini adalah simulasi untuk melatih mahasiswa berpolitik" demikian dikutip dari https://regional.kompas.com/read/2016/05/02/15514441/Demonstrasi.Disebut.Cuma.Simulasi.Ribuan

Rekaman pernyataan rektor terkait simulasi ada di https://www.youtube.com/watch?v=H3a040yowPM


Berita terkait dapat dilihat di

  • https://www.liputan6.com/regional/read/2497944/rektor-ugm-sebut-aksi-demo-mahasiswa-cuma-simulasi
  • https://www.youtube.com/watch?v=1wMpQT5e97k
  • http://www.tribunnews.com/regional/2016/05/03/rektor-ugm-masih-dikepung-mahasiswa-gara-gara-ucapan-soal-demo
  • https://www.youtube.com/watch?v=H3a040yowPM
  • https://www.youtube.com/watch?v=7boZ6R7zN0M
  • https://regional.kompas.com/read/2016/05/02/15514441/Demonstrasi.Disebut.Cuma.Simulasi.Ribuan.Mahasiswa.UGM.Tuding.Rektor.Bohong
  • https://news.detik.com/berita/d-3201547/1000-an-mahasiswa-ugm-demo-menolak-ukt-dan-relokasi-kantin-bonbin
  • https://news.detik.com/berita/d-3202227/ini-penjelasan-ugm-terkait-demo-mahasiswa-kemarin
  • http://wargajogja.net/lingkungan/kontroversi-relokasi-kantin-bonbin-ugm.html
  • http://kopertis12.or.id/2016/05/02/peringati-hardiknas-ribuan-mahasiswa-ugm-demo-rektor.html

Friday, 18 October 2024

,

Plastik dan tanggung jawab intelektual ilmuwan

Kemajuan, konon selalu dilekatkan pada peran para ilmuwan. Hal ini akan lebih jelas jika dilihat titik-titik waktu yang dijadikan ciri perkembangan jaman, yang kemudian disebut berbagai tingkatan revolusi industri. 

Paijo: Atau, jangan-jangan bangunan konsep revolusi industri itu adalah projek ilmuwan/insinyur untuk mendakwa bahwa mereka penting? 
Karyo: Bisa jadi, Jo.

sumber: ini

Lihat gambar di atas, penciri revolusi industri 1  sampai 4, terkait dengan teknologi. Mulai dari mesin uap, listrik dan produksi massal, IT dan saat ini cyber.

Karya para insinyur memang mengubah. Namun, ada yang terlewat. Mereka melupakan dampak yang akan terlihat setelah terakumulasi sekian tahun.

Misalnya pada karya berbentuk plastik kresek atau semacamnya.

Plastik, pada saat awalnya muncul dan ditemukan teknologi penciptaannya, pasti dianggap sebagai capaian gemilang. Keberhasilannya dirayakan dengan suka cita. Setelah ditemukan, melalui bentuk plastik pada umumnya, manusia dapat memiliki bungkus yang sangat elastis, dapat dipakai untuk membawa apapun, dalam bentuk dan ukuran yang beragam, dan tentu saja murah. Mereka pun bergembira.

Saking murahnya, plastik selalu disediakan oleh para pedagang sebagai bentuk peningkatan kualitas layanan. Pembeli otomatis akan dapat plastik saat membeli barang. 

Namun siapa sangka, sekian puluh tahun kemudian plastik menjadi masalah.

Plastik yang awalnya jadi capaian gemilang, kini menjadi musuh dan dimusuhi. Bahkan, orang yang berhasil menjaga jarak sejauh-jauhnya dengan plastik, dianggap berprestasi dan berkontribusi pada keberlanjutan bumi. Ironis.

Pendek kata, di balik capaian gemilang para ilmuwan yang berhasil menciptakan plastik, ada keterlambatan kesadaran akan dampaknya. 

