"Bekerja sekedar mengerjakan, ibarat sekrup dan roda mesin pabrik yang berputar, yang didapat hanya lelah," begitu saya sampaikan ke diri saya. Seiring waktu, hal tersebut juga saya sampaikan ke rekan-rekan saya. Tentu bukan dalam bentuk doktrin, melainkan sekedar pendapat.
Sejak di perpustakaan Teknik Geologi, saya berusaha mencari nilai/value yang bagi saya (tentu ini subyektif) lebih menantang dari sekedar menggerakkan proses bisnis sebagaimana biasanya di perpustakaan.
Nilai ini di kemudian hari, beberapa kali saya sampaikan sebagai alasan ideologis, bukan sekedar alasan pragmatis. Namun, beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kuliahnya Rocky Gerung, istilah ini saya ganti. Agaknya saya salah secara teori, meski ada ruang benar dalam implementasi. Bukan lagi alasan ideologis, namun semacam alasan fundamen, alasan dasar. Alasan yang tempatnya di akar, di dalam, yang untuk menemukannya harus berfikir radikal (mengakar).
Pada periode pertama, saat di perpustakaan Teknik Geologi, setelah beberapa lama mengenal,
saya menyimpulkan bahwa aplikasi ilmu geologi punya sisi lain yang berdampak negatif. Ini saya peroleh ketika saya menemukan web Jatam atau jaringan advokasi tambang. Ini menarik, dan ini bisa menjadi jalan saya untuk menemukan alasan fundamen sebagai pustakawan di teknik geologi. Begitu pikir saya.
Pandangan saya waktu itu tentu saja masih dangkal. Perlu dilengkapi dengan sumber lain. Namun, itulah yang memantik saya mengejar value agar bekerja tidak sekedar mengerjakan tugas-tugas rutin saja.
Setelah menemukan web Jatam itu, rasa penasaran saya bertambah. Beberapa artikel saya baca dan cetak kemudian tempel di papan pengumuman perpustakaan. Papan pengumuman tidak lagi berisi info buku baru, namun lebih beragam.
Dinamika isu dan perdebatan terkait hal di atas, menjadi semacam pemicu dan penyemangat saya dalam bekerja.
*****
Hal di atas berlanjut saat berpindah ke perpustakaan tingkat fakultas pada Mei tahun 2012. Kasus semen di Kendeng saya ikuti, mulai warga yang demo, hingga terseretnya nama-nama intelektual kampus dalam pusaran kasus Kendeng tersebut. Puncaknya ya saat munculnya film Samin dan Semen.
Film itu saya putar di perpustakaan, di ruang belajar yang tersedia layar TV besar.
Yang saya hadapi bukan hanya satu departemen, melainkan satu fakultas dengan berbagai latar belakang ilmu. Lebih luas.
Saya pun teringat tentang Soekarno. "Soekarno, meski lulusan teknik, juga belajar berbagai hal, termasuk politik, hukum, seni dan lainnya," begitu keyakinan saya, yang menjadi salah satu dasar saya menggerakkan perpustakaan fakultas.
Diskusi di perpustakaan pun tidak hanya terkait teknik. Pernah mengangkat filsafat, sastra, termasuk membuat cerpen, hukum, dan lainnya.
Bahkan ada puisi dan kutipan sastra dalam ukuran besar terpajang di dinding perpustakaan.
Pertama puisi dari Wiji Thukul, berjudul "Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu".
Apa guna punya ilmu tinggi, Kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku, Kalau mulut kau bungkam melulu
Kedua, kutipan dari novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Thohari. "Kejujuran sebenarnya bukan suatu hal yang istimewa, dialah yang seharusnya dianggap biasa".
******
Takdir kemudian membawa saya untuk andil di humas dan media sosial tingkat fakultas, pada Juli 2023. Ini bidang baru, sebelumnya belum ada. Di sini ada area lebih luas untuk saya, namun juga dibarengi dengan keharusan untuk berfikir ulang terkait apa yang akan dilakukan.
Tentu saja tidak mudah. Selama 1 tahun di bidang ini, sebenarnya kontribusi saya masih sangat sporadis. Pada paruh kedua pada 1 tahun itu, baru memulai merapikan pikiran, ide, dan tindakan sporadis itu.
Beberapa point fundamental sebenarnya sudah saya peroleh dan petakan. Bagaimana jejaring dibuat, dibentuk, siapa aktornya, dan bagaimana medianya. Selain itu, pada berbagai media, bagaimana pesan disajikan, dan apa saja yang perlu disajikan.
Pesan pada berbagai media fakultas, tidak hanya pesan-pesan konvensional. Harus ada pesan yang meningkatkan mutu mahasiswa, juga perlu pesan-pesan masalah kebangsaan dan kemanusiaan. Untuk menemukan pesan-pesan tersebut, saya merasa perlu terus dan menerus untuk membaca. Tidak ada cara lain.
Pelibatan aktor mahasiswa dalam bentuk tenaga paruh waktu, saya idealkan akan menjadi kontribusi yang nge-pop dan membanggakan. Ada kebanggaan bagi siapa saja mahasiswa yang dapat bergabung di tim ini.
Mereka, meski sebutannya tenaga paruh waktu, harus diberi kebebasan. Dari kebebasan itulah salah satu kebanggaan itu akan muncul.
Hal lainnya, usaha untuk membuat produk dari bidang ini. Buku misalnya, atau sekedar leaflet rutin bulanan.
****
Satu tahun 4 bulan ternyata belum cukup. Belum banyak hal yang dapat saya lakukan. Hingga ternyata harus saya sudahi, karena harus bergeser ke tempat lain pada November 2024.
Tentu harus diikhlaskan.
Di tempat baru, saya harus memulai lagi. Memulai mencari hal yang fundamen yang dapat saya jadikan pemicu agar saya bekerja tidak sekedar seperti mesin pabrik yang seketika berputar setelah tombol on di sentuh. Dan, tentu saja juga tetap menjaga agar saya tetap memperoleh ruang merdeka dalam berfikir dan bertindak.
Sambisari, 12/1/2025
21.42 WIB