Saturday, 18 January 2025

Masuk di dunia baru, dan bagaimana memaknainya

Masuk di dunia baru, tentu memiliki berbagai konsekuensi. Dunia baru yang saya maksud pada tulisan ini adalah pekerjaan baru, posisi/jabatan pekerjaan yang baru.

Tulisan ini merupakan proses pemaknaan atas dunia baru yang saya alami; sebelumnya di bagian humas dan TI, dan kemudian berpindah ke 3dharma.


Filosofi lingkaran

Jangan  menganggap dunia baru itu lebih sempit, mudah, dari yang sebelumnya. Atau sebaliknya, dunia yang baru itu lebih luas dari sebelumnya. Keduanya sama. Itu yang saat ini saya camkan pada diri saya. Sama luasnya, perbedaan ada pada persepsi. Saya coba gambarkan dengan sebuah lingkaran.


A adalah dunia Humas & IT sesunguhnya, x adalah dunia Humas & IT saat saya masuk. B adalah dunia 3dharma.  Sebagai catatan, Humas dan IT merupakan bagian baru, sementara 3dharma sudah ada sejak lama.
Begini penjelasannya.
Saat saya masuk ke Humas dan IT, maka saya ada di lingkaran x. Luasnya x adalah luas riil saat saya masuk, yang merupakan bidang-bidang kerja bagian Humas IT (termasuk di dalamnya media sosial). Sebagai bidang baru, luasnya belum terdefinisikan.

Jika di lihat, luas ini (lingkaran x) lebih kecil dari luas B (bidang 3dharma). Namun sesungguhnya tidak. Luasnya sama, meski belum terdefinisikan.

Apa yang harus saya lakukan agar luas x menjadi sama dengan luas B? Saya harus mendobrak dan mendorong batas lingkaran x agar membesar dan menjadi A yang luasnya sama dengan B.

Bagaimana caranya? Memetakan apa saja yang bisa menjadi bidang kerja dari Humas dan IT, dengan cara mencari mencipta hal baru baik layanan, maupun produk. Selama saya di Humas dan IT, saya belum sepenuhnya berhasil melakukan itu. 

Nah. Agak berbeda saat saya berpindah dari Humas IT ke 3dharma. Saya langsung ada dan memasuki lingkaran yang besar. Besarnya lingkaran ini telah terdefinisikan sejak sebelum saya ada di dalamnya. Maka, ketika saya masuk, saya harus merasakan sendiri luas yang sudah terdefinisikan itu. Saya mengitari lingkaran itu dari satu titik memutar terus 360 derajat, hingga bertemu titik awalnya lagi.

Proses merasakan luas ini tentu perlu waktu lama. Termasuk di dalamnya merasakan berbagai dinamika dan gejolak di dalamnya. Merasakan sendiri, bukan karena cerita dari orang lain.


Filosofi membendung sungai

foto freepik

Di atas merupakan gambar sungai. Saya akan menjelaskan pemaknaan saya, atas dunia baru saya dengan analogi sungai.

Bagini penjelasannya.

Saya diminta membendung sungai (bekerja di bagian 3dharma). Padahal saya bukan orang yang ahli membendung sungai (sebelumnya saya tidak pakar pada bidang 3dharma). Maka, saya harus belajar dahulu untuk membendung sungai.

Apa yang saya lakukan?

Saya akan duduk di tepi sungai, melihat aliran sungai, ke mana arahnya, dan di sisi mana aliran yang terlihat deras. Setelah itu, saya akan masuk ke sungai, merasakan sendiri derasnya aliran sungai itu, di mana yang terjal, dan di mana yang dalam.

Cukup? Belum.

Saya akan menunggu banjir. Saya harus tahu bagaimana kondisi saat banjir. Pertimbangan membuat bendungan tidak boleh hanya didasarkan pada kondisi normal. Harus pula mempertimbangkan banjir.

Setelah banjir datang, saya akan lakukan hal serupa: melihat, merasakan langsung derasnya aliran.

Saya catat semua temuan saya. Barulah saya akan coba membuat rancangan bendungan. Komposisinya apa saja, berapa bagian pasir, berapa bagian semen, berapa besi, bagaimana desainnya, dan lainnya.

Lamanya proses agar bergantung pada kondisi saya, dan dukungan lingkungan.


------------------ **** ----------------



Sunday, 12 January 2025

Tempat baru dan usaha merawat idealisme

"Bekerja sekedar mengerjakan, ibarat sekrup dan roda mesin pabrik yang berputar, yang didapat hanya lelah," begitu saya sampaikan ke diri saya. Seiring waktu, hal tersebut juga saya sampaikan ke rekan-rekan saya. Tentu bukan dalam bentuk doktrin, melainkan sekedar pendapat.

Sejak di perpustakaan Teknik Geologi, saya berusaha mencari nilai/value yang bagi saya (tentu ini subyektif) lebih menantang dari sekedar menggerakkan proses bisnis sebagaimana biasanya di perpustakaan. 

Nilai ini di kemudian hari, beberapa kali saya sampaikan sebagai alasan ideologis, bukan sekedar alasan pragmatis. Namun, beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kuliahnya Rocky Gerung, istilah ini saya ganti. Agaknya saya salah secara teori, meski ada ruang benar dalam implementasi. Bukan lagi alasan ideologis, namun semacam alasan fundamen, alasan dasar. Alasan yang tempatnya di akar, di dalam, yang untuk menemukannya harus berfikir radikal (mengakar).