Sebenarnya bukan hanya plastik. Namun juga mobil, motor, pemanfaatan batu bara, dan lainnya lupa. Dampak buruknya dirasakan sekian puluh tahun kemudian. Kesadaran yang terlambat ini, kemudian memunculkan konsep perlambatan entropi, untuk mengurangi beban lingkungan.

Begitulah ilmuwan, mereka juga manusia biasa.
Kadang saya berfikir, kerusakan lingkungan merupakah anak haram dari perselingkuhan antara ilmuwan dan para pemilik modal.
Itu!

Atau, sebenarnya ketika kita pakai plastik.....
.......kita sedang memberi penghargaan, apresiasi para insinyur penemunya. 

Itu (lagi)! 

*** 

Lalu apa tanggung jawab intelektual ilmuwan pada plastik?

Kalau mereka bisa membuat, mereka harusnya juga bisa mengolah kembali apa yang dia buat. Melakukan rekayasa terbalik. Itu tanggung jawab intelektualnya. Ironi jika mereka justru menghindari yang dulu diciptakannya.

Masalah plastik seharusnya tidak selalu diarahkan pada para konsumen plastik. Tariklah ke hulunya! Produsennya! Dan juga ilmuwan yang menciptakannya. Pada mereka melekat tanggung jawab tentang permasalahan plastik. Bahkan tanggung jawabnya lebih besar dari konsumen yang menggunakannya.

Itu!

Tuesday, 8 October 2024

Roti Sisir di kampus kita

Entah berdasar sisi sebelah mana roti ini disebut roti sisir. Saya cari gigi sisirnya? ndak ada. Ompong? Mungkin. Tapi anehnya ya tetap saya beli juga. Meskipun saya ndak punya rambut yang cukup untuk disisir.

Saya kenal roti ini saat harganya kisaran 200-250 rupiah per bungkus. Sebelum krisis moneter tahun 98, yang kemudian gonjang-ganjingnya membuat Pak Wo harus pergi ke Yordan. Saat itu, kebetulan ibu saya buka warung kelontong. Jadi saya tahu harganya. 

Membeli dan makan roti sisir, bagi saya semacam membangkitkan memori masa lalu. Kenangan yang sangat sentimentil, dan begitu menyentuh perasaan. Roti ini merupakan roti yang harganya paling terjangkau dibanding roti sejenis lainnya. Jadi primadona. Saat makan, suasana yang tercipta mirip makan roti seperti di iklan tipi-tipi. Apalagi itu, ada menteganya. Wis lah. Ini roti sangat ramah dengan kantong warga saat itu.

Saya tak perlu ceritakan ditailnya. Rekan-rekan yang seusia dengan saya, kemungkinan besar pernah merasakannya.

****

Agaknya roti ini cocok jika dimakan sambil ngopi. Bisa bikin sendiri, atau beli di lantai 4 SGLC. Itu lho, yang kata /rif tinggal tunjuk sana dan tunjuk sini bagai seorang raja. Lalu dibikinkan. Satu menit setelahnya langsung jadi. Layanannya benar-benar prima, lebih prima dari Prima. Tapi ya tetap harus bayar. Ndak gratis.

Lebih masuk lagi jika dimakan bareng-bareng, setelah olah raga misalnya, di Jumat pagi. Sambil ngobrol ngalor ngidul, fufu fafa fifi fefe dan fofo. Mengobrolkan apapun. Tentang negara, tentang UKT, tentang macetnya jalanan kota, angsuran, pekerjaan, pilkada, harga-harga, dan semacamnya. 

Atau tentang strategi-strategi menyelamatkan masa depan bumi dan lingkungan, yang kabarnya diambang bahaya. Apapun, lah. Bebas.

**

Kini, meski beda merk, roti sisir harganya Rp4000 per bungkus. Sekitar 16x lipat atau 1600% naiknya, dalam 26 tahun. Tentu saja, ada banyak pertimbangan hingga si produsen memasang harga segitu. Mungkin mahal, tapi untuk sebuah nostalgia rasa dan suasana, bisa jadi tidak mahal. 

