Sunday, 9 February 2025

100 hari pertama, es tipis, dan jalan lama (100 hari #3)

Ferry Amsari, pada Tempo edisi 100 hari Prabowo Gibran memulai tulisannya dengan term "es tipis".

Es tipis ini dilalui oleh Presiden pada 100 hari pertama pemerintahannya. Saat menapaki es tipis, jika silap dan tergesa maka akan berpotensi jatuh dan terbenam. Namun, jika terlalu berhati-hati maka akan terkesan lamban.

Terima kasih,  Pak Ferry! Analogi ini saya pakai untuk instrospeksi diri.

Seratus hari pertama saya, saya coba nilai lagi. Saya tipe orang yang perhitungan, kadang keputusan diambil terlalu lambat. Kenapa? Ya, karena perhitungan itu tadi. Keputusan kadang muncul tak terduga. Kadang saat melamun saat perjalanan di atas motor, jalan kaki, di kamar mandi, atau lainnya. Di kondisi atau tempat itu, terkadang pertimbangan penting muncul, yang kemudian melahirkan keputusan.

Jalan baru dan jalan lama

Jika Pak Ferry memakai term "es tipis", dan pada tulisan sebelumnya saya pakai filosofi lingkaran dan aliran sungai, pada tulisan ini tepat juga jika saya pakai analogi jalan baru dan jalan lama.

Perumpamaan ini saya temukan saat saya naik motor. Saya nekat masuk ke jalan kampung, dengan keyakinan bahwa jalan itu akan tembus di jalan besar sisi utara (saat itu saya bermotor dari selatan).

Saat perjalanan itu, saya memutuskan memilih jalan dengan pertimbangan intuisi. Bisa benar, bisa salah hingga saya harus putar balik. Jika benar pun bisa jadi jalannya memutar sehingga perjalanan menjadi lebih jauh.

Saat perjalanan menelusuri jalan kampung itulah, saya berfikir bahwa 100 hari pertama saya, saya gunakan untuk menelisik jalan yang sebelumnya dilalui pendahulu saya. Ya. Memang ada point kunci yang tentu saya bisa bertanya, namun yang pasti, perjalanan itu harus saya lalui sendiri (sebagai pengambil keputusan). Risiko juga harus saya hadapi sendiri. Saya tak dapat lagi mengajak pendahulu saya untuk melalui jalan yang telah ditinggalkannya. Karena secara bersamaan, Dia telah menempuh jalan lain. 

Menelusuri jalan yang baru bagi saya, namun sebenarnya adalah jalan lama yang sudah didefinisikan  alur maupun risikonya, tentu memiliki tantangan tersendiri. Di perjalanan saya harus bertanya pada orang-orang di sekitar, maupun orang yang juga turut diperjalanan.

Saya mencoba men-trigger teman perjalanan (yang sebelumnya telah ikut perjalanan) untuk mengingat jalannya, risikonya, dan juga cara berjalannya. Termasuk, tentu saja, apa yang harus diperhatikan saat menapaki jalan itu. Selain itu juga mencoba mencari alternatif jalan lain yang lebih mudah, dan cepat sampainya.

Satu hal lagi, saya coba untuk menuliskan catatan perjalanan itu, agar dikemudian hari jika berganti nahkoda, akan mudah dalam menapakinya.

Jika digabungkan dengan perumpamaan "es tipis" yang dikemukakan Pak Ferry Amsari, ketika saya terlalu berhati-hati, saya pun akan dianggap lamban. Namun jika tergesa, maka potensi terjatuh akan ada.

Saya merasa dua kutub itu bukan pilihan yang harus dipilih salah satu untuk semua proses. Ada hal yang saya harus tergesa, dan dengan ukuran tertentu agak nekat. Namun ada pula yang saya harus berhati-hati, meski ada konsekuensi dianggap lamban.

****

Lalu, apakah semua jalan lama itu harus saya jelajahi? Tentu tidak.

Apakah yang harus saya jelajahi itu, sudah saya jelajahi semua dalam 100 hari pertama ? Tentu saja belum.

Terima kasih.