Pada periode pertama, saat di perpustakaan Teknik Geologi, setelah beberapa lama mengenal, saya menyimpulkan bahwa aplikasi ilmu geologi punya sisi lain yang berdampak negatif. Ini saya peroleh ketika saya menemukan web Jatam atau jaringan advokasi tambang. Ini menarik, dan ini bisa menjadi jalan saya untuk menemukan alasan fundamen sebagai pustakawan di teknik geologi. Begitu pikir saya. 

Pandangan saya waktu itu tentu saja masih dangkal.  Perlu dilengkapi dengan sumber lain. Namun, itulah yang memantik saya mengejar value agar bekerja tidak sekedar mengerjakan tugas-tugas rutin saja.

Setelah menemukan web Jatam itu, rasa penasaran saya bertambah. Beberapa artikel saya baca dan cetak kemudian tempel di papan pengumuman perpustakaan. Papan pengumuman tidak lagi berisi info buku baru, namun lebih beragam.

Dinamika isu dan perdebatan terkait hal di atas, menjadi semacam pemicu dan penyemangat saya dalam bekerja. 

*****

Hal di atas berlanjut saat berpindah ke perpustakaan tingkat fakultas pada Mei tahun 2012. Kasus semen di Kendeng saya ikuti, mulai warga yang demo, hingga terseretnya nama-nama intelektual kampus dalam pusaran kasus Kendeng tersebut. Puncaknya ya saat munculnya film Samin dan Semen.

Film itu saya putar di perpustakaan, di ruang belajar yang tersedia layar TV besar. 

Yang saya hadapi bukan hanya satu departemen, melainkan satu fakultas dengan berbagai latar belakang ilmu. Lebih luas. 

Saya pun teringat tentang Soekarno. "Soekarno, meski lulusan teknik, juga belajar berbagai hal, termasuk politik, hukum, seni dan lainnya," begitu keyakinan saya, yang menjadi salah satu dasar saya menggerakkan perpustakaan fakultas. 

Diskusi di perpustakaan pun tidak hanya terkait teknik. Pernah mengangkat filsafat, sastra, termasuk membuat cerpen, hukum, dan lainnya. 

Bahkan ada puisi dan kutipan sastra dalam ukuran besar terpajang di dinding perpustakaan. 

Pertama puisi dari Wiji Thukul, berjudul "Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu".  

Apa guna punya ilmu tinggi, Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku, Kalau mulut kau bungkam melulu

Kedua, kutipan dari novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Thohari. "Kejujuran sebenarnya bukan suatu hal yang istimewa, dialah yang seharusnya dianggap biasa".

******


Takdir kemudian membawa saya untuk andil di humas dan media sosial tingkat fakultas, pada Juli 2023.  Ini bidang baru, sebelumnya belum ada. Di sini ada area lebih luas untuk saya, namun juga dibarengi dengan keharusan untuk berfikir ulang terkait apa yang akan dilakukan.

Tentu saja tidak mudah. Selama 1 tahun di bidang ini, sebenarnya kontribusi saya masih sangat sporadis. Pada paruh kedua pada 1 tahun itu, baru memulai merapikan pikiran, ide, dan tindakan sporadis itu.

Beberapa point fundamental sebenarnya sudah saya peroleh dan petakan. Bagaimana jejaring dibuat, dibentuk, siapa aktornya, dan bagaimana medianya. Selain itu, pada berbagai media, bagaimana pesan disajikan, dan apa saja yang perlu disajikan. 


Pesan pada berbagai media fakultas, tidak hanya pesan-pesan konvensional. Harus ada pesan yang meningkatkan mutu mahasiswa, juga perlu pesan-pesan masalah kebangsaan dan kemanusiaan. Untuk menemukan pesan-pesan tersebut, saya merasa perlu terus dan menerus untuk membaca. Tidak ada cara lain.

Pelibatan aktor mahasiswa dalam bentuk tenaga paruh waktu, saya idealkan akan menjadi kontribusi yang nge-pop dan membanggakan. Ada kebanggaan bagi siapa saja mahasiswa yang dapat bergabung di tim ini. 


Mereka, meski sebutannya tenaga paruh waktu, harus diberi kebebasan. Dari kebebasan itulah salah satu kebanggaan itu akan muncul. 

Hal lainnya, usaha untuk membuat produk dari bidang ini. Buku misalnya, atau sekedar leaflet rutin bulanan.


****

Satu tahun 4 bulan ternyata belum cukup. Belum banyak hal yang dapat saya lakukan. Hingga ternyata harus saya sudahi, karena harus bergeser ke tempat lain pada November 2024.

Tentu harus diikhlaskan. 

Di tempat baru, saya harus memulai lagi. Memulai mencari hal yang fundamen yang dapat saya jadikan pemicu agar saya bekerja tidak sekedar seperti mesin pabrik yang seketika berputar setelah tombol on di sentuh. Dan, tentu saja juga tetap menjaga agar saya tetap memperoleh ruang merdeka dalam berfikir dan bertindak. 


Sambisari, 12/1/2025

21.42 WIB