Namun demikian, semoga UU Cipta Kerja bisa berdampak pada penuruhan harganya. Atau mungkin distribusinya perlu pakai mobil Esemka, biar harganya dapat ditekan dan lebih terjangkau, khususnya bagi mahasiswa.

Oia, roti sisir ini saya beli di Teknik Mart. Lokasinya di dalam kampus. Dekat dan tentu saja bersahabat. 

Yang ingin membangkitkan memori masa lalu yang sentimentil, bisa meluncur ke sana. Bisa bayar dengan cara apapun, uang pas, uang receh, atau uang tak kasat mata. 

Salam plastik. Eh, Roti Sisir

Sunday, 6 October 2024

,

Meletakkan jargon "It’s just one straw, said 8 billion people" secara adil

"It’s just one straw, said 8 billion people", kalimat sakti yang digunakan untuk meyakinkan bahwa meskipun cuma 1 plastik itu tetap berbahaya, karena yang mengatakan ada 8 miliar manusia. Artinya ada 8 miliar plastik yang berpotensi sampah.

Oke!

Setelah mendapat kata-kata di atas, konsumen plastik berfikir, "Benar juga, ya. Satu plastik saja dari saya, kalau semua pada kondisi yang sama, maka akan ada 8 miliar plastik". 

Uakeh tenan.

Lalu, muncullah perasaan bersalah, berdosa, wajah memelas dan melankolis menunjukkan kesedihan. 

Padahal, dia pakai plastik ya karena memang plastik telah ada. Dia tidak membuat plastik. Dia konsumen, dia pengguna produk dari perusahaan yang tidak dilarang negara.

***

Kalimat "It’s just one straw, said 8 billion people" menjadi kalimat yang selama ini dipakai untuk konsumen plastik. Bagi saya, penggunaan kalimat ini untuk konsumen, merupakan bentuk ketidakadilan.

"Wanine gur karo konsumen. Kalau berani, ngomonglah ke produsennya!"

Konsumen itu memanfaatkan apa yang dijual. Penggunaan plastik tidak dilarang oleh negara. Bukan barang haram. Pabrik plastik juga ada, tidak dilarang oleh negara. 

Lalu, bagaimana logikanya, kok konsumen pengguna plastik malah ditekan dengan kalimat "It’s just one straw, said 8 billion people".

Tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar oleh para pengguna plastik? Kalau ada, coba sebutkan!

Kalau memang plastik itu bagian dari sampah, maka seharusnya fokus ke pengelolaannya. 

***

Dilarang atau tidak dilarang, kalau mengacu ke 8 miliar di atas; plastik tetaplah plastik. Ketika ada 8 miliar orang tidak menggunakan plastik-pun, ya tetap akan ada 8 juta plastik yang mengonggok meski tidak dipakai. Plastik tetaplah plastik.

Sebagian besar manusia sepakat, bahwa plastik berpotensi menjadi sampah yang berbahaya bagi lingkungan dan masa depan alam. Tapi, ayolah kita berusaha adil. Jangan tekan terus para konsumen. Tekan juga kebijakan pemerintah dan juga produsen plastiknya.

Itu!

Sambisari
6 Oktober 2024
9.14 pagi

Saturday, 5 October 2024

Sampah Plastik dan Ujian Kemanusiaan Kita

Plastik (jenis tertentu) yang tak terpakai, menjadi momok menakutkan. Hantu yang selalu membayangi masa depan bumi dan lingkungan. Dia diklaim mampu bertahan ratusan tahun, tidak musnah. Tentu, hal ini menjadi ancaman bagi lingkungan.

Jika ditelisik sekian tahun lalu, plastik merupakan capaian gemilang dari teknologi. Mengutip Wikipedia, pada cantuman berjudul plastik, sejarah plastik dimulai pada 1862. Waktu berlalu, riset berkembang. Hingga pada 1974 perusahaan banyak yang menggunakan plastik untuk kebutuhannya. 

***

Namun siapa menduga, puluhan tahun kemudian (sejak 1974), plastik menjadi masalah besar. Utamanya jika dikaitkan dengan lingkungan, pencemaran, sampah, perubahan iklim, dan semacamnya.

Sama seperti sepeda motor, bensin, atau batu bara, yang pada awalnya juga merupakan temuan gemilang. Namun sekian dekade kemudian, menjadi masalah besar. Sepeda motor (dan juga mobil) erat dengan kemacetan, bensin erat dengan pencemaran, juga batu bara.

Bagaimana mengatasinya?

Berbagai produk di atas telah masuk ke berbagai lini kehidupan. Selain dampak buruknya, proses industrialisasinya menjadi sandaran ekonomi sekian ribu manusia. Rumit untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan.

Jika mau ekstrim, menghentikan dampak buruk harus dengan menghentikan produksi bahan bakar fosil, hentikan penggunaan batu bara, stop produksi kendaraan bermotor (pribadi) dan beralih ke kendaraan massal. 

Tapi apa berani? Ndak. Sampai saat ini tidak. Dampak sosialnya tinggi.

Kemacetan misalnya. Bukan hanya tentang tabiat manusia dalam menggunakan sepeda motor, namun populasi sepeda motor itu sendiri. Populasi ini terkait dengan industri yang mengejar produksi untuk menjaga kesehatan perusahaan, dan menopang sekian ribu karyawannya. Apalagi sekarang malah tambah kendaraan listrik. Yang punya kendaraan listrik, kemungkinan telah punya kendaraan konvensional sebelumnya. 

Bayangkah! Sak adeg gabreg.
Tidak sederhana, Ferguso!

***

Kembali ke plastik. Jika meniru hal di atas, maka solusi masalah platik ya... tutup pabrik plastik. Selesai.

Tapi perlu diingat, plastik juga tidak berdiri sendiri. Namun, meskipun sama-sama tidak berdiri sendiri, plastik punya kaitan erat dengan kehidupan masyarakat bawah.

Jika kita pernah berhenti sejenak di pinggir jalan raya, niscaya akan bertemu dengan sekian penjaja makanan kecil. Mulai dari gipang, kripik telo, kripik pisang, kripik tempe, dan semacamnya. Dagangan itu dibungkus plastik.

Plastik saudara-saudara! Bukan daun pisang atau daun jati. 

Nek dibungkus godong jati, yo mlempem, dul!

Inilah yang saya sebut, bahwa plastik dekat dengan masyarakat bawah. Mereka membawa potensi sampah. Tapi mereka tidak berdaya. Mereka harus menyambung hidupnya. Tak ada opsi lain selain plastik, yang terjangkau modal dan mampu menjaga kualitas dagangannya. Ya, dari juragan mereka sudah seperti itu. 

Lalu, apakah yang harus kita lakukan?

"Beli dagangannya, tapi jangan ambil plastiknya!" Jadi, kita beli kripik, kita masukkan ke wadah yang kita bawa. Lalu plastik wadahnya kita kembalikan lagi ke simbah-simbah yang jualan itu. "Mbah, plastinya kula kondorke, njih". Begitu?

Anda pasti bercanda. Tanpa saya menjelaskan panjang lebar, pasti anda yang waras tidak akan tega melakukannya. 

Plastik yang tak terpakai tetaplah sampah. Di manapun berada.  Dan (pada contoh di atas) anda memberikan sampah itu pada orang yang kemungkinan besar tidak tahu bagaimana mengolah sampah. Itu tindakan lucu dan tentu saja menggemaskan.

"Kalau begitu, jangan beli dagangannya!". Anda mendahulukan peripersampahan, namun tidak berperikemanusiaan. 

***

"Beli dagangannya, tapi plastiknya kelola sendiri, jangan dibawa ke kampus (misalnya, ini misalnya, lho)," teriak lainnya.

Oke!. Pada saran di atas, saya komentari pendek: "Kampus itu tempat intelektual, dunia akademik yang diharapkan menciptakan solusi. Yakin mau lepas tanggung jawab dari permasalahan sosial?"

Pada jenis kampus apapun, fakultas apapun, jika mau menerima manfaat dari makanan, tapi tidak mau bertanggungjawab pada bungkus makanan (yang secara default berbungkus plastik), merupakan bentuk egoisme institusi. 

Selain egoisme institusi, juga bentuk egoisme intelektual. Kadar ke-intelektualnya tercerabut dari masalah-masalah sekitar. Egois, dan mementingkan dirinya sendiri.

Meminjam istilah Julien Benda, bisa saja dekat dengan sikap "pengkhianatan kaum cendikiawan/intelektual".

***

Plastik, antara dihilangkan atau dikurangi.

Menghilangkan plastik ada cara ekstrimnya: tutup pabrik plastiknya. Selesai! Solusi ini, tentu harus dibarengi dengan opsi lain pengganti plastik. Ilmuwan saintek peranannya di sini. Selain itu, tentu kemauan politik para pemegang kekuasaan.

Berbeda jika mengambil pilihan dikurangi. Tentu dengan strategi yang terukur, sistematis, bertanggungjawab, mendidik, adil dan beradab. Salah satunya dengan cara membuat sampah plastik bisa dimanfaatkan ulang. Ini juga tugas para ilmuwan saintek.

Pada proses perplastikan ini, tentu saja juga ada dampak atau risiko sosial. Di sinilah ilmuwan sosial berperan. Kondisi psiko sosial masyarakat harus diperhatikan. 

Jika ilmuwan saintek ikut campur teknis pada masalah sosio-psikologis, akan kacau. Demikian pula, ilmuwan sosial/psikologi ikut campur pada proses teknis penanganan plastik dari sisi saintek, juga akan kacau.

Kolaborasi itu penting, dan ada tertibnya. 

Jadi, mau mengurangi atau langsung menghilangkan? Ingat, para nabi saja gradual dalam berdakwah, dan itupun dilakukan dengan cara dialog dengan baik dan benar (wajadilhum billati hiya ahsan)

***

Plastik yang tak terpakai tetaplah sampah. Di manapun berada. Mendaku rumah anda bebas plastik, tapi anda memanfaatkan produk yang berbungkus plastik, kemudian meninggalkan plastik itu di luar rumah anda, maka klaim rumah bebas plastik itu hanya ilusi belaka. Fatamorgana.

Bahkan. Jika rumah anda bebas plastik, beli hanya makanan berbungkus daun, atau anda punya uang lebih sehingga mampu beli barang yang bungkusnya plastik daur ulang yang ramah lingkungan, dan serterusnya blablabla fufu fafa; tapi jika masih pakai listrik dari pembangkit batu bara, pakai mobil berbahan bakar fosil, ya sama saja.

Anda berbangga-bangga pada satu hal, tapi lupa pada hal lain. Anda masih parsial! Sama seperti yang lainnya, hanya pada kondisi yang berbeda, disebabkan oleh status sosial dan pendapatan. 


Penutup
Jika ditarik ke sejarah plastik, maka sebenarnya perubahan besar memang ditentukan para karya-karya para ilmuwan, para insinyur; namun temuan itu juga punya konsekuensi buruk sekian waktu kemudian. Jadi, ndak usah membangga-banggakan temuan. Biasa saja.

Khususnya tentang plastik, jangan sampai penanganan plastik (dan sampah pada umumnya) justru mengebiri nalar kemanusian dan keadaban, serta tidak berkeadilan. Sehingga justru memunculkan dan meningkatkan dampak sosial dan psikologis yang menjadi ikutan dari adanya penanganan sampah plastik. 

Sebagian besar manusia sepakat, bahwa plastik berpotensi menjadi sampah yang berbahaya bagi lingkungan dan masa depan alam. Tapi, ayolah kita berusaha adil.  Dengan tetap peduli pada alam dan lingkungan; para ilmuwan yang mendaku dirinya intelektual, juga semua pihak tentu harus paham kerangka besar ini. Bukan parsial.


Sekian

Sambisari, 5 Oktober 2024
16 sekian menit, sampai 17.03 WIB

Tuesday, 24 September 2024

Departemen apa yang paling berpengaruh di FT UGM?

Latar belakang
Judul di atas mungkin berlebihan. Bisa jadi. Ndak apa-apa. Sah-sah saja berpendapat demikian.

Ini sebenarnya juga tulisan iseng, atau usaha membangkitkan "keisengan" saya yang agaknya tertidur lama. Sekian lamanya, sehingga di blog ini banyak bulan yang bolong ndak ada tulisan. Kosong.

Kekosongan tulisan sama dengan berkurangnya kontemplasi atau berfikir mendalam. Mungkin juga, kosongnya tulisan ini karena intervensi Instagram. Beberapa tulisan pendek, pendek sekali kadang saya tulis di sana. 

Oke!

Pada tulisan ini, saya hendak memetakan kepengurusan di FT UGM berdasarkan asal departemen. Pengurus dalam hal ini yaitu dekan dan wakil dekan, atau dahulu pernah di sebut pembantu dekan.

Pengurus sangat mungkin lebih ke kompetensi personal, tidak terkait dengan asal departemen. Namun, pada tulisan ini tidak demikian, melainkan.... ya suka-suka saya, lah.😊

Agar lebih mudah dipahami, saya sajikan mirip seperti tulisan ilmiah. Ada latar belakang, ada metode, ada hasil, dan ada kesimpulan.

Oia, tulisan ini sebagai bagian kerja saya sebagai pustakawan. Menyajikan informasi atau olahan data, agar mudah dipahami, atau ditafsirkan. Ya. Meski ndak payu buat angka kredit. 😊

***

Metode

Metode yang saya lakukan dengan cara mencari asal departemen dari dekan dan wakil dekan pada setiap periode. Data nama saya peroleh dari buku Profil Dosen dan Karyawan  FT UGM yang diterbitkan pada tahun 2008, + pengamatan saya pada periode setelahnya. Asal departemen saya peroleh menggunakan metode mengingat. Jika ingatan saya mentok, maka saya coba telusuri dari berbagai sumber. Oia, data saya ambil dari 1991  sampai 2021, atau 10 kepengurusan terakhir.


Kenapa hanya sampai 10 kepengurusan terakhir?
Ya suka-suka saya, lah. 

Jika ada 2 nama yang berasal dari 1 departemen yang sama, maka hanya ditulis 1 departemen saja nama departemen yang sama ditulis pada baris di bawahnya, misalnya lihat baris bertanda tahun 2016. Hal ini dilakukan agar occurence (kemunculan) tetap dapat dipertimbangkan sebagai bobot departemen. Nama departemen asal, saya singkat agar lebih pendek. Misal TE untuk DTETI, TSL untuk DTSL dan seterusnya. 

Setelah terdata, kemudian saya visualkan. Metode visualisasi ini sebenarnya dipakai untuk visualisasi publikasi, misalnya pada bagian kata kunci. 

Batasan penelitian

Tulisan ini sekedar memetakan asal departemen para pengurus FT UGM saja. Departemen yang banyak muncul selama kepengurusan, diasumsikan memiliki pengaruh paling banyak ke fakultas. Tentu saja, boleh sepakat dan boleh tidak dengan hal ini. Ndak papa. 

Hasil dan Pembahasan

Tabel asal departemen dekan dan wakil dekan sejak 1991 s.d. 2021


Di atas merupakan gambar yang menunjukkan departemen asal dekan dan wakil dekan sejak 1991 hingga 2021, atau 10 kepengurusan. 

Kasat mata, pada 10 kepengurusan terakhir, dekan dijabat oleh dosen dari TK pada 3 periode, TSL 3 periode, TAP 1 periode, TM 2 periode (2004 dan 2016 saat pergantian antar waktu), TE 2 periode. 


7 departemen pada 10 kepengurusan

Gambar di atas menunjukkan 7 departemen yang berkontribusi pada 10 kepengurusan di FT UGM sejak 1991 s.d. 2021. Ada 1 departemen yang selama 10 kepengurusan terakhir tidak bergabung pada jajaran dekan atau wakil dekan, yaitu departemen teknik nuklir dan teknik fisika.

klaster jejaring antar departemen

Gambar di atas menunjukkan jejaring antar departemen yang masuk pada 10 kepengurusan terakhir. Jejaring tersebut membagi departemen menjadi 2 klaster. 

  • Klaster pertama terdiri dari: TE, TK, TSL, TGL.
  • Klaster kedua terdiri dari: TM, TAP, TGD
Pembagian ini menunjukkan kedekatan antar departemen (kekuatan jejaring = link strength) pada saat departemen tersebut masuk pada kepengurusan.

Jika klaster tersebut merupakan kata kunci pada paper, maka dapat diperoleh kelompok kata kunci yang saling berkaitan erat.

Departeman yang saling berjauhan, berarti jarak jejaringnya jauh, atau bahkan belum pernah berjejaring.

TAP yang jauh dan tidak terkait dengan TGL

Misalnya, pada gambar di atas TAP berjejaring dengan semua departemen kecuali TGL. Jarak TAP dan TGL pun berjauhan. Hal ini berarti TAP belum pernah satu kepengurusan dengan TGL.

Jika nama departemen tersebut merupakan kata kunci paper, maka akan terlihat keterkaitan kata kunci, dan juga kata kunci yang belum terkait.

Rerata tahun muncul


Hal menarik ditunjukkan pada rerata tahun muncul. DTK (Teknik Kimia) berwarna kuning, dengan rata-rata tahun muncul paling muda, yaitu 2006.5; serta DTGL (Teknik Geologi) yang juga kuning dengan rata-rata tahun kemunculan 2018.5. 

Jika dilihat pada daftar lengkap pada gambar pertama, DTK pernah absen dari kepengurusan di tahun tua, yaitu 1994 dan 1997. Sehingga tahun hadirnya DTK relatif di tahun muda. 

Kemudian TGL sejak 1991 baru muncul di 2016 dan 2021, sehingga warna kuningnya lebih mencolok.

Jika diibaratkan sebuah kata kunci pada paper, DTK dan khususnya DTGL merupakan kata kunci yang sedang naik popularitasnya. Muncul di tahun muda, dan sedang muncul untuk dibahas.

*****

Berdasar data dekan dan wakil dekan pada 10 kepengurusan terakhir, hanya ada 3 dekan yang menjabat 2x, yaitu
  1. Prof. Dr. Ir. Sri Harto Brotowirjatmo, Dip.H., (1994 s.d. 1997 dan 1997 s.d. 1998)
  2. Dr. Ir. Indarto, DEA (2000 s.d. 2004 dan 2004 s.d. 2008)
  3. Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng. (2012 s.d. 2016 dan 2016 s.d. 2017)

Selain itu, hanya ada 2  dekan yang pada periode tepat sebelumnya menjabat sebagai wakil dekan, yaitu Prof. Panut Mulyono, dan Prof. Ir. Selo. 

Hal ini menunjukkan pada para dosen yang ingin menjadi dekan, bahwa jadi dekan tidak harus jadi wakil dekan dahulu. Kemampuan mencitrakan diri sebagai orang yang mempu memimpin dan mengemban jabatan dekan lebih diterima.

Prof. Nizam misalnya, yang dapat meyakinkan senat untuk jabatan dekan, padahal sebelumnya tidak menjabat wakil dekan atau bahkan ketua departemen. Selain itu, pada tahun 2000 pada saat pergantian kepengurusan, Dr. Indarto menjadi dekan juga tanpa menjadi wakil dekan.


Susulan analisis
Ini susulan analisis, yang seharusnya dibahas pararel. Namun karena ide analisis ini tidak bareng, maka saya selipkan saja di sini.

Saya coba petakan nama-nama dekan dan wakil dekan per periode, kemudian memvisualkan. Hasilnya saya tampilkan di bawah ini.
nama dekan dan wakil dekan sejak 1991 sampai 2021

Gambar di atas berisi nama dekan dan wakil dekan sejak 1991 sampai 2021. Mohon maaf, saya hanya ambil namanya saja, itupun ada yang tidak lengkap. Semata-mata untuk mempermudah visualisasi.


tabel occurrences dan kekuatan jejaring

Gambar di atas menunjukkan kemunculan nama dan kekuatan jejaringnya. Paling atas ada nama Panut Mulyono dengan 3 kemunculan (2 kali dekan dan 1 wakil dekan), dengan kekuatan jejaring paling tinggi di angka 11.

Jika dirunut lebih jauh, Panut Mulyono mengawali karir di fakultas sejak 1994, kemudian tahun 2017 (atau 23 tahun kemudian) mencapai jenjang jabatan paling tinggi: Rektor (baca di sini). Capaian jabatan Rektor ini agaknya (jika dipaksa dikaitkan) bisa jadi terkait juga dengan cemerlangnya karir di tingkat fakultas. Panut memiliki kemunculan paling tinggi, dan jejaring paling kuat. Artinya tingkat diterimanya Panut di lingkungan fakultas tinggi. Tentu ini menjadi modal besar saat bersaing untuk jabatan rektor pada tahun 2017.

Proses karir Panut Mulyono ini agaknya dapat dijadikan pelajaran, bahwa meniti dari bawah itu menyenangkan, dan menguatkan. Tidak _ujug-ujug_. Mulai dari PPF (Pembantu Pengurus Fakultas), wakil dekan, lalu dekan, dan kemudian rektor.
Mulai dari lurah, bupati, wali kota, gubernur lalu presiden. 

Jejaring antar kepengurusan dekan sejak 1991 sampai 2021

Gambar di atas menunjukkan kelompok pengurus fakultas (dekan dan wakil dekan). Paling kiri kepengurusan 1991 sementara paling kanan 2021.

Terlihat setiap klaster (ditandai dengan warna) saling terkait. Hal ini menunjukkan bahwa kepengurusan di FT UGM itu berkesinambungan.

Maksudnya begini: selalu ada dekan atau wakil dekan pada periode sebelumnya, yang ikut menjadi pengurus pada periode berikutnya.  Tentu saja ini budaya baik, agar ide dan gagasan sebelumnya tetap terjaga dan berlanjut.



Kesimpulan
  • Di atas kertas, DTMI menjadi departemen yang berkontribusi pada 9 kepengurusan dari 10 kepengurusan sejak 1991. DTMI absen hanya pada kepengurusan 2021.
  • Berbeda dengan DTMI, meskipun DTK juga memiliki kemunculan 9, namun DTK hanya ada di 8 kepengurusan. 
  • DTNTF menjadi departemen yang absen pada 10 kepengurusan terakhir
  • Jabatan dekan tidak selalu di awali dengan menjadi wakil dekan. Hal ini terlihat pada 10 kepengurusan terakhir, hanya 2 dekan yang sebelumnya menjabat wakil dekan
  • Kepengurusan di FT UGM selalu melibatkan pengurus sebelumnya
----------------------------------------------------**------------------------------------------------------------------


Sambisari, hari ke 24 bulan 9 tahun 2024
5.50 pagi hari

Baca pula: